Ajaran spiritual di Indonesia kini kehilangan pamor lamanya. Di dalam situasi tradisional Jawa-Bali, sebelum pendidikan dan media modern mereduksi pewayangan menjadi tak lebih daripada warisan sejarah lama, seluruh sistem tata-nilai diturunkan dalam bentuk simbol-simbol. Selain itu, kebenaran religius diyakini ada, tetapi sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan Yang Tunggal (dikenal sebagai Manunggaling Kawula Gusti), jadi sebagai sesuatu yang supel, bukan sebagai sumber kewajiban mutlak yang kemutlakannya ditarik dari tafsir harfiah atas buku-buku suci, seperti kita saksikan sekarang.
Salah satu karya sastra Jawa Kuna yang mengungkap dengan baik simbolisme tradisional ini adalah Kakawin Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa. Diceritakan bahwa Arjuna bertapa di kaki Gunung Indrakila. Dalam pertapaannya, ia digoda oleh tujuh bidadari. Peristiwa ini dapat didekati secara multi-tafsir. Apakah bidadari itu cuma melambangkan nafsu berahi? Tidak, mereka juga melambangkan Sapta Timira, tujuh sumber kegelapan yang membayangi perjalanan hidup manusia.
Sang pertapa bisa menahan godaan itu. Batara Indra kemudian mendekat dalam wujud seorang brahmana dan mengingatkan Arjuna agar tidak hanya memperjuangkan keselamatan diri sendiri, tetapi juga keselamatan dunia. Kemudian Arjuna dihadang oleh si Momo dalam perwujudan seekor babi; momo melambangkan kejahatan dalam diri. Arjuna lalu melepas panah mematikan; tak disangka panah itu beradu dengan panah yang dilepas oleh seorang pemburu lain yang tidak dikenal. Mereka berdua kemudian terlibat dalam peperangan hingga Arjuna terpaksa takluk. Ternyata yang dihadapinya tiada lain adalah Batara Siwa sendiri. Tunduklah sang Arjuna sembari menyembah sujud di hadapan Sang Pencipta.
Jadi, perjalanan tapa Arjuna di atas sebenarnya melambangkan tahapan perjalanan manusia menuju Manunggaling Kawula Gusti: menguasai tujuh nafsu indrawi (tujuh bidadari), tanpa mengabaikan keadaan dunia (kunjungan Indra); lalu membunuh sumber kejahatan di dalam diri (Momo) untuk pada akhirnya, usai melampaui rasa ego (peristiwa pemburu), berserah kepada Tuhan.
Tetapi kisah dan pesan Arjuna tidak selesai sampai di situ. Perjalanan Arjuna sebenarnya telah lama diawasi para dewa demi memastikan apakah ia memenuhi syarat untuk menghancurkan Niwatakwaca, yang mengancam kahyangan para dewata – dengan mengutus raksasa Momo. Secara simbolis Niwatakwaca melambangkan kejahatan nyata yang mengancam bumi. Untuk menghadapinya, Arjuna dikaruniai senjata ampuh Pasupati, lambang dari pengetahuan sempurna. Dengan bantuan salah satu bidadari yang menggoda Niwatakwaca, Arjuna lalu bisa mengetahui titik lemah raksasa itu. Seusai bertempur agak lama, panah Pasupati dilepas dan menancap tepat di tenggorokan Niwatakwaca hingga ajal menjemputnya.
Di sini kita dapat menduga bahwa titik tertinggi kejahatan Niwatakwaca adalah kejahatan kata dan wacana (mulutnya yang disasar panah). Kejahatan itulah sebenarnya yang ingin dilenyapkan para dewata ketika mengirim Arjuna, melalui ujian Batara Siwa, untuk membunuh Niwatakwaca. Setelah tugas usai, baru Arjuna dapat memenuhi nafsu berahi di dalam pernikahan yang sah (wiwaha).
Jelas sudah kisah Arjuna Wiwaha ini bukan tanpa relevansi bagi masa kini. Kini ada juga tokoh berwatak raksasa yang, sebagaimana Niwatakwaca dengan koaran-koarannya, memakai aneka tafsir miring untuk menebarkan teori-teori politiko-religius yang mengancam ketenteraman dunia. Mereka juga mempunyai Momo-Momo lainnya yang tak segan-segan membohongi atau menyakiti pemeluk soleh nan damai, yang menjalani kehidupan spiritual sewajarnya.
Jadi, tidak hanya perbuatan raksasa-raksasa itu yang berbahaya, tetapi juga segala teori yang keluar dari mulut mereka dan disebarluaskan melalui aneka jaringannya. Maka, senjata yang dipakai untuk menghadapi mereka harus ampuh, seampuh panah Pasupati. Harus mampu mengidentifikasi titik lemah raksasa-raksasa itu dan melepaskan senjata dengan jitu agar mereka bungkam.
Di Indonesia, apakah panah yang kini dipakai pemerintah untuk membungkam para raksasa yang bermunculan di sana-sini memang seampuh Pasupati sang Arjuna? Apakah mereka bisa dibungkam? Apakah juga senjata Kalimosodo yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Jokowi dalam penyeleksian calon wapres akan seampuh yang diharapkan? Sejarah akan memutuskannya.