Saya sedang di kereta api mudik ke Solo, ketika pertanyaan menggelitik muncul: apa Tuhan ada di dunia maya? Pertanyaan itu menyembul dalam buku Thomas L Friedman, Thank You for Being Late (2016).
Konteks pertanyaan itu mengaitkan nilai-nilai ketuhanan dengan perkembangan teknologi informasi yang menempatkan dunia maya sebagai ranah yang ”penuh pornografi, judi, saling cela antarorang dari segala arah”, pun ”ujaran kebencian”, bahkan ”perekrutan oleh kelompok penuh kebencian”. Friedman yang juga kolumnis New York Times ini menggambarkan secara satir bahwa ”kita telah menciptakan dunia di mana manusia telah lebih mirip Tuhan daripada dulu.”
”Kita,” catat Friedman, ”telah menciptakan dunia dengan wilayah baru nan luas—bernama dunia maya—yang bebas hukum, bebas nilai, dan seolah bebas Tuhan.” Kondisi ini membutuhkan ”inovasi moral”. Ini penting mengingat, ”kita belum pernah berada di persimpangan moral” serumit dan sedilematis sekarang.
Manusia pun seolah sudah seperti Tuhan justru ketika menjadikan dunia maya sebagai wilayah ”bebas Tuhan”. Namun, justru ironis karena manusia telah kehilangan kemanusiaan, terutama sisi religiositasnya. Dunia maya tanpa Tuhan tak memberi tempat istimewa bagi nilai-nilai kebaikan dan moralitas, mengingat nilai-nilai sebaliknya juga hadir begitu bebas. Moralitas bahkan demikian marjinal dalam dunia maya. Fenomena inilah yang memerlukan ”inovasi moral” itu.
Dimensi ketuhanan dalam kemanusiaan merupakan bagian penting dalam memahami pesan spiritual Idul Fitri. Kembali ke fitrah ialah ke kesejatian manusia yang ”hanif” alias punya kecenderungan kuat pada sifat-sifat baik Tuhan. Kesejatian manusia tak terpisahkan dari dimensi religiositasnya.
Namun, religiositas itu tidak akan muncul kemanfaatannya apabila tidak disadari dan diekspresikan. Nilai-nilai ketuhanan—otomatis juga kemanusiaan—tenggelam manakala manusia terjerumus dalam sistem yang diciptakannya sebagai sistem atau wilayah yang ”bebas Tuhan” itu.
Menghadirkan selalu nilai- nilai ketuhanan sebagai basis kemanusiaan kita, karena itu sangat relevan dalam menghadapi zaman yang perubahannya ekstra cepat ini. Friedman menggarisbawahi, ”kita sedang hidup di salah satu titik peralihan terbesar dalam sejarah”. Bahwa, ”tiga kekuatan terbesar planet ini—teknologi, globalisasi, dan perubahan iklim—semua bergerak makin cepat, sekaligus.” Alhasil, ”banyak sekali aspek masyarakat, tempat kerja, dan geopolitik kita yang sedang dibentuk ulang dan perlu dipikirkan kembali.”
Adaptasi
Dimensi manusia dan ketuhanan pun lantas terkait ikhtiar manusia yang sibuk berdaptasi oleh suatu kondisi yang hadir sebagai dampak perkembangan teknologi yang mereka sendiri. Mengutip Eric ”Astro” Teller, CEO laboratorium penelitian dan pengembangan X Google, Friedman mencatat bahwa, ”Hari ini percepatan inovasi sains dan teknologi bisa mengalahkan kapasitas rata-rata manusia dan susunan masyarakat untuk beradaptasi dan menerimanya.”
Karena itu, tantangan kita sekarang ialah ikhtiar untuk lebih memastikan bahwa dalam proses adaptasi yang cepat itu, kemanusiaan kita tak tertinggal jauh di belakang alias mengalami ketekoran. Kemanusiaan kita berdimensi vertikal, ketuhanan, dan horizontal, yakni kemanfaatannya bagi sesama. Ia harus senantiasa eksis dan berperan penting di dunia maya dan nyata. Tuhan tak boleh dibiarkan tenggelam di dunia maya dan nyata, justru ketika agama semakin gencar mengajarkan hal ikhwal kesalehan pribadi dan sosial.
Agama tetap diharapkan mampu tampil sebagai pemandu, termasuk dalam konteks ikhtiar inovasi moral di atas. Maka, penafsiran agama tak boleh statis di tengah perubahan zaman yang menuntut adaptasi secara cepat ini. Inovasi moral tak boleh dibiarkan sekadar sebagai ruang kosong yang tak melibatkan substansi nilai-nilai keagamaan. Dalam konteks inilah pesan hari-hari besar keagamaan, termasuk Idul Fitri, memiliki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan inovasi moral tersebut.
Agama mestinya memang selalu dikaitkan dengan aspek pembaruannya, reintepretasinya yang terus-menerus. Bukan berarti agama ialah hal yang selalu usang ketimbang perkembangan sains dan teknologi, tetapi agama pasti punya jawaban atas segala hal mengingat keluasan substansi nilai- nilainya. Karena itu, substansi nilai agama tak akan terkena disrupsi dan dislokasi.
Dua istilah di atas populer sekali dalam manajemen. Disrupsi merujuk ke pengertian apa yang terjadi ketika temuan baru muncul dan membuat kita kedaluwarsa. Dislokasi ialah ketika seluruh lingkungan berubah begitu cepat sehingga semua orang mulai merasa tidak bisa leluasa mengimbangi. Agama tidak pernah kedaluwarsa dan tertinggal, kecuali para pemeluknya miskin interpretasi, pembaruan keagamaan.
Karena itu, tentu itu bukan perkara mudah, ketika justru agama banyak dijauhkan dari wajah kemanusiaannya. Agama dewasa ini pun diperebutkan para manipulatornya, dibajak untuk kepentingan tertentu yang merusak, meneror. Wajah kemanusiaan agama pun dicabik-cabik di dunia maya dan nyata. Tentu tindakan dan perilaku pembajak atau manipulator itu bertolak belakang dari substansi nilai agama yang menghargai kehidupan, perdamaian, cinta kasih, dan persaudaraan yang tulus tidak saja antarsesama, tetapi antarmakhluk-Nya.
Idul Fitri ialah oase ketika wajah kemanusiaan agama diekspresikan dalam suasana hari raya. Merayakannya berarti merayakan kemanusiaan pula. Ia tak sekadar berhenti pada perayaan kemanusiaan tingkat pribadi semata-mata, tetapi lebih luas lagi ke tingkat sosial, ke ranah kemanusiaan universal. Pesan pentingnya ialah interupsi, tak saja bagi umat Islam yang merayakannya, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Marilah kita rayakan kemanusiaan kita di Idul Fitri ini.
M Alfan Alfian Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Unas; Pengurus Pusat HIPIIS