Kemiskinan Membayangi Kepuasan Publik
Survei ”Kompas” merekam kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial mendapat apresiasi tertinggi. Kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang berpotensi memengaruhi kepuasan publik.
Dari empat bidang utama kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, bidang kesejahteraan sosial mendapat apresiasi tertinggi. Publik menilai pemerintah serius memperhatikan kesejahteraan sosial di tengah deraan pandemi. Namun, apresiasi diliputi oleh kekhawatiran potensi meningkatnya angka kemiskinan.
Hasil survei Kompas periode Januari 2022 menunjukkan kinerja bidang kesejahteraan sosial mendapat apresiasi tertinggi dibandingkan dengan tiga bidang lainnya, yakni 78,3 persen. Sedikit di bawah itu, kinerja bidang politik dan keamanan mendapat penilaian kepuasan di angka 77,6 persen.
Dalam konteks pandemi, apresiasi yang ditujukan untuk bidang kesejahteraan sosial tentunya terkait dengan upaya pemerintah melindungi kehidupan masyarakat yang terdampak Covid-19.
Dua bidang lainnya mendapat penilaian kepuasan yang relatif rendah. Kepuasan publik terhadap kinerja bidang penegakan hukum di angka 65,9 persen. Adapun kinerja bidang ekonomi dianggap yang paling buruk dengan penilaian kepuasan sebesar 64,8 persen.
Dalam konteks pandemi, apresiasi yang ditujukan untuk bidang kesejahteraan sosial tentunya terkait dengan upaya pemerintah melindungi kehidupan masyarakat yang terdampak Covid-19. Selama dua tahun pandemi, penilaian terhadap upaya pemerintah tersebut berfluktuasi.
Awal pandemi, upaya pemerintah tersebut belum memuaskan publik. Pada survei periode Agustus 2020, hanya 61,6 persen responden survei yang mengatakan puas dengan kinerja pemerintah memberi perlindungan sosial akibat pandemi.
Pasalnya, ekonomi keluarga banyak yang merosot. Perekonomian nasional melambat, perusahaan banyak yang melakukan pengurangan operasional dan pemutusan hubungan kerja, pergerakan masyarakat pun terpaksa dibatasi untuk menekan penyebaran virus.
Periode Januari 2021, penilaian kepuasan terhadap kinerja kesejahteraan sosial masih rendah meskipun ada sedikit kenaikan menjadi 67,2 persen. Baru di bulan April 2021, penilaian beranjak naik ke angka 71,3 persen. Namun, di akhir tahun turun kembali menjadi 68,6 persen.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang ditimbulkan pandemi, pemerintah mengalokasikan dana stimulus program perlindungan sosial yang jumlahnya cukup besar. Yang termasuk dalam program perlindungan sosial adalah Program Keluarga Harapan (PKH) untuk lebih kurang 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kartu sembako, dan prakerja, serta bantuan sosial tunai untuk sekitar 10 juta KPM.
Selain itu, ada juga bantuan langsung tunai (BLT) dana desa, diskon listrik, dan bantuan subsidi upah bagi pekerja yang menerima upah di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Di bidang pendidikan, pemerintah memberikan bantuan subsidi kuota internet bagi siswa untuk pembelajaran jarak jauh.
Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan dana program perlindungan sosial sebesar Rp 230,21 triliun. Hingga akhir tahun 2020, dana tersebut terealisasi Rp 220,39 triliun atau 95,7 persen. Pada tahun 2021, stimulus perlindungan sosial sebesar Rp 186,64 triliun dan terealisasi Rp 171 triliun atau 91,6 persen.
Untuk tahun 2022 ini, anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 154,76 triliun. Selain bantuan yang berbasis keluarga atau rumah tangga, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk dukungan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta korporasi.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Tingkat Kepuasan Publik pada Pemerintahan Jokowi Capai Angka Tertinggi
Kemiskinan tinggi
Jika dilihat per indikator, kinerja bidang kesejahteraan sosial yang dianggap menyumbang terhadap kepuasan publik adalah dalam hal pelayanan kesehatan. Indikator yang langsung terkait dengan masyarakat ini mendapat apresiasi 79 persen dari total responden.
Publik tahu bahwa pengobatan akibat terpapar Covid-19 dibiayai oleh pemerintah. Begitu juga dengan vaksinasi Covid-19 yang gratis bagi masyarakat untuk mencegah infeksi dan fatalitas.
