Kokohnya Elite Partai
Jika kita cermati dari proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam beberapa kali proses penyelenggaraan pemilu presiden, akan kita dapati mencoloknya peran segelintir orang yang disebut sebagai elite politik di dalamnya.
Peran mereka amat signifikan, baik sebagai inisiator, mediator, maupun eksekutor tentang banyak hal yang bersifat prinsipiil dan amat penting. Mereka inilah yang merancang dan menentukan hasil di hampir semua tahapan atau proses, termasuk siapa yang akhirnya diputuskan untuk dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Ini semua kerap dilakukan dalam forum yang amat terbatas (eksklusif), yang kemudian—suka atau tidak—akan diikuti oleh kader dan akhirnya masyarakat atau rakyat kebanyakan.
Meski terlihat absurd, dalam kehidupan demokrasi, situasi di mana kehendak orang banyak diarahkan atau direkayasa oleh para elite sesungguhnya tidak dapat dihindari. Dalam khazanah ilmu politik, Gaetano Mosca (1939), Vilfredo Pareto (1935), hingga Robert Michels (1962) adalah para ilmuwan politik klasik yang telah membincangkan dan memberikan gambaran mengenai keberadaan dan dampak para elite politik, yang sejatinya selalu ada dalam setiap masyarakat atau negara.
Elite politik itu sendiri dapat dipahami sebagai figur-figur yang berada di pucuk piramida masyarakat, yang memainkan peran penting dalam memikirkan dan memutuskan keputusan-keputusan politik bagi masyarakat itu. Kebanyakan elite telah pula menjadi bagian dari hukum besi oligarki yang tak dapat dihindari, setidaknya itulah yang dibayangkan oleh Michels.
Saat ini peran elite politik di Indonesia, khususnya mereka yang berasal dari partai, kembali menguat seiring dengan menguatnya peran konstitusional partai, yang menentukan dalam pengisian jabatan publik. Posisi ini membawa mereka sebagai elemen yang tak dapat diabaikan oleh siapa pun yang berkepentingan menduduki posisi-posisi strategis tersebut.
Faktor lain penyebab kokohnya peran elite adalah karena aturan main partai juga membuka peluang yang besar untuk itu. Anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai saat ini pada umumnya memberikan kedudukan yang sangat signifikan bagi elite partai, terutama dalam penentuan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Saat ini setidaknya ada tiga model kandidasi. Pertama, partai yang menyerahkan sepenuhnya urusan kandidasi ini kepada pucuk-pucuk pimpinan partai (secara perorangan). Beberapa partai bahkan tidak dengan jelas mengatur persoalan kandidasi presiden ini, tetapi mengisyaratkan bahwa hal itu akan ditentukan oleh elitenya elite (crème de la crème).
Kedua, partai-partai yang memberikan wewenang itu kepada sebuah badan di dalam tubuh partai, apakah itu DPP atau majelis tinggi, yang tetap pada akhirnya kata putus ditentukan oleh pimpinan partai.
Ketiga, partai yang memberikan peluang kepada kader untuk turut menentukan melalui mekanisme penjaringan pendapat. Meski demikian, peran yang diberikan itu pada akhirnya terbatas dan dipadupadankan dengan pandangan atau sikap para elite.
Sikap kritis meredup
Dengan berlandaskan aturan partai itu, para elite kemudian bermanuver untuk menentukan koalisi dan siapa yang akan diusung sebagai kandidat. Adalah unik bahwa partai-partai di Indonesia memberikan ruang yang sedikit saja bagi keterlibatan kadernya dalam proses kandidasi capres dan cawapres. Ironisnya, tak jarang para elite partai akhirnya justru mengakomodasi kepentingan rekan koalisinya. Dari kacamata pembangunan demokrasi internal, hal ini tentu saja tidak kompatibel, tetapi tampaknya inilah yang justru disepakati sebagai mekanisme yang diterima di kebanyakan partai.
Dapat ditambahkan bahwa peran elite menjadi semakin kokoh di beberapa partai karena setidaknya hingga dua dekade ini kebanyakan elite adalah juga pendiri partai. Situasi ini menyebabkan ada rasa sungkan kader yang cukup tinggi kepada para elite, yang akhirnya meredupkan sikap kritis. Situasi lain yang juga makin mengokohkan elite partai adalah kenyataan bahwa mereka merupakan penyandang dana utama bagi partai, baik secara langsung maupun melalui pertemanan yang dibangunnya.
Studi Mietzner (2013) mengindikasikan adanya patronase dalam partai yang dilandasi oleh kekuatan finansial segelintir orang dalam partai itu, yang menyebabkan partai-partai tidak dapat bebas sepenuhnya dari cengkeraman oligarki. Di partai-partai yang memiliki dua situasi di atas, tentu saja kekokohan posisi elite menjadi semakin tidak terbantahkan.
Tentu saja kondisi ini ada untung-ruginya. Di satu sisi, kondisi ini sejak dini lebih mampu menghindarkan partai dari proses negosiasi internal yang berkepanjangan, yang justru kerap dapat memicu konflik internal. Dengan kata lain, soliditas partai menjadi lebih terjamin. Namun, di sisi lain, situasi ini jelas menyebabkan oligarki di partai politik, sebagai salah satu pangkal dari terciptanya oligarki-oligarki selanjutnya, memperoleh pijakannya.
Apalagi, dalam praktiknya, proses kandidasi capres dan cawapres berjalan dengan semangat pragmatisme yang kuat demi sebuah kemenangan. Hal ini memunculkan kesan kuat bahwa proses itu berjalan tanpa prinsip dan kerap mengabaikan aspirasi kader partai. Di masa mendatang, tentu saja akan lebih elok jika kuantitas dan kualitas aspirasi anggota atau kader hingga simpatisan dapat lebih diperhitungkan lagi. Agar klaim-klaim sepihak dapat terkonfirmasi dan tentu saja memunculkan sosok kandidat presiden dan wakil presiden yang lebih aspiratif lagi.
Firman Noor Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI dan Anggota Tim Penelitian Pemilu dan Parpol LIPI