Mengurangi Polemik Kebijakan Publik
Kebijakan yang mengubah kebermanfaatan bagi publik sering timbulkan polemik. Syarat usia pencairan dana JHT, contohnya, menyentuh sensitivitas substansi dan menimbulkan resistensi.
Publik, terutama kalangan pekerja, dihebohkan oleh keluarnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua pada awal Februari lalu.
Aturan baru tersebut mengubah aturan terdahulu, yakni Permenaker No 19/2015, yang memungkinkan pekerja peserta BP Jamsostek mengklaim dana JHT-nya satu bulan setelah mengundurkan diri dari perusahaan atau usai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Aturan baru menghendaki dana JHT yang merupakan tabungan pekerja tersebut baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun (usia pensiun) atau karena pekerja meninggal dunia (untuk ahli waris), cacat total tetap, dan berganti kewarganegaraan.
Desakan untuk merevisi aturan baru tersebut pun tak terhindarkan, diikuti sejumlah aksi demonstrasi di sejumlah daerah. Menyikapi perkembangan situasi, Presiden Joko Widodo pada 21 Februari 2022 memerintahkan Kemenaker merevisi aturan baru tersebut dan mempermudah tata cara pencairan JHT.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan akan mengembalikan proses dan tata cara pencairan JHT ke aturan lama dan akan dipermudah. Pemerintah akhirnya membatalkan ketentuan baru pencairan JHT dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022. Pemerintah akan mengembalikan aturan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT), seperti ketentuan yang berlaku sebelumnya dan revisi dijanjikan selesai sebelum Mei 2022 (Kompas, 4/3/2022).
Sebelumnya berkembang opsi terkait revisi pencairan JHT ini. Pertama, aturan pencairan JHT dikembalikan sesuai dengan Permenaker No 19/2015. Artinya, pekerja tetap dapat mencairkan JHT tanpa menunggu usia 56 tahun. Kedua, menunda implementasi Permenaker No 2/2022 sembari menata ulang sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Artinya, Permenaker No 15/2015 tetap berlaku untuk sementara waktu. Ketiga, menyederhanakan atau melonggarkan syarat pencairan dana JHT agar pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk mencairkan JHT.
Namun, aksi demonstasi masih berlanjut karena mayoritas pekerja menolak permenaker yang baru. Secara substansi, tujuan permenaker baru yang mengurangi hak atau kesempatan pekerja mengakses dana yang sudah diakumulasi sejak lama ketika dibutuhkan jelas mendapat resistensi.
Untuk saat ini, sampai 3 Mei 2022, tata cara pencairan JHT yang berlaku masih Permenaker No 15/2015 karena Permenaker No 2/2022 baru akan berlaku tiga bulan setelah diundangkan.
Baca juga: Soal Jaminan Hari Tua, Menaker Janji Dengar Aspirasi Pekerja
Momentum
Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 22-24 Februari 2022 mendukung tuntutan para pekerja. Lebih dari separuh responden (68,5 persen) menyatakan tidak setuju atau sangat tidak setuju aturan yang membolehkan dana JHT dicairkan sebelum usia pensiun 56 tahun diubah. Sementara terdapat 29,8 persen responden yang menyatakan setuju atau sangat setuju.
Di kelompok responden yang merupakan pekerja atau karyawan, ketidaksetujuan sedikit lebih banyak, yaitu 70,4 persen. Yang menyatakan sebaliknya hanya 27,8 persen.
Menurut sebagian besar responden (71,6 persen), aturan yang mengubah syarat pencairan dana JHT tidak tepat dikeluarkan dalam waktu dekat ini. Alasan utamanya adalah karena situasi masih pandemi di mana banyak orang yang terdampak secara finansial. Banyak oramg yang di-PHK dan membutuhan dana untuk membangun usaha demi kelangsungan hidup. Hal ini disampaikan oleh 40,3 persen responden.
