Demokrasi dan Berita Bohong
Emmanuel Macron gusar dan berniat menerbitkan undang- undang yang kuat terkait berita bohong karena hal itu dapat mengancam demokrasi liberal.
Presiden Perancis Macron tidak main-main karena dirinya beserta tim pemenangan pemilu menjadi korban berita bohong. ”Akan ada dorongan transparansi yang lebih besar dengan tujuan memublikasikan identitas mereka yang memasang iklan dan membatasi jumlahnya,” ujar Macron dalam jumpa pers awal tahun, seperi ditulis harian ini, Jumat (5/1).
Tidak hanya itu, Macron juga ingin melakukan koreksi besar terhadap undang-undang terkait media dan akan menerapkan pemblokiran situs yang menyebarkan berita bohong. ”Semua ini dilakukan semata untuk melindungi demokrasi,” katanya.
Lawan Macron pada Pemilu Perancis 2017, Le Pen, menyerang rencana Macron yang akan melarang penyebaran berita palsu. Lewat Twitter, ia mengatakan, ”Perancis memberangus warganya. Siapa yang akan memutuskan apakah ada berita palsu? Hakim? Pemerintah?”
Dalam pemilu itu, Macron menjadi subyek dari banyak berita bohong. Dia mengomplain pernyataan Le Pen, yang menuduh Macron menempatkan uang di Bahama.
Macron menuduh Rusia terkait dengan penyebaran berita bohong terkait dirinya serta menyebut televisi RT dan Sputnik milik Rusia sebagai penyebar propaganda. Hal itu diucapkan Macron saat Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Perancis beberapa hari setelah terpilih. ”Ketika media mulai menyebarkan fitnah dan kepalsuan, mereka tidak lagi bisa disebut jurnalis,” katanya.
Pengumuman Macron itu menyusul Jerman, yang sejak 1 Januari 2018 mulai memberlakukan aturan antiberita bohong dan ujaran kebencian. Jerman menerapkan denda tinggi bagi setiap berita bohong dan ujaran kebencian yang tidak cepat ditarik oleh perusahaan media sosial yang memiliki lebih dari 2 juta pengguna, seperti Facebook atau Twitter.
Apa yang terjadi dalam pemilu Perancis sudah dirasakan oleh masyarakat kita. Bahkan, akibat maraknya ujaran kebencian, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti (saat itu) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2015. Namun, efektivitas dari pemberlakuan surat itu sampai sekarang masih dipertanyakan karena terkesan kurang independen.
Pada Pilkada Serentak 2017 di DKI Jakarta, khususnya, ujaran kebencian dan berita bohong cukup dominan sehingga kehidupan warga DKI amat terganggu. Beberapa orang yang diduga menyebarkan berita itu ditangkap dan sudah menjalani proses hukum.
Kita sependapat dengan Macron, penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong mengancam demokrasi. Seperti di DKI Jakarta, hal itu nyaris memecah belah bangsa. Kita yakin demokrasi masih merupakan jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Dengan demikian, merawat demokrasi berarti merawat impian kita sebagai sebuah bangsa.