Tahun Mengingat dan Melupakan
Manakah tahun penting dalam hidup Anda? Ini sekadar mengingatkan hipotesis Milan Kundera mengenai memori yang bertebaran dalam buku-bukunya seperti The Book of Laughter and Forgetting, Laughable Loves, Ignorance, dan lain-lain. Bagi dia, mengingat dan melupakan merupakan tindakan politis. Keduanya berada dalam ranah politik, sejarah, dan kehidupan pribadi.
Pada riwayat Indonesia modern tak ada tahun penting berkaitan dengan tindakan untuk mengingat dan melupakan yang sebegitu runyamnya seperti tahun 1965. Bandingkan dengan tahun-tahun lain yang otak kita semata-mata sepakat untuk ingat: 1908 sebagai kebangkitan nasionalisme. Fajar yang memberi harapan. Tahun 1928 berkumandang Sumpah Pemuda, puisi terindah bagi negeri. Tahun 1945 negeri merdeka, syukur tiada terkira.
Tahun 1965?
Di situ memori menjadi ajang perebutan untuk mengingat dan melupakan. Satu pihak ingin tahun itu diingat sebagai penanda bahayanya komunisme yang melebihi apa saja termasuk radikalisme agama dan fasisme militer-sesuatu yang di belahan jagat lain dianggap bahaya peringkat utama. Pihak yang lain ingin melupakannya karena sebegitu pahitnya pengalaman pada tahun itu, di mana kesedihan bahkan harus dianggap tidak ada, dilupakan, atau setidaknya disembunyikan.
Ah, memori. Licinnya memori sebagai kesatuan dengan jiwa dan tubuh, ketika hendak dipolitisir seperti itu ia berpolitik sendiri. Tubuh berpolitik dengan jujur: lapar butuh makan, lelah butuh istirahat. Kalau dipaksa ambruk. Melatih tubuh sejatinya melatih jujur terhadap diri sendiri.
Tidak demikian dengan otak. Otak lebih kompleks. Memori yang terus-menerus disuruh mengingat sesuatu yang tidak ada lama-lama bakal mempercayai bahwa yang tidak ada itu ada. Begitu pun sebaliknya. Otak yang terus-menerus dilatih untuk melupakan sesuatu lama-lama percaya bahwa yang pernah ada itu tidak ada. Kalau pada kasus yang pertama kita menyebutnya insanity, pada kasus kedua kita menyebut amnesia.
Penderita insanity dan amnesia tak bisa membedakan mana nyata mana tidak nyata; mana fakta mana fiksi. Mereka yang tidak paham atas kompleksitas kesadaran dengan naif menyatakan apa pun dengan tambahan ucapan gegabah: itu fakta. Fakta embahmu.
Dengan histeris semua dianggap fakta, termasuk fiksi sekalipun. Saking berlebihannya fakta, Umberto Eco perlu menulis buku berjudul Travels in Hiperreality. Mudah-mudahan sebagian dari kalian-kalau toh belum pernah memegangnya apalagi membacanya-pernah mendengar mengenai buku itu.
Penguasa tahu betul mengenai memori ini. Kalau mau mempertahankan status quo kekuasaan, kuasai memori rakyat kalian. Tentukan mana boleh diingat mana harus dilupakan. Sejarah adalah properti penguasa, dibikin oleh kolaborasi para ahli dari berbagai bidang seperti militer, politik, sastra, sinema, dan lain-lain. Tidak boleh dikutak-katik. Laskar bayaran mengancam.
Maka, Milan Kundera memiliki ucapan yang terkenal: ”The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” Perjuangan orang melawan kekuasaan adalah perjuangan memori melawan lupa. Pikiran seperti itulah yang tampak dalam novel-novel Milan Kundera yang kebanyakan berupa cerita cinta diwarnai persepsi yang ganjil terhadap pasangan serta seks.
Jadi bagaimana sebaiknya kita menamai tahun 1965?
Supaya masing-masing pihak mendapat bagian, saya mengusulkan nama ”tahun mengingat dan melupakan”. Lumayan inovatif, kan? Mulai saat itu kita sama-sama melatih otak kita untuk mengingat maupun melupakan. Apa yang harus diingat dan dilupakan pun telah ditentukan oleh penguasa dengan berbagai instrumen dari buku sampai film.
Dengan menu otak yang sama, kita sebenarnya telah bertumbuh tak beda satu sama lain. Bolehlah kita beramai-ramai mengenakan kaus seragam bertuliskan: ”Kami Lupa”. Atau biar lebih gaya tulisan dibuat dalam bahasa Inggris: ”Society of Forgetting”.
Alangkah terlihat kompak kita, meski di luar sana orang barangkali melihat kita dengan meneteskan air mata.