Indonesia tengah dilanda penyakit menular yang ragam akutnya amat berbahaya: delirium religiosum. Harus diberikan nama dari bahasa Latin agar kelihatan lebih "ilmiah", kan? Simptomnya bermacam-macam, tetapi ada ciri umum yang ditemukan pada hampir semua penderita. Mereka dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya menjadi religius, terus ingin semakin religius, dan oleh karena itu siap merangkul tanda identiter apa pun yang dianggapnya terkait dengan anutan tertentu. Bisa bahasa, rumus panggilan, cara merawat bulu dagu dan berbusana, dan bahkan tipe account yang dibuka di bank. Dengan ini mereka merasa dirinya sudah termasuk kelompok terpilih dan kelak yakin bakal dibuka lebar-lebar pintu surga idamannya. Harus dicatat bahwa kadang-kadang delusi itu tercampur akal muslihat: tersangka korupsi bisa tiba-tiba berpakaian religius.
Delirium religiosum itu kini sudah menjadi sindrom sosial rada umum dan menular kepada semua kelompok, tanpa mengenal batas keyakinan. Bisa jadi gejalanya berbeda: ada ragam akut, ada ragam lunak: bukan semua kelompok menghasilkan calon martir. Namun, fenomenanya adalah serupa dan berpotensi juga berkembang secara liar.
Saya menyadari bahayanya itu, ketika saya pun mulai mempergunakan akronim yang kian sering dipakai sejumlah teman untuk menutup pesan surel atau WhatsApp: GBU. Kelihatan guyub, pendek, berwibawa, semacam "ciao". Bagus!!! Jadi, saya rangkul; saya pakai agar kelihatan keren. Ternyata bodoh. Salah! Tanpa menyadarinya, setiap saya menulis GBU ini, saya pun mulai memperlihatkan gejala penularan delirium religiosum yang saya kecam ini.
Untungnya, saya cukup gesit dan cepat mengerti bahwa GBU berfungsi sebagai tanda identiter dari kaum religius tertentu. Untuk mereka sarananya adalah bahasa Inggris (GBU=God bless you), dan kiblatnya adalah Amerika. Jadi, jika ada kelompok yang semakin ketimur-tengahan di dalam hal bahasa, ada kelompok lain yang semakin keamerika-amerikaan di dalam hal bahasa dan, tentu saja, di dalam pola menghitung uangnya. Menarik, kan? Dan mengerikan: semakin delirium religiosum ini meningkat intensitas "religiusnya", semakin kelompok pro-bahasa dan pro-busana Timur Tengah diperhadapkan dengan kelompok pro-bahasa Inggris. Ujung-ujungnya apa yang tadinya dimulai sebagai gejala ringan bisa berkembang menjadi fenomena delirium religiosum yang dahsyat. Dengan akibat bak mimpi buruk: nyali bunuh diri di kerumunan untuk kelompok pertama dan nyali untuk mengebom tanpa ampun bagi kelompok kedua. Maka lebih baik tidak membayangkannya-mohon maaf harapan ini telah meleset.
Kini saya khawatir jika delirium religiosum di atas meluas hingga ke Bali. Gejala awal sebenarnya sudah ada, di dalam versi ringan. Misalnya soal sembahyang: rumus bahasa Bali atau bahasa Kawinya kian digeserkan oleh rumus yang berasal dari bahasa Sansakerta. Pola makan pun berubah, kian menjadi vegetarian di bawah pengaruh dari mereka yang disebut "guruji" itu. Gejala masih ringan, tulis saya di tas. Cukup sampai di sini.
Tak ayal fundamentalisme ini adalah respons atas guncangnya pola hidup di bawah serangan globalisasi dan kapitalisasi kehidupan. Akan tetapi, apakah respons yang menjadikan kulit luar dari agama lebih penting daripada subtansinya atau segi identiter politik lebih penting daripada segi spiritualnya, apakah respons itu tepat? Tidak! Karena mengandung risiko "meliyankan", yaitu menjadikan "lain" untuk seterusnya orang-orang yang tiba-tiba dianggap "mutlak berbeda".... Meskipun di dalam hakikat agama, seperti di dalam sejarah Indonesia, perbedaan itu telah selalu menjadi bagian intrisik dari persamaan. Dan persamaan itu yang bakal dirayakan sebelas hari lagi tanggal 17 Agustus. Jangan dilupakan, rayakanlah kebersamaan itu sebagai pusaka kemerdekaan....