Fundamentalis Sampah
Yang saya maksud dengan fundamentalis sampah adalah siapa saja yang membuang sampah sembarangan, sebesar atau sekecil apapun, karena—meniru ucapan bijak: menjaga kebersihan adalah ibadah.
Diumpamakan ibadah, pada ibadah puasa, menggigit makanan secuil dengan makan sepiring sama saja pengertiannya: batal puasa.
Pengemudi mobil mewah membuang potongan kertas pembayaran di pintu tol sama kelasnya dengan gembel penghuni bantaran kali membuang kasur bodol ke sungai. Batal menjadi bagian dari peradaban urban.
Cakrawala urbanisme terlampau jauh bagi sebagian besar dari kita. Kebetulan saya tinggal di daerah pinggiran, yang dikarenakan perkembangan termasuk mendapat kemudahan akses ke Jakarta, ia di ambang menjadi suburban. Kompleks-kompleks hunian dari yang eksklusif sampai kelas bebek muncul di sini. Begitu pun hiburan seperti sinema dan pusat perbelanjaan. Segera akan muncul mal besar terintegrasi dengan apartemen mewah.
Di sini sikap kelas menengah kita sebagai fundamentalis sampah tercermin jelas. Pada akhir pekan, mobil-mobil dari Jakarta menyesaki kawasan wisata ini. Untuk mengurangi kemacetan, telah lama diberlakukan sistem buka-tutup. Pada jam-jam tertentu hanya diperbolehkan mobil ke arah naik. Yang dari atas stop beberapa jam. Nanti digilir, hanya kendaraan dari atas diperkenankan jalan, yang dari bawah stop.
Begitu saluran dibuka, di lokasi ribuan kendaraan diberhentikan yang terlihat adalah sampah. Jalan raya menjadi lautan sampah, sisa situs arkeologis masyarakat kota yang sebenarnya masih primitif: plastik, botol, boks pembungkus makanan, gelas kertas bermerk gerai kopi internasional, dan lain-lain. Tak ketinggalan limbah air kecil. Mereka buang air kecil di jalan. Kalau toilet training kita percaya sebagai bukti peradaban, membedakan spesies manusia dengan hewan, maka para priyayi kota besar tadi belum melampui fase toilet training.
Pada tingkat peradaban seperti dicerminkan dalam realitas mingguan itu, terlihat berabenya realitas sosial kita sekarang. Belum genap bertransformasi menjadi masyarakat modern, kita masuk ke era digital. Era modern terjadi sebagai konsekuensi dari pencerahan, enlightening, yang dibawa oleh tradisi literer, membaca. Tradisi membaca buku belum tumbuh di kalangan kita ketika piranti digital kini menjadi mainan dari bayi sampai orang tua, dari kota sampai desa-desa.
Lhah bukankah mereka juga membaca, dalam arti membaca teks pada piranti digital? Bahkan informasi lebih cepat dibanding barang cetak seperti koran? Lebih cepat, lebih segera, lebih banyak, berlimpah-ruah laksana air bah?
Betul, hanya saja sudah banyak diuraikan para peneliti bahwa membaca teks pada media cetak berbeda dibanding membaca teks pada layar komputer dan handphone. Mereka merumuskannya, yang pertama, membaca teks pada media cetak seperti koran dan buku adalah pembacaan linear. Membaca pada layar komputer adalah pembacaan, begitu istilah mereka: hiperteks.
Pada pembacaan linear orang fokus pada satu subyek, baru berganti kalau satu pembacaan sebelumnya selesai. Pada pembacaan hiperteks orang berpindah-pindah fokus, yang ini belum selesai pindah ke yang lain, yang lain lagi, dan seterusnya.
Yang membentuk si pembaca akhirnya bukan informasinya, melainkan medianya. Dengan piranti digital orang masuk dan hidup dalam dunia maya. Orang cukup mendengar, menganggap kenyataan sesuai dengan apa yang didengarnya. Dunia maya menjauhkan orang dari kenyataan, dari keterlatihan menerima informasi dari keserentakan kerja seluruh kecerdasan diri kita: otak, tubuh, rasa. Jadilah kita bersikap dalam dua kutub ekstrem: suka-benci; muak-bersimpati; iba-dengki; dan seterusnya.
Kita diam-diam menjadi ekstremis dan fundamentalis dalam segala hal: fundamentalis piknik yang menyesaki kawasan resor setiap akhir pekan; fundamentalis belanja yang sebentar lagi akan histeris dalam belanja tengah malam alias midnite sale; fundamentalis agama yang menganggap pihak lain kafir; dan lain-lain.
Konsumerisme kini bukan hanya mendagangkan produk dunia, tapi juga akherat. Untuk yang terakhir ini retailer-nya banyak yang jadi kaya, berkebalikan konsumen yang tetap miskin.
Sebagaimana fundamentalis sampah dari kelas bawah sampai atas, sehari-hari mereka kelihatan biasa-biasa saja. Mereka bisa tinggal di perumahan, apartemen, kerja sebagai pegawai kantoran, tukang asuransi, penjahit, dan sebagainya. Perilaku terlihat baik-baik saja, seperti kesaksian tetangga kalau bercerita mengenai teroris.
Begitu keluar rumah mereka menyerobot lalu lintas, membuang botol di jalan tol melalui jendela mobil, menggencet sesama kaumnya di gerbong kereta khusus wanita, dan entah apa Anda pernah alami. Tingkatan paling ekstrem, meledakkan diri dengan bom.