Setelah itu indikator mengembangkan budaya gotong royong juga mendapat apresiasi yang sama tingginya, yakni 79 persen. Hal ini terkait dengan solidaritas dan soliditas masyarakat menghadapi pandemi secara bersama-sama.
Gotong royong di lingkungan rukun tetangga atau kampung dalam membantu keseharian tetangga atau keluarga yang terpapar Covid-19 merupakan bukti nyata. Komunikasi dan informasi yang bermanfaat terkait Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah tentunya mendukung hal tersebut.
Meski demikian, terdapat indikator kesejahteraan yang mendapat apresiasi terendah dari publik, yaitu kinerja dalam mengatasi kemiskinan (59 persen). Sebanyak 39 persen responden masih belum puas dengan upaya pemerintah menanggulangi kemiskinan.
Penilaian ini bisa dimaklumi mengingat krisis kesehatan yang menyeret krisis ekonomi telah pula memiskinkan masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik per Agustus 2021 menunjukkan, terdapat 21,32 juta orang penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Di dalamnya termasuk yang menjadi penganggur, sementara tidak bekerja, atau mengalami pengurangan jam kerja. Angka ini meningkat dibandingkan Februari 2021 yang tercatat 19,1 juta orang. Kondisi ini tentunya memengaruhi pendapatan dan kesejahteraan keluarga.
Angka kemiskinan pun meningkat sejak paruh pertama 2020. Data BPS per Maret 2020 memperlihatkan jumlah penduduk miskin bertambah 1,63 juta jiwa dibandingkan kondisi per September 2019. Jumlah penduduk miskin menjadi 26,42 juta jiwa (9,78 persen).
Enam bulan kemudian (September 2020) angkanya bertambah lagi menjadi 27,55 juta jiwa (10,19 persen). Artinya, dalam setahun bertambah 2,76 juta orang yang jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Per Maret 2021, angka kemiskinan masih tinggi, yakni 27,54 juta jiwa (10,14 persen). Baru pada paruh terakhir 2021 (per September) angka kemiskinan berhasil diturunkan sebanyak satu juta jiwa menjadi 26,5 juta jiwa (9,71 persen).
Baca juga : Kepuasan Publik Jadi Modal Mendorong Kemajuan
Potensi meningkat
Dana yang dialokasikan pemerintah untuk stimulus program perlindungan sosial diyakini mampu menahan kejatuhan yang parah akibat pandemi. Pemulihan ekonomi pun terjadi. Setelah pertumbuhan ekonomi terkontraksi selama empat triwulan berturut-turut (dari triwulan II-2020 hingga triwulan I-2021), perekonomian berhasil tumbuh positif sejak triwulan II-2021.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 secara tahunan menjadi 3,69 persen. Indonesia berhasil keluar dari kondisi krisis ekonomi setelah pada tahun 2020 tumbuh minus 2,07 persen.
Meski demikian, publik menilai pemerintah belum berhasil mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Hanya 51 persen responden yang menyatakan puas dengan upaya pemerintah mengendalikan harga-harga.
Sejak akhir tahun 2021 hingga sekarang, masyarakat dihadapkan pada gejolak harga dan kelangkaan sejumlah komoditas. Mulai dari harga minyak goreng, harga kedelai yang memengaruhi harga tahu dan tempe, harga daging sapi, hingga kenaikan harga gas elpiji nonsubsidi.
Responden yang disurvei pun menyebutkan pemerintah belum berhasil dalam menyediakan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran.
Kenaikan harga-harga ini akan meningkatkan inflasi. Hal ini tentunya memengaruhi daya beli masyarakat yang pendapatannya masih terdampak oleh pandemi. Responden yang disurvei pun menyebutkan pemerintah belum berhasil dalam menyediakan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran.
Lembaga-lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Forum Ekonomi Dunia (WEF), memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan melambat dan tidak lebih baik dibandingkan dengan tahun 2020. Hal ini salah satunya disebabkan oleh proyeksi kenaikan inflasi akibat terganggunya rantai pasok dunia.
Penyebabnya adalah perubahan cuaca ekstrem, di samping pembatasan mobilitas karena Covid-19, dan isu upah yang memengaruhi kegiatan produksi. Saat ini ditambah lagi dengan terjadinya konflik antara Rusia dan Ukraina.
Peningkatan inflasi yang tidak diikuti dengan perbaikan daya beli dan pendapatan masyarakat, ditambah pula dengan berkurangnya alokasi dana perlindungan sosial, berpotensi menambah orang miskin di Indonesia. Ke depannya, hal ini akan menurunkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Apresiasi untuk Penguatan Pemulihan Ekonomi