Gurita Rating Masih Melingkari Media Televisi
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam industri komunikasi, salah satunya adalah media televisi. Media televisi merupakan salah satu media massa yang mempunyai daya tarik cukup tinggi bagi masyarakat, baik sebagai media informasi maupun media hiburan.
Media televisi dengan mudah menarik perhatian masyarakat karena mampu menggabungkan antara audio dan visual yang bisa dinikmati berbagai macam kalangan, dimulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, sekalipun tanpa harus mengandai-andai apa yang dibicarakan di dalamnya layaknya saat mendengarkan radio.
Bagi sebagian orang yang bekerja di televisi, rating dan share adalah momok menakutkan yang melingkari media televisi sekaligus sumber mata uang mereka. Bagaimana tidak, setiap datangnya laporanrating dan share suatu program televisi, setiap detail angka yang muncul akan diperhatikan dengan saksama. Bahkan, perbedaan angka di belakang koma pun akan menjadi perhatian serius para pekerja televisi.
Semakin tinggi angka rating dan share sebuah program televisi, semakin banyak pemasang iklan yang akan memasangkan iklannya dalam program tersebut dan dipastikan akan semakin panjang program itu tayang di layar kaca.
Kuantitas vs kualitas
Rating dan share yang dihasilkan AGB Nielsen membuat para pemangku kepentingan (televisi, agensi, dan perusahaan pengiklan) hanya melihat tayangan televisi dari angka-angka itu. Rating dan share yang tinggi membuat perusahaan pengiklan dan agensinya akan memasang iklan dalam program itu, begitu juga dengan stasiun televisi yang dengan sukacita memasangkan program itu pada jam sibuk televisi. Dengan demikian, uang yang dihasilkan dari pemasang iklan akan semakin besar.
Menurut Victor Menayang, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang pertama di Indonesia, rating telah membuat industri televisi Indonesia masuk ke dalam alur spiral yang makin lama makin menukik ke bawah. (”Moratorium Program Pembodohan Bangsa”, Kompas, 15/9/2003). Logikanya, jika tidak ikut tren program acara yang sedang booming, pasti akan terkubur oleh program acara televisi sebelah.
Namun, angka-angka rating dan share yang dihasilkan oleh survei AGB Nielsen, menurut penulis, juga dapat dikritisi. Selain karena monopoli usaha, yang jelas-jelas melanggar Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ada beberapa poin yang menurut penulis harus ditinjau kembali. Pertama, harus adanya pengawasan dari eksternal terhadap survei kepemirsaan televisi yang dilakukan AGB Nielsen.
Karena praktik monopoli itu, AGB Nielsen dipastikan akan menjadi perusahaan adidaya (super power). Perusahaan yang berkuasa penuh atas angka-angka rating dan share, yang seperti dibahas di atas, angka-angka tersebut adalah ”hakim” bagi para pekerja televisi. Selain itu, AGB Nielsen bisa saja melakukan kesalahan metodologi dalam melakukan surveinya. Oleh karena itu, untuk menjamin tingkat keakuratan data yang dihasilkan dan menjaga tidak adanya kecurangan dalam survei, AGB Nielsen harus diawasi oleh pengawas khusus di luar perusahaan.
Kedua, pemilihan populasi televisi dan panel harus didasarkan pada profil yang mendekati kenyataan penonton televisi di Indonesia. Karena panduan survei menggunakan panduan internasional, dalam pemilihan populasi televisi dan panel yang dilakukan bisa saja klasifikasi profil penontonnya tak sama antara Amerika, Eropa, dan Indonesia. Sebagai contoh, jika pendapatan di atas 600 dollar AS di Indonesia dimasukkan ke dalam Klasifikasi Profil Upper I, di Amerika atau di Eropa bisa saja profil itu masuk kategori Middle I. Hal inilah yang seharusnya disesuaikan dengan kondisi dan realitas di Indonesia. Dengan adanya penyesuaian itu, diharapkan hasil yang didapat juga mendekati realitas yang ada.
Ketiga, angka rating dan share yang dihasilkan dari survei AGB Nielsen adalah angka berdasarkan survei kuantitatif. Hal itu digunakan untuk kepentingan komersial saja. Seharusnya dilakukan juga survei yang bersifat kualitatif untuk kebutuhan khalayak yang secara langsung terpapar program-program yang kurang bermanfaat yang hanya mengejar rating dan share. Survei kualitatif ini dibutuhkan untuk menilai mana saja tayangan yang berkualitas dan layak ditonton. Tidak sekadar menghibur, tetapi juga mendidik.
Berdasarkan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh Litbang KPI, Andi Andrianto, pada Rabu (25/7/2018), di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, KPI tahun 2018 telah melakukan survei indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia yang bekerja sama dengan 12 perguruan tinggi di Indonesia. Survei nantinya akan dilakukan tiga kali dalam setahun dengan 1.200 responden dan 120 panelis ahli untuk mengukur kualitas.
Bahan evaluasi
Pada survei pertama 2018, hasil yang didapat rata-rata tayangan televisi di Indonesia diberi indeks 2,84 dari delapan kategori program siaran televisi dan skor itu masih di bawah standar indeks yang ditetapkan KPI sebesar 3,00. Namun, ada indeks tayangan program televisi yang dinilai berkualitas oleh responden, yaitu acara religi wisata/budaya (skor 3,21), religi (3,21), anak (3,09), dan talk show (3,01). Sementara program televisi yang dinilai oleh panel ahli ataupun responden belum berkualitas adalah berita (2,98), variety show (2,51), sinetron/film/FTV (2,41).
Infotainment menempati posisi buncit dan dianggap paling tak berkualitas (2,35). Bahkan, selama survei dilakukan KPI, kategori program siaran infotainment, sinetron, dan variety show belum pernah mencapai standar indeks yang ditetapkan KPI.
Memang sudah seharusnya survei kepemirsaan televisi dilakukan tidak hanya mementingkan kuantitas, tetapi kualitas juga harus ditinjau kembali. Hasil survei KPI diharapkan menjadi bahan evaluasi untuk meninjau kembali mana saja tayangan program yang layak ditonton masyarakat dan mana yang harus dievaluasi. Tidak mengandalkan laporan masyarakat saja KPI mengevaluasi program tayangan televisi, tetapi juga dari hasil survei yang mereka lakukan. Dengan demikian, secara tak langsung, rating dan share bukan satu-satunya ”hakim” dari sebuah tayangan televisi, tetapi juga mempertimbangkan kualitas program tayangan itu sendiri.
Achmad Zamzami Pegiat Literasi dan Asisten Ahli Bidang Kelembagaan KPI Pusat