Seperti apa persepsi warga Ukraina dalam memandang invasi Rusia? Litbang “Kompas” mencoba memetakan opini publik Ukraina terkait nasionalisme, dukungan terhadap NATO, hingga pandangan terhadap negara-negara lain.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·6 menit baca
Invasi Rusia terhadap Ukraina telah mengubah persepsi warga Ukraina dalam memandang diri dan lingkungannya. Nasionalisme warga Ukraina memuncak di tengah gempuran militer Rusia. Alih-alih menyerah terhadap kedigdayaan alutsista Rusia, tingkat keyakinan rakyat Ukraina tampaknya justru meningkat.
Hal tersebut tersimpulkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan secara berkala nasional di seluruh Ukraina oleh sebuah lembaga riset Rating Group Ukraine. Merunut hasil jajak lembaga tersebut di laman ratinggroup.ua, terlihat bahwa semangat nasionalisme warga Ukraina justru memuncak pascaserbuan militer Rusia sejak 24 Februari 2022. Kesediaan membela negara, kepercayaan pada kemampuan angkatan bersenjata, dan soliditas dengan keputusan pemerintah terpantau tinggi.
Pada jajak pendapat 1 Maret 2022 atau enam hari setelah invasi, persetujuan “bela negara” mencapai 80 persen responden yang menyatakan siap mempertahankan keutuhan teritorial Ukraina dengan senjata apapun yang tersedia di tangan. Dibandingkan sebelum masa perang, proporsi kesediaan membela negara itu melonjak dari 59 persen.
Kesiapan paling tinggi terpantau di wilayah barat dan tengah Ukraina, sementara di selatan dan timur sedikit lebih rendah. Hampir seluruh responden memiliki harapan positif terkait perkembangan situasi di Ukraina, kecuali di wilayah Crimea dan Donbas yang dikecualikan dari daftar pengambilan sampel survei lembaga tersebut. Crimea dikecualikan karena diduduki Rusia, dan Donbas karena menjadi ajang perang.
Meski memahami batas kemampuan militer negara mereka menghadapi Rusia, namun mayoritas publik Ukraina tetap percaya mampu menahan serangan Rusia dan hanya satu dari sepuluh responden yang tak percaya. Nyaris seluruh responden Ukraina (98 persen) mendukung perlawanan bersenjata yang dilakukan angkatan bersenjata Ukraina.
Soliditas dukungan juga sejalan dengan keputusan Presiden Volodymyr Zelenskyy yang memutuskan untuk melawan agresi Rusia. Berbeda dengan sejumlah anggapan bahwa Zelenksyy hanya menjalankan agenda elit Ukraina dengan melawan Rusia, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa agenda melawan pengaruh Rusia sebetulnya sudah tergalang sejak lama (2014) yang menjadikan dukungan politik terhadap Presiden Zelenskyy, termasuk keputusan untuk berperang sangat tinggi mencapai 93 persen.
Hal itu mudah dipahami jika melihat peristiwa saat Rusia menganeksasi Semenanjung Crimea, 27 Februari 2014. Sejak aneksasi itu terjadi, berlangsung sejumlah aksi kekerasan di berbagai kota Ukraina sebagai ungkapan warga Ukraina yang tidak terima dengan pencaplokan wilayahnya oleh Rusia dan terjadi suksesi atas kepemimpinan pro-Rusia.
Jajak pendapat yang dilakukan Pew Research sebagaimana dimuat di nytimes.com, 8 Mei 2014 menunjukkan sikap anti-Rusia yang konsisten meningkat sejak aneksasi. Pada survei yang dilakukan sesaat setelah aneksasi menunjukkan, dua pertiga publik Ukraina melihat Rusia sebagai “pengaruh buruk” bagi keutuhan negeri mereka. Jumlah penilaian itu melonjak dua kali lipat dibandingkan hasil survei dengan tema serupa tahun 2009.
Survei itu juga merekam, mayoritas publik Ukraina baik yang berbahasa ibu Ukraina maupun Rusia (di wilayah Donbas), sebenarnya ingin keutuhan wilayah negaranya. Namun pada saat yang sama, publik Ukraina berbahasa Rusia memiliki persepsi yang lebih negatif terhadap Uni Eropa dan AS, berbeda dengan warga berbahasa Ukraina yang lebih positif. Artinya, keterbelahan sosial sudah tumbuh sejak lama, yang diperparah dengan campur tangan Rusia terhadap konflik dalam negeri Ukraina.
Soal gabung NATO
Pada survei yang diadakan sebulan masa perang Rusia–Ukraina, 18 Maret 2022, tampak bahwa mayoritas responden (77 persen) masih percaya perlawanan terhadap invasi Rusia bergerak ke arah yang benar, meski ada 14 persen responden tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
Keyakinan akan kemenangan masih tetap pada level sangat tinggi (93 persen) bahwa Ukraina akan mampu mengusir Rusia. Oleh karena itu, gencatan senjata sementara dengan Rusia tanpa menarik pasukannya dari Ukraina dipandang tidak dapat diterima oleh mayoritas publik Ukraina.
