Pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang mendaftar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sampai awal 2017 mencapai 19,7 juta orang. Dari jumlah itu, separuhnya sudah menderita sakit katastropik kronis saat mendaftar. Inilah yang jadi biang defisit, 10,5 juta orang menunggak JKN, apalagi sebagian besar memilih kelas 2 dan 1 yang biayanya bisa 40 persen lebih mahal.
Menurut BPS (Sakernas 2015-2016), pendapatan rata rata PBPU adalah Rp 1,7 juta sebulan. Wajar kalau berobat umumnya menunggak. Melihat struktur usia, pendapatan, maupun bidang usaha mereka, wajar pula kalau puluhan juta PBPU belum bisa memprioritaskan pembayaran iuran JKN di antara kebutuhan primernya.
Di samping PBPU, sebenarnya ada potensi peserta lain, yaitu pekerja penerima upah (PPU). Saat ini yang belum didaftarkan lebih dari 30 juta PPU yang bekerja di ratusan ribu perusahaan, termasuk BUMN.
Setelah beroperasi sejak 2014, JKN baru mendaftar 23,4 juta peserta kelompok PPU yang bekerja di perusahaan. Di antara jumlah tersebut ada keluarga sehingga PPU lebih kurang 8 juta orang. Mengapa kepatuhan perusahaan sangat rendah?
Pertama, pelayanan dokter dan ketersediaan obat masih diragukan serikat pekerja, termasuk manajemen perusahaan kecil, besar, bahkan BUMN. Karyawan BPJS malah memberi contoh dengan membeli asuransi kesehatan tambahan.
Kedua, iuran JKN termasuk progresif. Bagi perusahaan muda usia dengan dominasi karyawan bujang, iuran JKN terasa lebih mahal. Sebaliknya, meskipun didominasi karyawan berkeluarga, iuran JKN dapat memberatkan karena jaminan kesehatan perusahaan dipersepsikan lebih baik. Karena itu, selain membayar iuran JKN, perusahaan juga membiayai layanan kesehatan karyawan dan keluarganya.
Dengan kedua kendala di atas, upaya perluasan jumlah peserta PPU membutuhkan kajian lebih dalam. Tidak cukup dengan menaikkan batas atas upah dan ”memaksa” kepesertaan melalui pengawas ketenagakerjaan dan hukum.
Resep lain yang diberitakan Kompas adalah urun biaya, artinya peserta membayar sebagian pengobatannya. Bagi peserta PPU, dengan merujuk undang-undang ketenagakerjaan, urun biaya dibayar oleh perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan PBPU dapat memilih urun biaya atau berobat di kelas JKN berupa ”kelas dijamin hidup”, yang artinya memenuhi keamanan dan kebutuhan dasar medis.
Odang Muchtar, Jalan Kesehatan, Bintaro, Jakarta Selatan
Tentang Stovia
Tulisan berjudul ”Stovia yang Melahirkan Kebangsaan” (Kompas, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para tokoh Indonesia. Untuk menyempurnakan tulisan tersebut, perlu diluruskan beberapa hal dari sisi sejarah.
Stovia sebagai sekolah pendidikan dokter Hindia Belanda, sebenarnya tidak mendadak muncul pada zaman politik etis. Sekolah itu lahir sebagai sekolah dokter Jawa 1851, dengan program dua tahun. Tahun 1864 pendidikan menjadi tiga tahun.
Tokoh dr Wahidin Soedirohoesoedo lulus dari program tiga tahun itu. Menurut A de Waart (1936), sejak 1872 sekolah itu mulai menyandang nama Stovia. Pada 1902 lama sekolah menjadi sembilan tahun (termasuk tiga tahun persiapan).
Dr Soetomo, masuk 1903, dapat disebut sebagai generasi pertama Stovia dengan kurikulum sembilan tahun. Artinya, pendiri Boedi Oetomo bukanlah generasi pertama Stovia, karena lulusan pertama Sekolah Dokter Djawa sudah muncul pada 1853.
Keterangan ”Orang-orang idealis berpendidikan tinggilah yang masuk Stovia” juga kurang tepat. Sejak 1891, para calon siswa Stovia mendapat beasiswa penuh di sekolah dasar Eropa (ELS).
Apakah beasiswa diberikan kepada yang ”idealis”? Menurut Akira Nagazumi (1972), sebagian besar siswa Stovia adalah priayi kecil, ada yang bukan priayi sama sekali. Dengan demikian, adalah kurang tepat kalau dalam tulisan disebutkan bahwa ”sebagian besar siswa Stovia angkatan 1902-1920 adalah anak-anak bangsawan”.
Mari kita rawat sejarah untuk menopang nilai-nilai kebangsaan demi keutuhan negara.
Bambang Eryudhawan, Jalan Lembang, Jakarta
Catatan Redaksi: Terima kasih atas tambahan penjelasan yang disampaikan.