Ruang Gerak Masyarakat Menengah Bawah di Taman Kota
Taman di perkotaan memberikan keleluasaan ruang gerak bagi masyarakat kelas bawah. Keberadaannya harus dikembangkan demi meningkatkan kualitas hidup warga kota secara merata.

Petugas keamanan mengawasi anak-anak yang bermain trampolin di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan (5/5/2022). Arena permaian anak menjadi salah satu daya tarik taman ini.
Tinggal di perkotaan menuntut banyak adaptasi dan pengorbanan. Warga kota harus terbiasa dengan kemacetan, polusi, sempitnya ruang gerak, dan pemandangan padatnya bangunan.
Bagi kelompok masyarakat menengah bawah yang tinggal di kota, kenyamanan merupakan sebuah nilai yang harus dibayar mahal. Demi berteduh, mereka rela tinggal di permukiman padat yang terkadang juga kumuh. Ini karena padatnya lahan terbangun dan tidak terjangkaunya harga tanah yang dari tahun ke tahun terus meningkat.
Selain itu, tidak ada keleluasaan dan ruang gerak yang didapatkan kelompok masyarakat menengah bawah yang tinggal di permukiman padat perkotaan. Bagi mereka, di ruang-ruang publiklah, seperti taman kota, hal itu bisa dirasakan.
Karena itu, kebutuhan ruang terbuka bagi seluruh warga kota, terutama kelompok masyarakat menengah bawah, menjadi sangat mendesak. Keberadaan ruang terbuka publik itu sangat berarti bagi mereka. Ruang publik itu menjadi satu-satunya pilihan kelompok masyarakat ini untuk merasakan sedikit kelegaan dan kebebasan gerak.
Tidak heran jika pengunjung taman kota didominasi oleh kelompok masyarakat menengah bawah. Hasil jajak pendapat Kompas pada 10-13 Mei 2022 menyebutkan, dalam sebulan, 78,9 persen responden yang mengunjungi taman kota minimal sekali dalam sebulan berasal dari kelompok masyarakat menengah bawah dan bawah.

Salah satu alasan utama kelompok masyarakat ini berkunjung ke taman adalah untuk berekreasi. Menurut 73,8 persen responden dengan status ekonomi menengah bawah dan bawah, taman kota memang menjadi alternatif tujuan rekreasi yang murah meriah.
Apalagi banyak kuliner dan hiburan yang ditawarkan di taman ini. Tidak perlu mengeluarkan biaya banyak hanya untuk sekadar duduk, berjalan-jalan, menikmati kuliner, atau mengajak anak-anak bermain di taman. Manfaat inilah yang diharapkan dapat terus didapatkan dari taman kota.
Selain itu, taman kota menjadi tujuan tempat berolahraga. Di beberapa taman kota sudah tersedia jalur lari dan alat-alat olahraga yang dapat dimanfaatkan pengunjung. Ruang-ruang kosong yang ada di taman kota sering juga dimanfaatkan untuk melakukan olahraga komunitas seperti senam, sepatu roda, dan bela diri.
Berkaitan dengan kebutuhan udara segar yang tidak terpenuhi pada permukiman padat yang lekat dengan kelompok menengah bawah, taman kota juga dapat menjadi solusinya. Taman kota sebagai paru-paru kota yang memberikan kesegaran udara dan mengurangi polusi menjadi manfaat yang paling dirasakan mayoritas responden masyarakat kelas menengah bawah tersebut.

Warga menikmati waktu akhir pekan di taman Menteng Bintaro, Tangerang Selatan (14/11/2020). Warga menyambut baik kembali dibukannya akses ke sejumlah taman setelah ditutup dalam waktu yang cukup lama karena pandemi Covid-19.
Hunian padat
Ragam manfaat yang dirasakan itu mengingatkan akan pentingnya keberadaan taman kota untuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat kelas bawah. Sebab, masih banyak masyarakat yang tinggal di hunian di bawah standar sehat dan layak, seperti rumah dengan ruangan sempit, kamar kecil atau bedeng dengan ruang gerak terbatas.
Menurut Badan Standar Nasional Indonesia, luas minimal rumah sederhana untuk satu keluarga adalah 36 meter persegi. Jika asumsinya satu keluarga terdiri dari empat orang, satu orang selayaknya menempati ruangan 9 meter persegi. Standar ini mengacu pada Neufert Data Arsitek dengan pertimbangan kebutuhan udara segar dalam ruangan sebagai dasar perhitungan kebutuhan luas ruang.
Bagi sebagian masyarakat, standar tersebut sulit terpenuhi. Di DKI Jakarta, misalnya, pada 2021 tercatat ada 16,33 persen dari total rumah tangga yang tinggal di hunian dengan luas lantai per orang kurang dari 7,2 meter persegi.
Jika pada 2020 terdapat 2,8 juta rumah tangga, jumlah keluarga yang memiliki hunian jauh dari kelayakan luas bangunan tersebut mencapai 454.200 rumah tangga. Jika rata-rata anggota rumah tangga adalah empat orang, 1,82 juta penduduk DKI Jakarta tinggal di ruangan kurang dari 7,2 meter persegi atau di bawah standar nasional.

