Ketika di hari ke-10 Asian Games 2018 Indonesia memperoleh emas ke-22, Selasa (28/8/2018), saya mencoba melacak di internet terkait nama dan usia para atlet yang ikut meraihnya. Ada 46 atlet, tetapi hanya 36 yang usianya terlacak. Setelah saya hitung, rata-rata usia mereka adalah 23,3 tahun.
Kemudian saya mencoba membayangkan kiprah para tokoh bangsa di usia 23-24 tahun. Soetomo berusia 20 ketika mendirikan Budi Utomo pada 1908. Ki Hajar Dewantara berumur 24 ketika menulis esai ”Als Ik Eens Nederlander Was” (Kalau Saya Orang Belanda) pada 1913. Bung Karno berusia 24 saat lulus dari ITB pada 1925 dan sudah menulis ratusan artikel politik di Otoesan Hindia, kemudian mendirikan Algemene Studie Club pada 1926. Bung Hatta belum 24 tahun ketika menjadi Ketua Pelajar Indonesia di Belanda pada 12 Januari 1926. M Tabrani berumur 22 ketika menjadi Ketua Kongres Pemuda I (1926). Di usia 24, Sugondo Djojopuspito menjadi Ketua Kongres Pemuda II (1928) yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang dahsyat itu. Bung Sjahrir masih 23 tahun ketika terpilih menjadi Ketua Pimpinan Umum Partai PNI-Pendidikan pada 26 Juni 1932.
Kita mesti bersyukur, bangsa Indonesia selalu punya pemuda-pemuda yang gagah berani, di setiap waktu! Di usia mereka yang masih begitu muda, dengan energi positifnya mereka sudah menggetarkan dan menggerakkan bangsa kita. Kita mesti sadar, tiap zaman punya pelakunya sendiri-sendiri. Sejarah berjalan terus. Zaman terus berganti menuntut manusia untuk menjawabnya. Tiap zaman menyodorkan peranan tertentu buat pelaku-pelakunya di atas panggung sejarah. Kerap sekali, bahkan setiap kali, sejarah menuntut peran pelaku yang harus berani. Keberanian kerap mampu mengatasi krisis-krisis sejarah. Dan, umumnya, kaum mudalah yang mau ambil risiko jadi pelaku pemberani itu!
Karena itu, pemuda adalah harapan bangsa. Pemuda adalah penentu nasib bangsa dan negara. Pemuda adalah pelopor atau pionir. Bahkan, ada yang menggambarkan pemuda dengan bahasa elok-puitis: taruna adalah waktu pergi menyerbu dari satu ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang lain, dalam pikiran dan badan, mencoba segala adat istiadat berbagai bangsa: mendengar bunyi lonceng tengah malam.
Saya jadi ingat tesis Ben Anderson (1972) bahwa yang menggerakkan revolusi Indonesia adalah pemuda (dengan ”pemudaisme”-nya), bukan kaum intelektual yang tersisihkan atau kelas tertindas, apalagi kaum borjuis. Saya ingat Mattulada (1975) yang mengatakan, ”Pemuda adalah mereka yang mampu melihat fajar bahkan sebelum matahari terbenam.” Saya pun hafal kata-kata Bung Karno, ”Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!”
Di tangan para pemuda, energi positif dan produktif dibangun dan diperkuat. Kebanggaan kita sebagai bangsa dibangkitkan. Persatuan bangsa kita dirajut dan diperkuat. Nasionalisme kita dilipatgandakan. Pesimisme kita diubah jadi optimisme. Solidaritas berbangsa kita diperkuat. Toleransi antar-anak bangsa kita dipertinggi. Perbedaan kita dijalin untuk memperkuat persatuan. Integrasi bangsa kita diperkokoh. Kerja sama dijalin lebih sungguh-sungguh demi mencapai tujuan nasional. Rasa saling percaya diperkokoh, sementara rasa saling curiga dihapuskan. Usaha saling bantu diperkuat, sementara saling jegal ditinggalkan.
Tetapi, masih ada tetapi, kita mesti sadar bahwa semua energi positif bangsa itu berhasil digerakkan terutama oleh tantangan dari luar. Ketika menghadapi tantangan (atau ”musuh” dari luar), energi positif dan produktif itu mudah ditimba, dikelola, bahkan digelorakan. Menjadi persoalan apabila tantangan itu dari dalam sendiri. Saya ingat kata-kata Bung Karno: ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri.”
Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama sebenarnya ganda. Di satu pihak, bagaimana memelihara momentum dan gelora energi positif kebangsaan kita sebagai modal untuk menjadi dasar kuat bagi perjuangan kita mencapai cita-cita bangsa yang belum tercapai. Olahraga, kebudayaan, dan kesenian ternyata telah terbukti menjadi sarana dan wahana yang strategis bagi pengembangan dan penguatan rasa kebangsaan kita. Oleh karena itu, kita mesti lebih sungguh-sungguh mengelola olahraga, kebudayaan, dan kesenian untuk memperkuat kebangsaan dan memperlemah intoleransi.
Di lain pihak, bagaimana menjadikan energi positif kebangsaan kita ini untuk bisa mengatasi problem-problem internal antarbangsa kita sendiri. Caranya dengan menjadikan kesepakatan-kesepakatan dasar bangsa sebagai acuan untuk bersikap dan bertindak secara luwes tapi tegas (lugas).
Guna menghindari diri kita dari kecanggungan bersikap dan bertindak terhadap persoalan-persoalan bangsa yang memaksa kita untuk berhadap-hadapan dengan ”saudara sendiri”, kita mesti lugas dengan berpatokan pada empat pilar kebangsaan kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selama dan sejauh kita luwes tapi tegas (lugas) dalam memelihara, memperkuat, dan memperjuangkan pilar-pilar tersebut, sesulit apa pun persoalan bangsa dan negara kita akan bisa kita atasi!
I Basis Susilo Dosen Hubungan Internasional FISIP Unair dan Analis Senior Stratagem-Indonesia