Dari sisi momentum, kebijakan baru pemerintah ini tidak sensitif terhadap kondisi psikologis dan finansial masyarakat. Situasi yang dihadapi masyarakat akibat pandemi memiliki efek domino.
Lambannya roda perekonomian menyebabkan pekerja sulit mendapat kenaikan upah atau gaji seperti yang diharapkan. Sementara harga-harga barang kebutuhan pokok merangkak naik. Diubahnya peluang untuk mendapatkan dana segar jika kehilangan pekerjaan justru menimbulkan kemarahan dan frustrasi masyarakat. Tak pelak, resistensi publik pun menjadi tinggi.
Alasan lainnya adalah karena landasan atau latar belakang dikeluarkannya aturan baru tersebut kurang tepat (12,2 persen). Ada dua kutub pandangan yang berbeda mengenai dana JHT antara pekerja dan pemerintah. Dengan demikian, tidak terdapat titik temu dan kebijakan yang baru dianggap tidak tepat.
Publik memandang dana JHT merupakan hak penuh pekerja karena dana yang diambil dari potongan upah atau gaji tersebut sifatnya adalah tabungan. Karena itu, saat dibutuhkan, terutama ketika kehilangan pekerjaan, tabungan tersebut bisa diambil.
Sementara pemerintah memandang filosofi JHT adalah untuk mengamankan kehidupan di masa tua setelah seseorang tidak lagi produktif. Hal itu oleh karena kemiskinan sering kali terjadi pada masyarakat yang berusia lanjut. Praktik klaim JHT yang selama ini didominasi oleh kelompok pekerja yang mengundurkan diri dari perusahaan dianggap tidak sesuai filosofi JHT.
Selain itu, juga ada alasan belum mendapat sosialisasi yang memadai mengenai aturan baru tersebut (8,3 persen) atau aturan tersebut belum dibahas oleh kementerian bersama dewan legislatif (2,1 persen).
Sosialisasi sesungguhnya menjadi faktor yang penting untuk membangun pemahaman yang sama mengenai suatu kebijakan. Sayangnya, hal tersebut dalam pelaksanaannya sering tidak tersampaikan dengan baik.
Baca juga: Mengakhiri Polemik Jaminan Hari Tua
Sosialisasi
Lemahnya sosialisasi membuat pemahaman terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait jaminan sosial nasional menjadi minim. Lebih jauh, sebagian besar responden (60,3 persen) menyatakan program jaminan sosial yang diberikan pemerintah bagi pekerja yang di-PHK belum memadai.
Dalam skema pemerintah, seorang pekerja yang mengalami PHK mempunyai peluang untuk mendapatkan beberapa program perlindungan sosial. Program tersebut adalah mendapatkan kartu prakerja, pelatihan kerja, akses informasi ke pasar kerja, bahkan pendanaan jika ingin membuka usaha mikro atau UMKM.
Namun, publik tidak sepenuhnya mengetahui dan mendapat akses ke program-program tersebut. Publik cukup tahu mengenai kartu prakerja (77,1 persen) dan pendanaan untuk usaha mikro atau UMKM (74,2 persen). Namun, porsi responden yang mengetahui tentang pelatihan kerja yang mereka butuhkan masih lebih kecil (59,1 persen). Sementara mayoritas responden belum tahu bagaimana mendapatkan akses informasi tentang pasar kerja atau lowongan kerja yang tersedia (67 persen).
Soal program baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan diluncurkan pemerintah, sebagai bantalan jika aturan JHT dicairkan pada usia 56 tahun berlaku, pun masih minim diketahui publik. Hanya sekitar 26 persen responden yang mengaku tahu mengenai program pemberian uang tunai selama enam bulan setelah di-PHK tersebut.
Masih banyak hal yang harus dibenahi pemerintah agar masyarakat merasa terlindungi saat kehilangan pekerjaan. Pemahaman yang tinggi terkait program-program jaminan sosial tentunya akan mengurangi polemik dan resistensi dari publik.