Kebijakan Komprehensif Pangan
Kenaikan harga beberapa bahan pangan belakangan ini terjadi menjelang datangnya bulan puasa. Kenaikan harga yang seharusnya dapat diantisipasi itu terjadi hampir setiap tahun, meskipun datangnya hari besar keagamaan sudah diketahui jauh hari.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Bulog mendapat tugas menstabilkan harga. Kali ini Menteri Perdagangan menyebut upaya stabilisasi harga sebagai Gerakan Stabilisasi Pangan dan menggunakan pendekatan terstruktur. Rencana pemerintah menangani stabilitas harga pangan secara terstruktur perlu didukung dan diharapkan dapat meluas dari hulu hingga ke hilir.
Kenaikan harga pangan menjelang hari besar keagamaan menurut pemerintah disebabkan permainan pedagang yang ingin ambil untung berlebihan.
Pemerintah memilih jalan menetapkan harga acuan pembelian di tingkat petani dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen. Kementerian Perdagangan yang bertanggung jawab pada distribusi perdagangan mengajak aparat keamanan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha ikut mengawasi agar tidak terjadi penimbunan oleh pedagang.
Pangan adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan, hak tersebut harus dipenuhi bukan hanya sisi kuantitas atau jumlahnya, tetapi juga kualitasnya. Karena itu, pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak dasar tersebut tidak cukup hanya pada produksi dan distribusi, tetapi yang terutama adalah bagaimana masyarakat dapat menjangkau dan mendapatkan bahan pangan tersebut.
Kemampuan rakyat menjangkau pangan sangat penting. Meskipun tingkat kemakmuran masyarakat Indonesia membaik dari waktu ke waktu, tetapi pengeluaran separuh lebih penduduk adalah kurang dari dua dollar AS per hari. Ukuran pengeluaran dua dollar adalah kesepakatan dunia.
Pada kelompok masyarakat ini, 70 persen pengeluaran rumah tangga masih untuk pangan. Stabilitas harga pangan dari waktu ke waktu menjadi penting bagi mereka sehingga upaya menjaga harga pangan dalam bentuk gerakan yang sifatnya temporer tidak memadai.
Pada sisi lain, ada kelompok masyarakat yang cukup makmur dengan daya beli memadai. Mereka memiliki kemampuan memilih pangan yang sangat beragam. Sebagai contoh adalah beras. Konsumsi beras saat ini ditentukan selera lokal dan memiliki bermacam kualitas. Bagi kelompok ini, harga tidak menjadi masalah. Konsumen yang punya kemampuan ekonomi tersebut juga dapat mengonsumsi nonberas sebagai sumber karbohidrat. Sumber energi juga tak sebatas hanya dari pangan karbohdirat.
Tugas pemerintah karena itu lebih tepat difokuskan pada kelompok masyarakat yang tidak dapat membeli bahan pangan apabila komoditas tersebut dilepaskan pada mekanisme pasar.
Untuk menjaga stabilitas pangan, sektor hulu perlu pembenahan karena akan menyangkut produksi dengan kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan. Benih, bibit, pupuk, dan ketersediaan irigasi yang baik dan tersedia tepat waktu menjadi faktor penentu keberhasilan produksi.
Selepas produksi, pasca panen, terutama sisi industri, selama ini belum tertangani dengan baik. Padahal, nilai tambah tertinggi berada pada sisi hilir, yaitu agroindustri, yang akan menarik ke atas pendapatan petani dan menjamin stabilitas harga bagi konsumen. Sebagai contoh tentang nilai tambah pada produk pertanian, pada tahun 1977, menurut data Bank Mandiri, 1 kilogram daun tembaku setara dengan 1 gram emas. Tahun ini, 1 gram emas setara dengan 0,5 kg rokok (500 batang) bila harga sebatang rokok Rp 1.000.
Belum terintegrasinya secara penuh sektor pertanian hulu dengan agroindustri menyebabkan nilai tukar petani rendah sampai saat ini dan sektor pertanian hulu semakin kehilangan daya saing. Ketika produksi pangan berlebih, harga jatuh dan saat sedang tidak ada panen harga melonjak. Stabilitas harga tidak mudah dicapai.
Pendekatan kecukupan gizi
Pendekatan komoditas dalam penyediaan pangan oleh pemerintah selama ini, yaitu melalui produksi pangan dan menjaga distribusinya sejauh ini terbukti belum berhasil menstabilkan harga dan meningkatkan pendapatan petani.
Data Biro Pusat Statistik memperlihatan, nilai tukar petani, terutama petani tanaman pangan, bergerak di sekitar 100. Ini artinya pendapatan petani sama dengan atau hanya sedikit di atas biaya yang harus dikeluarkan untuk berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan sektor produksi pertanian kehilangan daya saing dan ditinggalkan petani muda.
Pendekatan komoditas yang selama ini diwujudkan dalam bentuk upaya swasembada pangan berujung pada pengerahan segala daya dan sumber daya untuk memenuhi target tersebut. Dalam kenyataan, sumber daya tersebut, antara lain, lahan tidak selalu tersedia. Pendekatan ini juga memberi keuntungan pada konsumen dengan kemampuan ekonomi cukup, mirip seperti kebijakan subsidi BBM yang berlaku umum.
Pada sisi lain, tujuan memberikan harga terjangkau dan stabil bagi konsumen juga tidak sepenuhnya terwujud karena pendekatan komoditas dan swasembada menihilkan impor dengan alasan melindungi petani.Akibatnya, konsumen di dalam negeri, termasuk petani, harus membayar harga lebih mahal dari harga di pasar dunia.
Karena pendekatan komoditas belum kunjung memberikan hasil sesuai harapan, ada baiknya menggunakan pendekatan lain yang layak dipertimbangkan, yaitu pemenuhan kecukupan gizi masyarakat. Pendekatan ini mempromosikan produksi pangan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat dan geografis tiap wilayah, mulai dari produksi hingga industri pengolahannya dengan tujuan meningkatkan status gizi masyarakat.
Dengan pendekatan ini, sumber karbohidrat tidak harus beras, tetapi bisa pangan lokal seperti jagung, sagu, dan umbi-umbian. Sumber protein juga tidak harus daging sapi, tetapi bisa ikan, daging ayam, telur, hewan ternak lain, dan sumber nabati yang proteinnya juga berkualitas.
Untuk itu, pemerintah memfasilitasi agar petani dan wirausaha agro tumbuh di daerah, mulai dari menyediakan benih dan bibit unggul sesuai kebutuhan setempat, infrastruktur jalan dan listrik desa, jaringan telekomunikasi, pasar rakyat dan pasar daring, hingga kredit yang mudah diperoleh.
Kementerian Perindustrian, Kementerian Desa dan PDT, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BUMN, BUMD, hingga BUMDesa harus terlibat.
Pemerintah daerah harus dilibatkan karena menjadi ujung tombak melalui kebijakan daerah memotivasi petani berproduksi dan memfasilitasi tumbuhnya industri agro yang membutuhkan pasokan kontinyu.
Posisi pemerintah akhirnya adalah fokus pada melindungi kelompok masyarakat miskin dan rentan yang tidak dapat menjangkau pangan berkualitas dalam kuantitas cukup bila komoditas itu diserahkan pada mekanisme pasar.
Di sini pemerintah dapat berperan penuh mendorong produksi dan mendistribusikan komoditas pangan dasar untuk memberi kecukupan gizi sumber energi dan protein dasar. (Ninuk M Pambudy, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas)