Saya pernah jadi mahasiswa. Pernah jadi pemimpin redaksi pers kampus, namanya Gita Mahasiswa. Pernah menulis artikel dimuat di koran kampus yang terkenal gahar pada tahun 1970-an terbitan ITB. Selain itu, juga menulis di koran umum nasional dan regional Jawa Tengah, kota tempat saya tinggal masa itu. Dalam bahasa teman-teman saya: Solotigo naliko semono.
Apa yang saya tulis? Kritik dan kecaman terhadap pemerintah. Bagaimana saya menuliskannya? Berpretensi ilmiah, harus keras, agak ngawur… agak malu juga mengenangnya kembali.
Setelah mengawali dengan apa, yakni pers, siapa pelaku yang tak lain saya sendiri, kapan, di mana, serta bagaimana, ada baiknya saya tambahkan satu faktor lagi, yaitu mengapa. Dengan demikian, lengkap unsur 5W1H yang jadi syarat utama tulisan jurnalistik.
Ya, mengapa saya menulis seperti itu waktu itu? Mengutip dogma terkenal: kalau umur 20-an kamu tidak sosialis kamu tidak punya hati. Kalimat itu ada yang melanjutkan dengan olok-olok: tapi kalau umur 40-an kamu masih tetap sosialis, kamu tidak punya otak.
Di kota kecil kami memiliki banyak waktu untuk ngobrol dan diskusi dengan siapa saja. Tentang tulisan sok kritis waktu itu, saya ingat komentar dosen yang saya akrab: ngono yo ngono ning ojo ngono, Mas. Begitu ya begitu tapi jangan begitu, Mas. Maksudnya, jangan kelewatan.
Begitulah saya memberi ilustrasi, ketika baru-baru ini teman saya, agraris, bertanya pada saya mengenai sikap saya tentang kritik terhadap penguasa. Berdasar pengalaman tadi, adakah saya juga akan berkata, ngono yo ngono ning ojo ngono?
Sikap saya terhadap kritik entah ditujukan kepada siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, begitu saya katakan padanya, entah mahasiswa, dosen, ahli agama, ibu rumah tangga, dan lain-lain, sangat berbeda kini. Sekarang media sosial menjadi instrumen utama untuk menyampaikan segalanya: kritik, uneg-uneg, mood dan perasaan, pamer makan apa, melancong ke mana, memakai pakaian seperti apa, dan seterusnya. Sebal saya melihatnya.
Dibawa sifat medianya, semua bisa disampaikan sesegeranya, secepatnya, pikir belakangan. Suasana menjadi riuh seperti menonton pertandingan bola. Seluruh penonton di pinggir lapangan menjadi ahli. Mereka nyeletuk sepanjang permainan. Kembali meminjam istilah bahasa Jawa, ndelok, kendel alok, artinya berani bercuap. Dunia komunikasi virtual telah melahirkan banyak pemberani seperti itu, ada yang jadi pahlawan, ada yang jadi pecundang. Sama saja, mereka diburu reality show yang haus sensasi dan miskin etika.
Ini bukan soal membandingkan manusia zaman old dan zaman now, melainkan semata-mata ingin menunjukkan bagaimana teknologi menentukan cara berkomunikasi. Dulu dengan mesin tik merek Olympia, butuh beberapa waktu untuk memenuhi satu lembar kertas ukuran A4. Mikir dulu sebelum memencet tuts. Kalau salah ribet. Jika salahnya kelewat banyak kertas dicopot, diganti yang baru. Kurang ekonomis untuk ukuran mahasiswa miskin.
Pikir dulu sebelum menulis. Kalau perlu diskusi dulu. Dengan dosen yang waktu itu sudah jadi selebritas kampus, namanya Ariel Heryanto. Kita menghargai keahlian, kompentensi, ekspertis.
Sekarang dunia digital merevolusi itu semua. Kita berada pada era ”the end of expertise”. Kepakaran telah berakhir. Pengamat sepak bola dan bonek di pinggir lapangan sama saja.
Muncul pikiran aneh-aneh, usulan perundangan-undangan ajaib, muskil untuk ukuran nalar sehat dan jiwa merdeka. Maka tidak salah kalau zaman ini disebut zaman pasca-kebenaran.
Kebenaran, sebagaimana fakta, menjadi teramat problematik pada era ini. Khusus bagi yang ditengarai orang sebagai fakta, jangan-jangan kita perlu istilah baru, taruhlah ”pasca-kefaktaan”. Dari Jayabaya sampai Jean Baudrillard telah menujumkannya. Itu sebabnya ada dongeng dan mitologi. Di situ kebenaran tersembunyi.
Kepada teman yang bertanya tadi, saya katakan itulah pandangan saya tentang kritik sekarang. Sebagai wartawan dulu saya utusan fakta. Sebagai pensiunan kini saya utusan fiksi.