Tentang yang Buruk dan Baik
Di hari baik kita harus bicara baik. Tidak mudah bicara dan berpikir baik. Namanya manusia, lebih gampang berpikir jelek. Itu yang mengajari guru silat saya, Gunawan Rahardja, yang anaknya ganteng-ganteng dan cantik-cantik.
Saya terapkan ketika saya memberi workshop penulisan di Universitas Parahyangan. Prof Bambang Sugiharto beberapa kali mengundang saya bicara di kampusnya yang tenteram di Jalan Nias, Bandung. Ada peserta tanya: bagaimana hendak menulis kalau pikiran kita macet? Stuck? Tak tahu bagaimana memulai.
Pilih subyek yang akan Anda tulis, jawab saya. Tulis segala hal yang jelek mengenai subyek tersebut. Pokoknya tangan bergerak. Saraf tubuh yang bergerak akan mengaktifkan otak sehingga pikiran tidak macet. Pikiran membawa tubuh, tapi tak jarang tubuh membawa pikiran.
Contohnya, dia bertanya lebih lanjut.
Ya, misalnya Jakarta, saya akan pikirkan soal macet; anomali lalu lintas; overdosis agama; DPR, dan segala hal yang menurut saya jelek. Setelah semua yang jelek sampai titik terendah dan tak bisa turun lebih rendah lagi, pikiran mulai mengapung. Dengan itu kita jadi enteng, bisa menulis apa saja. Semua manusia elok, memiliki pengalaman otentik yang pasti bisa dibagikan pada siapa saja.
Para peserta workshop tersenyum, tidak lagi setegang sebelumnya. Malah ada yang bertanya dengan agak berseloroh: apa yang bagus-bagus yang Anda pikirkan mengenai Jakarta? Bir?
Kaget saya. Mereka para mahasiswa filsafat, kritis, dan umumnya lebih ramah dari yang belajar agama.
Saya jawab: Ahok.
Giliran mereka kaget. Ruangan berdengung, ada yang bisik-bisik, ada yang tertawa. Kalau ini saya pelajari dari diktum koran: cerita tentang manusia selalu menarik.
Apa hal baik yang Anda pikirkan tentang dia, ada yang langsung terangsang ingin tahu.
Dari seluruh hal jelek tentang dia- saya tak perlu mengulangi, para pembencinya telah membantu membikin daftarnya- saya coba secara santai memikirkan yang baik-baik saja. Saya tak mengenalnya secara pribadi dan waktu itu belum pernah melihat sosoknya secara langsung. Pertama kali berhadapan langsung dengannya ketika sahabat saya, Banu Astono, menikahkan anaknya. Pesta pernikahan berlangsung di sebuah gedung tinggi.
Di lobi di depan lift yang akan membawa tamu ke lantai enam tempat pesta berlangsung, tiba-tiba muncul Ahok dan beberapa pengawalnya. Tahu diri dan minder, saya beringsut untuk memberi kesempatan terlebih dulu bagi mereka masuk lift yang pintunya terbuka.
Tanpa saya duga, Ahok mendorong dengan halus punggung saya agar saya masuk duluan. Waduh. Di dalam lift ia menyapa: temannya Banu? Saya jawab lebih dari teman. Sanak kadang. Kalau panik saya bicara ngawur. Dia tampak bingung, mungkin tidak paham.
Pada lantai berikut pintu lift tiba-tiba terbuka. Ada serombongan ibu-ibu juga hendak ke lantai enam. Pengawal Ahok memberi isyarat agar mereka tidak masuk, tapi Ahok memberi isyarat sebaliknya. Ia menganggap ruangan lift masih cukup untuk menampung beberapa orang.
Masuklah rombongan ini. Suasana berubah ramai melebihi kandang bebek. Mereka histeris. Di ruang sempit ini ada yang nekat memepet-mepetnya untuk berfoto bersama. Saya merasa satu lift dengan The Beatles. Untung lift cepat sampai lantai di mana pesta berlangsung.
Masuk ruangan pesta kehebohan berlanjut. Orang-orang menyerbunya. Dengar-dengar, begitulah umumnya suasana pesta pernikahan kalau Ahok datang.
People make news. Cerita manusia selalu menarik. Para peserta workshop kelihatan takjub mendengar cerita saya. Beberapa bertanya ini-itu, yang saya tidak bisa jawab, karena cuma sebatas itulah persinggungan saya langsung dengannya. Yang saya tahu dia minum Equil, bukan bir. Mereka tertawa.
Tanggal 29 Juni lalu dia ulang tahun ke-51. Kembali di hari yang baik ini saya ingin mengucapkan harapan yang baik: selamat ulang tahun Dik Ahok.
Dia lebih muda dari saya, tapi apa yang telah diperbuatnya terutama untuk Jakarta dalam masa pemerintahannya yang pendek menjadikan saya merasa saya bukan apa-apa.