Lanskap Sejarah Sastra Indonesia
Perkembangan produksi karya sastra Indonesia—terutama puisi dan prosa—tampak amat pesat pada dekade tahun 2000-an ini. Banyak buku kumpulan puisi dan cerpen serta novel yang ditulis secara individu atau kolektif oleh sastrawan Indonesia. Dari buku yang ditulis tersebut, sebagian besar dipublikasi telah ber-ISBN. Ada buku yang tersebar luas, ada juga yang tersebar secara terbatas.
Terbitnya buku-buku sastra Indonesia, di samping tetap ada yang terbit di pusat-pusat kota seperti Jakarta dan Yogyakarta—yang menjadi sentra penerbitan sastra Indonesia—dalam perkembangannya pada kisaran tahun 2000-an tampaknya tak lagi hanya memusat di pusat-pusat kota itu. Telah terjadi penerbitan buku-buku sastra Indonesia secara meluas di beberapa kota di Indonesia. Bahkan, tak hanya terjadi di kota-kota provinsi, tetapi sudah sampai di kota-kota kabupaten.
Penerbitan buku-buku sastra Indonesia terutama sangat diinspirasi dan digerakkan juga oleh komunitas sastra yang ada di setiap daerah provinsi dan kabupaten. Basis komunitasnya pun amat bervariasi, bergantung pada di mana buku-buku sastra Indonesia itu ditulis komunitas tersebut. Ini tentunya merupakan perkembangan yang amat positif bagi sastra Indonesia di wilayah Indonesia, yang tentunya patut dicatat.
Namun, perkembangan dan produksi sastra Indonesia sedemikian itu tampak kurang diimbangi dengan terbitnya buku sejarah sastra. Dalam penulisan buku sejarah sastra Indonesia tampak terjadi stagnasi. Penulisan buku ini tak hanya terjadi pada tahun 2000-an, bahkan sebelumnya sudah terjadi. Stagnasi itu mengakibatkan produksi buku-buku sastra Indonesia di Indonesia jadi kurang terdata, terlacak, dan terkenali oleh pembaca nasional, apalagi pembaca internasional.
Dokumen
Dalam dokumen, kita hanya memiliki buku-buku sejarah sastra Indonesia yang ada pada masa angkatan 1920-an, 1930-an, 1945-an, 1966-an, atau mungkin sampai batas masa angkatan 1970-an. Lalu, masa 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan selanjutnya belum pernah ditulis buku sejarah sastranya.
Terlepas dari soal kesepakatan penamaan periodisasi, satu hal penting yang belum ada selama ini adalah lanskap produksi karya sastra Indonesia yang ditulis berupa buku sejarah sastra yang ada sejak awal sastra Indonesia hingga perkembangannya yang paling mutakhir. Padahal, lanskap ini amat penting bagi pembaca (nasional atau internasional) untuk mengenali keseluruhan karya sastra Indonesia yang pernah terbit di Indonesia.
Buku lanskap sejarah sastra Indonesia ini perlu ada sebagai sebuah dokumentasi agar karya-karya sastra Indonesia tak tercecer dan benar-benar dapat dikenali generasi pembaca sastra Indonesia. Tanpa ada buku sejarah sastra, tentu saja akan sulit mengenali seluruh karya sastra Indonesia yang telah dipublikasi sampai pada perkembangannya yang paling mutakhir.
Mengapa terjadi stagnasi (keterputusan) penulisan buku sejarah sastra Indonesia?
Sebagai sebuah wacana, stagnasi ini (mungkin) tidak penting; tetapi sebagai sebuah realitas yang ada dan terjadi, klaim stagnasi ini menjadi sangat penting. Oleh karena, sebuah perkembangan produksi karya sastra yang tanpa diikuti dengan pendokumentasian secara baik hanyalah akan membuat karya-karya yang pernah ada hilang ditelan masa, karena tak tercatat dan teridentifikasi.
Dalam ilmu sastra, aspek sejarah sastra menjadi bagian yang amat penting untuk mendukung proses pembelajaran. Sejarah sastra—tentu saja—merupakan satu aspek ilmu sastra, membutuhkan ketekunan dalam mendokumentasi (mencatat dan mengidentifikasi) setiap produksi sastra yang ada. Maka itu, seharusnya ada orang-orang tertentu yang menaruh perhatian untuk mendata dan mencatat setiap karya sastra Indonesia yang terbit.
