PPHN Disambut Positif, Tetapi Publik Khawatir Lewat Amandemen
Sebagian besar responden menilai penting hadirnya PPHN sebagai landasan pembangunan jangka panjang. Namun, mereka juga khawatir jika landasan itu dihadirkan lewat amandemen konstitusi akan disisipi kepentingan lain.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Wacana yang memunculkan kembali pedoman pembangunan nasional yang mirip “model GBHN” disambut positif oleh publik. Namun, respons ini juga dibarengi oleh kekhawatiran karena harus ditempuh melalui amandemen konstitusi. Pilihan amandemen ini dikhawatirkan akan diboncengi oleh agenda perpanjangan masa jabatan presiden.
Gejala ini tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas akhir Maret lalu. Sebagian besar responden menilai penting hadirnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN),karena bisa menjadi landasan agar pembangunan nasional berkesinambungan. Artinya, siapapun yang menjadi presiden, ia harus menjalankan PPHN tersebut. Pedoman pembagunan ini diharapkan menjadi payung dasar penyusunan perencanaan pembangunan baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Meskipun menyambut positif gagasan PPHN, tidak semua responden setuju gagasan ini segera diwujudkan dalam waktu dekat. Sebanyak 42,7 persen responden jajak pendapat mengaku bahwa PPHN belum mendesak untuk segera disusun. Sebagian besar dari yang tidak setuju (23,4 persen) merasa bahwa pemerintah masih harus fokus mengawal situasi pandemi. Selain itu, sekitar seperlima responden lainnya tidak sepakat karena cenderung diboncengi muatan politis yang kuat.
Sementara itu, keberlanjutan pembangunan menjadi aspek yang paling dipertimbangkan oleh kelompok responden yang mendukung rencana penetapan PPHN dalam waktu dekat. Dari 42 persen responden yang merasakan urgensi penetapan PPHN, sepertiga bagian dari mereka menilai PPHN bisa menjadi jaminan bagi pemerintah menyelesaikan pembangunan, terutama proyek-proyek infrastruktur vital, seperti jalan tol dan pembangunan Ibu Kota Negara.
Kecenderungan sikap publik dalam jajak pendapat ini searah dengan tendensi pembangunan yang terputus setiap kali terjadi pergantian rezim pemerintahan. Hal ini juga muncul dari jawaban responden yang masuk kelompok setuju PPHN mendesak segera ditetapkan dalam konstitusi. Kurang lebih 11 persen dari responden kelompok yang yang setuju ini beralasan bahwa program pembangunan pemerintah biasanya akan diganti ketika ada presiden baru terpilih. Mereka menilai pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah tidak berjalan secara berkelanjutan.
Hal tersebut diperkuat dengan keyakinan bahwa dengan adanya pokok haluan negara ini, pembangunan negeri lebih terjamin keberlangsungannya. Sebagian besar responden (60,3 persen) yakin PPHN menjamin keberlanjutan pembangunan yang pada akhirnya mengantarkan Indonesia lebih makmur. Namun, sekitar sepertiga responden merasa tidak yakin PPHN akan berujung pada pembangunan yang berkelanjutan.
Ketidakyakinan terhadap PPHN ini tidak bisa dilepaskan dengan mekanisme bagaimana pokok haluan tersebut ditetapkan. Di mata responden, persoalan PPHN bukan terletak pada penting tidaknya, melainkan bagaimana proses penetapannya. Sejauh ini, muncul wacana bahwa MPR akan memilih jalan amandemen UUD 1945 dibandingkan dengan opsi-opsi lain. Hal inilah yang paling memancing rasa khawatir publik dalam isu PPHN.
Di satu sisi, jalan amandemen UUD 1945 agar MPR dapat menetapkan PPHN bukanlah hal yang buruk sepenuhnya. Menanggapi hal ini, sebanyak 78 persen responden setuju jika amandemen UUD 1945 dilakukan murni terbatas untuk mengatur PPHN.
Di sisi lain, sebagian besar responden (83,1 persen) khawatir jika amandemen UUD 1945 ini nantinya akan disisipi oleh kepentingan tertentu. Kekhawatiran publik ini bisa jadi dipengaruhi oleh berbagai isu politik yang tengah hangat dibicarakan seperti penundaan pemilu hingga isu perpanjangan masa jabatan presiden.
Kekhawatiran ini pun telah lama diutarakan juga oleh sejumlah ahli sejak beberapa waktu silam. Salah satunya oleh Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro. Menurutnya, banyak kalangan khawatir bahwa amandemen UUD 1945 dengan alasan PPHN akan melebar ke substansi lainnya (Kompas, 14/9/2021).
Amandemen UUD 1945 untuk PPHN berpotensi mengubah relasi kelembagaan. Dengan kewenangan menetapkan PPHN, MPR bisa kembali menjadi lembaga dengan kewenangan tertinggi di Indonesia. Negara harus menyelenggarakan apa yang ditentukan dalam PPHN tersebut. Hal ini tak sejalan dengan prinsip negara presidensial.
Sampai saat ini pun belum ada satu fraksi pun yang resmi usulkan amandemen UUD 1945. Beberapa partai seperti PDI-P, Nasdem, Demokrat, PPP, dan PKS juga secara gamblang menolak rencana tersebut. Terpecahnya fraksi-fraksi ini otomatis akan mempersulit langkah amandemen konstitusi.
Kekhawatiran publik ini perlu menjadi pertimbangan khusus bagi para legislator.Amandemen untuk menuntaskan PPHN nampak menjadi pilihan yang kurang tepat untuk diambil oleh MPR. Sebetulnya masih ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni melalui UU.