Publik Ukraina sebenarnya berharap perang segera berakhir. Separuh responden berharap Ukraina dapat memenangi perang dengan Rusia dalam beberapa minggu sedangkan seperempat bagian responden (23 persen) memperkirakan bahwa perang akan berlangsung beberapa bulan. Hanya 12 persen responden yang berpikir bahwa perang akan berakhir dalam enam bulan atau lebih.
Salah satu yang juga menunjang kukuhnya keyakinan publik Ukraina adalah kohesi publik justru terbentuk selama perang berlangsung. Ada perasaan senasib sepenanggungan yang muncul akibat mengalami penderitaan akibat tindakan Rusia.
Meskipun demikian, dibalik kepercayaan diri dan moral perang yang tinggi, terselip kekhawatiran bagi warga Ukraina akan masa depan ekonomi negerinya. Kehancuran fisik, ancaman inflasi, kesulitan sembako dan bahan bakar diyakini orang Ukraina akan muncul akibat blokade dan aksi militer.
Di sisi lain, opsi bergabung dengan NATO tetap tinggi meski tak mutlak. Keinginan untuk aksesi keanggotaan Masyarakat Uni Eropa (UE) dan pakta pertahanan atlantik utara (NATO), juga terpantau tinggi yakni 86 persen menjadi anggota UE dan 76 persen menjadi anggota NATO. Angka-angka itu meningkat lebih 20 persen ketimbang sebelum perang.
Sebanyak 44 persen responden percaya bahwa Ukraina harus bergabung dengan NATO, sementara 42 persen percaya bahwa Ukraina harus terus bekerja sama dengan NATO, tetapi tidak boleh menjadi anggotanya. Sebagian besar pendukung akses Ukraina ke NATO berada di Barat dan Tengah Ukraina, sementara mereka yang berada di Ukraina Selatan dan Timur lebih mendukung kerjasama dengan NATO di luar keanggotaan.
Negara sahabat
Selain membangkitkan nasionalisme Ukraina, invasi Rusia juga mengubah pandangan warga Ukraina terhadap negara tetangganya. Penilaian soal negara mana yang dianggap sahabat dan dinilai bermusuhan juga kini bergeser seiring perubahan geopolitik Ukraina.
Meskipun invasi Rusia sudah dilakukan sejak 2014 tatkala pasukan Rusia menyerbu Semenanjung Crimea, tetapi tingkat kerusakan fisik saat itu sangatlah minim. Namun kini pandangan publik Ukraina makin tegas akibat invasi skala penuh yang dilancarkan Rusia telah menghancurkan Ukraina. Rusia kini nyaris secara mutlak dianggap sebagai musuh oleh 98 persen responden, demikian pula negara Belarus yang juga dianggap musuh oleh 84 persen responden Ukraina.
Sementara itu, negara-negara yang menyokong perjuangan Ukraina seperti Polandia, Lituania, Inggris, dan Amerika Serikat adalah negara yang dinilai paling bersahabat selain Republik Ceko, Jerman, Romania, Moldova, Slovakia, Turki, Prancis, Slovenia, Hongaria, Georgia yang juga dianggap bersahabat. China dalam pandangan publik Ukraina sekarang sebagian besar dianggap sebagai negara netral meski sedikit memburuk.
Senjata sipil
Survei terbaru yang dilakukan pada 16 Mei 2022 menunjukkan, perubahan pandangan terkait situasi di Ukraina. Sebanyak 73 persen responden mengatakan bahwa situasi di negara itu tegang, 22 persen mengatakan kritis, dan hanya 4 persen yang mengatakan tenang. Hal ini merujuk pada kondisi peperangan yang semakin dalam mengakibatkan kehancuran dan memakan korban jiwa.
Bagi orang Ukraina, hak untuk melindungi hidup mereka dipandang terpenting saat ini, meski lebih dari 90 persen responden tetap setuju pada terjaminnya nilai-nilai kebebasan. Hal ini terkait dengan kebutuhan penduduk untuk mempersenjatai diri di tengah situasi peperangan yang semakin menjurus pada “perang semesta” melawan Rusia.
Warga yang mendukung pemberian hak kepada warga negara Ukraina untuk memiliki senjata api dan amunisi meningkat lebih dari dua kali lipat. Kepemilikan senjata api secara pribadi atau kepemilikan senjata api oleh anggota keluarga dinilai memberikan rasa aman yang lebih besar.
Dua pertiga responden percaya bahwa mempersenjatai massal warga Ukraina akan membantu memperkuat kemampuan pertahanan negara, meskipun sepertiga bagian responden berpendapat sebaliknya. Bagaimanapun, hal itu dipandang berisiko besar dalam menjamin keamanan masyarakat di masa pasca-perang nantinya. (LITBANG KOMPAS)