Ketertiban dalam mendokumentasikan setiap produksi sastra menjadi titik awal kita untuk ”merawat” karya-karya sastra Indonesia yang telah terbit. Jika sebuah karya sastra sudah ada, dan diketahui ada pada masa kapan, seseorang (peneliti) akan menjadi amat terbantu dalam mengkaji sastra Indonesia. Ini berarti, sejarah sastra akan amat membantu pembelajaran sastra.
Kita memang belum mempunyai tradisi yang kuat dalam mendokumentasi karya-karya sastra Indonesia. Padahal, dalam realitas penerbitan karya sastra Indonesia, telah terjadi lonjakan perkembangan yang sangat pesat.
Sebagai contoh, di Jawa Timur saja ada banyak sastrawan sastra Indonesia yang menulis sastra. Sastrawan terbanyak adalah penulis cerpen dan puisi, baik yang terkumpul dalam antologi beberapa penulis maupun yang menjadi terbitan buku kumpulan buku sendiri.
Para penulisnya berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang dari guru, dosen, mahasiswa, anggota komunitas sastra, kalangan pesantren, dan penulis mandiri. Di daerah kabupaten, seperti di Lamongan dan Bangkalan, juga banyak komunitas sastra yang sekaligus menjadi penerbitnya. Dari komunitas-komunitas itu, kita ketahui banyak produksi karya sastra Indonesia. Ini diketahui ketika diadakan seleksi dalam sayembara penulisan sastra.
Stagnasi penulisan sejarah sastra Indonesia ini terjadi mungkin karena hanya memang belum ditulis saja, atau tampak tak ada orang (peneliti, penulis) yang menaruh perhatian pada upaya penulisan tersebut. Namun, sesungguhnya, tak ada kendala serius yang menyebabkan mengapa penulisan sejarah sastra tak terjadi secara berkesinambungan.
Untuk mendokumentasi dalam buku sejarah sastra Indonesia yang memperlihatkan penyebarannya yang luas sampai di daerah-daerah, sebenarnya dapat diatasi dengan strategi penulisan sejarah sastra per sub-area. Maksudnya, mulai dari pendataan produksi sastra Indonesia di area kota provinsi dan bahkan kabupaten.
Ini berarti, pada setiap kabupaten perlu ada penulis sejarah sastra yang berminat untuk menuliskan atau mendokumentasikan semua karya sastra yang pernah ditulis di kota masing-masing tersebut. Selanjutnya, hasil penulisan itu dapat ditingkatkan dalam tingkat provinsi, dan seterusnya ke tingkat nasional. Institusi Balai Bahasa dan Dewan Kesenian yang ada di setiap daerah provinsi di wilayah Indonesia (mungkin) menjadi institusi yang sangat berpotensi untuk mendata dan mendokumentasikan semua karya sastra yang pernah diproduksi di area kotanya.
Berdasarkan data atau dokumen yang ada di tiap-tiap daerah atau kota itu barangkali dapat ditulis buku sejarah sastra Indonesia, yang menggambarkan lanskap produksi sastra di wilayah Indonesia sejak awal hingga perkembangannya yang paling mutakhir. Di samping itu, koleksi yang sekarang ini (mungkin) sudah ada di dua institusi itu, ditambah lagi dengan dokumen yang (mungkin) tersedia di Perpustakaan Nasional, dapat dijadikan sebagai sumber dokumen yang digunakan untuk penulisan sejarah sastra Indonesia.
Dengan strategi ini, stagnasi sejarah sastra Indonesia akan teratasi, dan kita akan memiliki buku sejarah sastra yang akurat menggambarkan secara periodik (dari masa ke masa) produksi sastra Indonesia yang pernah diciptakan di Indonesia.
Dalam pembelajaran sastra Indonesia, sejarah sastra Indonesia menjadi materi yang amat diperlukan. Materi sejarah sastra itu tentu saja perlu terus diperbarui agar benar-benar dapat memberikan gambaran tentang realitas produksi karya sastra Indonesia yang pernah ada di wilayah Indonesia. Dalam pembelajaran ilmu sastra, kita tentu saja tak dapat hanya menggunakan buku sejarah sastra yang lama karena kita tak dapat memberikan gambaran yang lengkap tentang perkembangan sastra Indonesia sampai dalam tahap perkembangannya yang mutakhir.
Dalam realitas pembelajaran sastra, banyak pembelajar yang merasa kesulitan untuk mencari karya sastra yang ada pada masanya. Hal itu disebabkan tidak ada dokumen sejarah sastra yang dapat diacu untuk melihat pada masa tertentu, karya sastra apa saja yang pernah diterbitkan (diproduksi). Apalagi jika ingin masuk pada kajian sosiologi sastra, yang selalu merelasikan karya sastra dengan masyarakatnya.