Tulisan Bapak Daoed Joesoef di Kompas, Rabu (28/6) di halaman Opini dengan judul ”Pajak Bumi dan Bangunan” menggugah saya untuk berani berbagi pengalaman dengan menulis surat pembaca ini.
Saya seorang pensiunan PNS sejak 2009, tinggal di Kota Semarang. Saya terkejut ketika menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang-Pajak Bumi dan Bangunan 2017 sebesar Rp 2.154.920. Jumlah ini naik dari PBB 2016, yang hanya Rp 762.584. Terjadi kenaikan 282 persen. Kenaikan tersebut terjadi pada obyek pajak: Bumi 14,2 persen, Bangunan 84,2 persen, dan faktor pengali PBB yang terutang dari 1 menjadi 2 persen.
Kenaikan persentase obyek pajak bumi (naik 14,2 persen) mungkin masih bisa dipahami, tetapi obyek pajak bangunan yang naik 84,2 persen, sulit diterima karena kondisi bangunan yang semakin tua (lebih dari 20 tahun) mestinya semakin menyusut nilainya. Belum lagi kenaikan faktor pengali dari 1 menjadi 2 persen yang sangat memberatkan.
Bahwa Pemerintah Kota Semarang memerlukan dana dalam rangka meningkatkan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dapat dipahami, tetapi patut dipertimbangkan upaya penggalian sumber dana tersebut.
Saya juga berterima kasih kepada Pemerintah Kota Semarang karena telah memberikan perngurangan PBB kepada kami pada 2016 sebesar 15 persen menjadi Rp 557.374 dan pada 2017 sebesar 20 persen menjadi Rp 1.723.942. Namun, tetap saja terjadi kenaikan sebesar 300 persen, yang sangat memberatkan.
Pemikiran Bapak Daoed Joesoef barangkali tidak mudah dipahami Pemerintah Kota Semarang, tetapi pokok-pokok pikiran beliau patut dipertimbangkan karena menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai warga kota yang baik saya telah melunasi PBB 2017 pada Juli 2017.
Bharoto, Jalan Kelud Timur RT 009 RW 005, Petompon, Gajah Mungkur, Kota Semarang
Berkedok Tilang
Pada Rabu (8/11) sekitar pukul 09.00, saya mendapat telepon dari nomor 081317747842. Si penelepon mengaku teman saya dan meminta bantuan dilepas dari operasi tilang karena tak membawa kelengkapan kendaraan.
Kebetulan saat itu motor saya sedang dipinjam teman dan kelengkapannya ada di saya. Suaranya tergesa-gesa. Belum sempat saya menanyakan rincian dirinya, telepon diserahkan ke orang yang ia sebut ”polisi”.
Polisi ini mengaku bagian dari satuan Bhayangkara, sedang operasi mencari pencuri motor. Ia menuduh orang yang mengaku teman saya sebagai pencuri karena tidak memiliki kelengkapan dan akan memenjarakannya.
Karena takut motor ditahan, saya katakan surat-surat ada di saya. Sang polisi gadungan meminta uang Rp 400.000. Ia memberikan rekening Bank International Indonesia Maybank dengan nomor 081910429541 atas nama Ujang. Tanpa pikir panjang saya transfer nominal tersebut.
Namun, polisi gadungan kembali meminta uang Rp 1 juta untuk pencabutan perkara. Mereka—beberapa polisi bergantian berbicara—berdalih saya terlambat transfer dan berkas sudah dikirim ke pusat. Dengan berat saya kembali mentransfer ke rekening yang sama.
Tipuan terus berlanjut. Yang mengaku teman saya dimintai tolong membayar tagihan listrik dan air sebesar Rp 4,5 juta. Sang polisi gadungan mengambil alih menegaskan hanya akan melepaskan orang yang mengaku teman saya jika saya mentransfer uang Rp 4,5 juta ke BJB dengan nomor 0080648197100 atas nama Z Muslim. Saya terpaksa pinjam uang sana sini.
Polisi gadungan bilang uang belum masuk, katanya sistem error. Akhirnya saya curiga ditipu dan mematikan telepon.
Nomor tak dikenal beberapa kali menelepon saya. Tabungan habis dan saya masih berutang.
Jonathan Adrian, Perumnas III, Bekasi
Denda Terlambat
Karena kesibukan pada Oktober 2017, saya terlambat membayar tagihan PAM Palyja yang jatuh tempo 25 Oktober.
Tagihan tersebut baru sempat saya bayar pada 30 Oktober. Akibatnya, tagihan air saya yang seharusnya hanya Rp 21.329, menjadi besar karena ada tambahan denda Rp 75.000. Sungguh tak masuk akal.
Bagaimana mungkin dendanya tiga kali lipat, padahal saya cuma terlambat membayar lima hari. Tolong, PAM Palyja jangan seenaknya.
Hariwibowo Gunadi, Janur Hijau II, Kelapa Gading Timur, Jakarta