Pemerintah Perlu Fokus Menangani Persoalan Ekonomi Rakyat
Separuh responden sepakat dengan pernyataan bahwa pemerintah lebih fokus pada pembangunan IKN ketimbang persoalan ekonomi rakyat. Publik pesimistis pemerintah mampu mengendalikan kenaikan harga bahan pokok saat ini.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Menjelang Lebaran, harga sejumlah kebutuhan pokok mulai naik. Daya beli masyarakat menjadi kunci. Di tengah persoalan ini, publik berharap kepada pemerintah untuk fokus mengatasi masalah kebutuhan pokok ini daripada menangani isu-isu di kalangan elite politik.
Krisis bahan pokok baik kelangkaan maupun kenaikan harga sejumlah bahan pokok membayangi masyarakat sejak awal tahun 2022. Terhitung Februari, pasokan minyak goreng tersendat di banyak wilayah Indonesia. Harganya melambung hingga dua kali lipat harga eceran tertinggi (HET). Kedelai juga tak terjangkau. Harga bahan baku tahu dan tempe ini naik hingga 50 persen.
Jajak pendapat pada awal April 2022 mengonfirmasi kelangkaan bahan pokok yang terjadi di sejumlah tempat. Tujuh dari sepuluh responden mengaku kesulitan menjangkau bahan kebutuhan pokok. Rinciannya, 31,8 persen mengaku kesulitan membeli barang karena mahal dan langka. Sementara 27,6 persen mengaku kesulitan membeli bahan pokok karena harga mahal dan 11,6 persen mengalami kesulitan karena barang langka.
Tak berhenti di situ, ekonomi rumah tangga juga diguncang dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax pada awal April. Harga pertamax menjadi Rp 12.500 per liter atau naik 39 persen dari harga semula. Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini merasakan imbas kenaikan harga tersebut.
Delapan dari sepuluh responden menyatakan terdampak kenaikan pertamax. Sebanyak 49,5 persen merasakan imbas langsung sebagai pengguna. Sementara itu, 28,2 persen terdampak secara tidak langsung. Gelombang kenaikan harga ini memperburuk situasi ekonomi di saat masyarakat baru saja hendak bangkit dari krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19.
Menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga menjadi tantangan lapis pertama bagi masyarakat. Krisis keterjangkauan barang pokok jauh lebih genting bagi publik dibandingkan dengan situasi politik elite. Di tengah situasi seperti ini, sudahkah pemerintah mendistribusikan perhatian secara berimbang?
Sejak awal tahun ini, pemerintah mencurahkan perhatian pada persoalan politik dan pembangunan. Diantaranya adalah penyelenggaran pemilu dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Di tengah pekerjaan rumah tersebut, muncul keresahaan masyarakat yang tercekik karena melambungnya harga bahan pokok. Opini publik pada manajemen kerja pemerintah pun terbelah.
Separuh responden berpendapat pemerintah telah seimbang dalam menaruh perhatian pada tiap persoalan, namun separuhnya berpendapat sebaliknya. Respon tersebut tergambar dalam tiga pernyataan yang disetujui maupun tidak disetujui publik terkait keberimbangan pemerintah dalam memperhatikan persoalan bangsa.
Penyataan kuat terpotret dalam konteks pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Sebanyak 51,3 persen responden sepakat dengan pernyataan bahwa pemerintah lebih fokus pada pembangunan IKN dibandingkan kondisi ekonomi masyarakat. Artinya, ada lebih dari separuh responden yang merasa haluan pemerintah belum cukup mengarah pada persoalan domestik masyarakat.
Tak dapat dipungkiri jika pemerintah menggebu dalam rencana pembangunan IKN. Misalnya saja, pada Januari lalu, RUU IKN disetujui dengan hanya memakan waktu 43 hari pembahasan. Pada 15 Februari, Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No.3 Tahun 2022 yang menjadi dasar pembangunan IKN. Tak lebih dari sebulan berselang, kepala dan wakil Otorita IKN dilantik.