Belum lagi jika melihat tingkat kepadatan penduduk DKI Jakarta yang tinggi. Pada 2020, setiap 1 kilometer persegi di daerah ini tinggal 14.555 jiwa penduduk. Angka itu 103 kali lebih banyak dibandingkan kepadatan penduduk nasional yang hanya 141 jiwa per kilometer persegi.
Dengan kondisi tersebut, ruang gerak antarwarga menjadi terbatas. Keterbatasan ini paling dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah bawah yang tinggal di permukiman padat. Selain ruang gerak privat di rumah yang terbatas, ruang terbuka baik ruang terbuka hijau (RTH) maupun ruang terbuka non-hijau (RTNH) di sekitar rumah juga sangat minim.
Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan kepemilikan ruang antarkelompok ekonomi masyarakat. Tidak hanya di DKI Jakarta, hal serupa juga tampak di kota lain di Indonesia dan bahkan di negara lain.
Di Inggris, permukiman termiskin hanya memiliki kurang dari sepertiga ruang taman privat milik kelompok masyarakat terkaya. Di Amerika Serikat, laporan BBC menyebutkan, ada sekitar 100 juta orang yang tempat tinggalnya berada lebih dari 10 menit jaraknya dari taman atau ruang hijau.

Warga di Taman Prestasi di Kota Surabaya (23/10/2021). Taman kota banyak dimanfaatkan oleh warga untuk melakukan rekreasi dengan murah meriah.
Adil dan berkelanjutan
Permasalahan penyediaan ruang terbuka publik, terutama RTH, memang menjadi problem laten yang seolah-olah minim penyelesaian. Besarnya manfaat sosial, ekologi, dan kesehatan dari taman selalu kalah dari keuntungan ekonomi yang didapat dari pembangunan perkotaan. Akibatnya, penyediaan ruang terbuka, seperti taman kota, sering kali terabaikan.
Padahal, jumlah taman-taman yang tersedia juga masih kurang jika dibandingkan banyaknya jumlah penduduk. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan ITDP Indonesia di DKI Jakarta, setiap 1 meter persegi taman penuh diisi tiga orang dewasa dan satu anak-anak. Perhitungan ini didapatkan dari jumlah penduduk DKI Jakarta yang mencapai 11 juta orang dan luas taman yang hanya 3,2 kilometer persegi.
Baca juga: Arti Penting Taman bagi Masyarakat Perkotaan
Di sisi lain, jika pembangunan ruang terbuka, seperti taman, dijalankan, biasanya proyek tersebut diikutkan dalam pengembangan kawasan yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah atas. Misalnya pada perumahan kelompok menengah atas tersedia taman kompleks, jalur hijau, taman privat yang menjadi bagian rumah, bahkan tersedia ruang hijau yang terkonsep rapi.
Kondisi itu semakin memperlebar jurang kesenjangan atas ruang terbuka. Permasalahannya, hal itu berdampak pada ketimpangan kualitas hidup. Kelompok masyarakat yang kurang mendapatkan akses ruang gerak dan ruang terbuka hijau cenderung memiliki kualitas hidup lebih rendah dan lebih berisiko terhadap usia harapan hidup.

Sebuah taman bermain untuk anak-anak dibuat di kolong jalan layang yang menghubungkan kawasan Kalibata dengan Cawang di RW 07 Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (2/11/2020). Taman tersebut dibuat secara swadaya oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut. Taman ini merupakan inisiatif warga yang memanfaatkan lahan kosong di kolong jembatan.
Penelitian berjudul ”Residential green spaces and mortality: A systematic review (2016)” menyebutkan bahwa tinggal di area dengan ruang hijau lebih luas dapat mengurangi risiko kematian. Penelitian lain menyebutkan anak- anak yang tinggal di wilayah dengan tingkat polusi tinggi dan kurang ruang hijau 62 persen lebih berisiko terhadap gangguan mental attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Maka dari itu, kehadiran taman-taman di perkotaan terasa semakin penting. Sebab, keberadaan taman-taman ini juga turut mengatasi kesenjangan antarkelompok ekonomi masyarakat perkotaan. Dengan demikian, ada urgensi lebih besar lagi untuk membuka taman-taman baru di perkotaan.
Baca juga Kompaspedia: Potret Taman Kota di Jakarta
Sejauh ini, sejumlah kota telah mengembangkan dan menambah taman-taman kotanya. Tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di lingkup permukiman, seperti taman RT, RW dan kelurahan serta ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA). Namun, banyak dari taman-taman itu yang tidak terawat sehingga tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh warga.
Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah demi meningkatkan kualitas hidup warganya. Dimulai dari taman- taman kecil di lingkungan tempat tinggal, setidaknya masyarakat dapat merasakan kelegaan dalam bergerak dan udara yang lebih sehat. Penyediaan taman di perkotaan juga dapat mewujudkan pembangunan kota yang lebih adil dan berkelanjutan. (LITBANG KOMPAS)
Lihat juga Kompas Data: Berolahraga di Taman Kota