Negara tetangga kita, Malaysia, kemarin, heboh. Aparat mereka mendapatkan barang sitaan berupa perhiasan dan barang lain senilai 275 juta dollar AS.
Nilai barang-barang yang juga setara dengan Rp 3,9 triliun itu disebut merupakan temuan paling besar dalam sejarah Malaysia. Tak mengherankan, peristiwa ini tak hanya menjadi perbincangan di tingkat nasional, tetapi juga diberitakan di berbagai media internasional.
Barang-barang yang disita antara lain perhiasan, tas, jam tangan, dan uang tunai. Semuanya ditemukan di sejumlah properti terkait mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Petugas melakukan penyitaan dalam rangka penyelidikan kasus dugaan pencucian uang.
Apa yang terjadi di Malaysia, kemarin, merupakan rangkaian tak terpisahkan dari kekalahan Najib dalam pemilu 9 Mei silam. Ia gagal mempertahankan kursi perdana menteri setelah koalisi oposisi yang dipimpin Mahathir Mohamad, mantan PM sekaligus mentor Najib, mengalahkan kubu penguasa.
Salah satu faktor kemenangan Mahathir itu adalah keengganan warga terhadap Najib yang ditengarai terlibat dalam megakorupsi 1MDB, sebuah perusahaan investasi milik pemerintah. Bahkan, beberapa bulan sebelum pemilu 9 Mei, Mahathir menyatakan keluar dari koalisi penguasa, lalu bergabung dengan oposisi, dan ikut dalam perebutan kursi perdana menteri karena tidak tahan dengan apa yang diduga telah dilakukan oleh Najib.
Di tengah berbagai tuduhan miring atas dirinya, pihak Najib selalu membantah. Perhiasan yang ditemukan petugas disebutkannya, antara lain, merupakan pemberian atau hadiah dan tidak berkaitan dengan 1MDB.
Memenuhi janjinya, Mahathir saat terpilih segera menggunakan wewenangnya untuk membuka kembali kasus 1MDB. Pejabat lembaga penegak hukum yang dulu disingkirkan Najib karena menyelidiki kasus 1MDB telah diangkat kembali dan dijadikan ujung tombak pemeriksaan kasus. Sejak itu, langkah hukum bergulir, mulai dari penggeledahan, pemanggilan saksi, hingga penahanan bekas pembantu Najib.
Kasus 1MDB, yang dulu dihentikan penyelidikannya pada era Najib, juga sedang ditelisik oleh aparat hukum asing. Mereka fokus pada kasus pencucian uang yang jumlahnya tidak sedikit.
Mahathir saat terpilih segera menggunakan wewenangnya untuk membuka kembali kasus 1MDB.
Apa yang dilakukan Mahathir, yakni membuka kembali skandal 1MDB, sangat diharapkan oleh warga Malaysia. Ia memenuhi janjinya seperti yang disampaikannya saat kampanye.
Demikianlah seharusnya demokrasi bekerja. Ada pemilu reguler yang jadwalnya pasti dan orang yang terpilih sebagai pemimpin memenuhi janjinya. Dalam demokrasi pula, rakyat memiliki kesempatan untuk ”menghukum” pemimpin. Sosok yang tidak lagi dikehendaki, entah karena diduga korupsi atau menerapkan kebijakan yang kurang disukai, tidak dipilih dalam pemilu. Dalam kondisi itu, barulah suara yang diberikan setiap warga bermakna, menentukan apakah demokrasi yang diterapkan mampu ”menghukum” pemimpin korup dan mengirimnya ke penjara.