Langkah penggalangan investor untuk IKN pun diperteguh demi mencapai target 54,6 persen pendanaan dari badan usaha dan 26,2 persen dari pihak swasta. Pendanaan dari APBN direncakan hanya 19,2 persen dari total biaya pembangunan IKN yang mencapai Rp 466 triliun.
Oleh separuh publik, fokus pemerintah pada pembangunan IKN ini dianggap tidak sebanding dengan fokus dalam mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Opini ini menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk kembali memprioritasnya penyelesaian masalah dasar yang menyangkut hak hidup orang banyak.
Keberpihakan pemerintah pada diskursus politik juga tercermin dalam hasil jajak pendapat berikut. Sebanyak 42,3 persen responden setuju dengan pernyataan bahwa pemerintah lebih fokus pada persoalan politik elit dibandingkan kondisi ekonomi masyarakat.
Hasil yang serupa juga muncul pada 40,7 persen responden yang setuju dengan pernyataan bahwa pemerintah lebih fokus pada wacana presiden tiga periode dibandingkan kondisi ekonomi masyarakat. Artinya, empat dari sepuluh publik menilai pemerintah memberikan perhatian berlebih pada isu politik saat masyarakat resah dengan masalah ekonomi rumah tangga.
Wacana presiden tiga periode muncul sejak akhir 2019. Pada Maret 2022, wacana ini menguat meski Presiden Jokowi telah menanggapi ketidaktertarikannya menjabat tiga perioede dan kepatuhannya pada konstitusi. Isu ini pun bertatut dengan usulan penundaan Pemilu 2024.
Usulan penundaan Pemilu 2024 dari kalangan politisi maupun pejabat publik membuat wacana ini awet hingga memantik unjuk rasa. Akhirnya, gelombang demonstrasi mengambil narasi dalam linimasa krisis bahan pokok dan krisis kepemimpinan. Aksi masa turun ke jalan menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan menuntut penyelesaian masalah kenaikan harga kebutuhan pokok.
Pada 8 April demonstrasi mahasiswa terjadi di beberapa wilayah, seperti di Bogor dan Jambi. Pada 11 April massa berunjuk rasa d depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta menyerukan tuntutan yang sama. Demonstrasi juga terjadi di wialayh lainnya seperti di Bandung, Padang, Jambi, Makassar, Balikpapan, dan Palu. Terakhir, pada 21 April lalu aksi masa yang terdiri dari mahasiswa dan buruh kembali berunjuk rasa di Gedung Parlemen dan di Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat.
Keresahan masyarakat pada situasi ekonomi dan sosial memuncak lewat aksi unjuk rasa. Hasil jajak pendapat pun mengonfirmasi perlunya pemerintah mengambil tindakan tambahan untuk mengatasi krisis ekonomi di level rumah tangga.
Memprioritaskan masyarakat saat ini sangat penting jika pemerintah tidak ingin kehilangan kepercayaan publik. Pengalaman publik pada kelangkaan bahan pokok telah mendaratkan sebersit pesimisme. Sejumlah 66,3 persen responden menyatakan, pemerintah tidak mampu mengendalikan kenaikan harga bahan pokok. Sementara itu, 43,8 persen responden lainnya menganggap pemerintah tidak mampu dalam memastikan ketersedian barang.
Kendati demikian, separuh publik memiliki keyakinan pemerintah dapat kembali menjamin daya beli masyarakat. Di tengah evaluasi yang diberikan publik, harapan masih tetap ada untuk pemerintah sesegera mungkin mereda keresahan. Hal ini bisa dimulai dengan menyeimbangkan perhatian pemerintah, antara agenda yang ada dalam dinamika elite, dengan kondisi riil yang kini dihadapi masyarakat.
Setidaknya lebaran tahun ini bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kembali harapan publik akan pulihnya kondisi ekonomi setelah diguncang pandemi. Tentu, harapan ini juga harus dibarengi dengan kondisi pandemi yang tak lagi bergejolak seiring dengan pelonggaran di masa mudik Lebaran ini.