Atalanta menunjukkan dongeng sepak bola bisa terjadi dalam olahraga yang dikuasai oleh klub-klub berkantong tebal.
Oleh
PRASETYO EKO PRIHANANTO
·3 menit baca
Ademola Lookman menjadi pahlawan dengan mencetak hattrick untuk membawa Atalanta meraih pencapaian terbesar mereka dalam sejarah, juara Liga Europa. Atalanta secara mengejutkan menaklukkan tim favorit Bayer Leverkusen, 3-0, pada laga final di Dublin, Kamis (23/5/2024) dini hari WIB.
Leverkusen datang ke ibu kota Irlandia itu sebagai juara Bundesliga tanpa terkalahkan dalam 51 gim dan tengah mengejar gelar treble. Sebaliknya, Atalanta ke final dengan status underdog, tak diunggulkan melawan tim asuhan pelatih muda yang tengah naik daun, Xabi Alonso.
Gian Piero Gasperini juga tak pernah memenangi gelar sepanjang karier kepelatihannya. Ditambah lagi, Atalanta tak pernah mengangkat gelar selama enam dekade. Mereka juga baru saja kalah 0-1 dalam final Coppa Italia melawan Juventus, 15 Mei 2024. Peluang untuk memenangi final lawan Leverkusen bisa dibilang nol.
Namun, kebangkitan Atalanta di bawah asuhan Gasperini-lah yang akhirnya membuahkan hasil. Mereka juara dengan status sebagai underdog.
Status yang sama juga mereka bawa saat menghadapi klub elite Eropa lainnya, Liverpool, pada babak perempat final. Banyak pihak mengira Liverpool bakal mudah melenggang ke babak berikutnya. Namun, secara tak terduga, mereka ternyata berhasil menyingkirkan klub yang sudah enam kali menjuarai Liga Champions itu.
Lookman juga bukan sosok pemain yang disangka bakal mencetak trigol bersejarah, yang pertama di final Eropa sejak 1975. Pemain Nigeria ini adalah contoh utama dari rekrutmen cerdas dan kemampuan kepelatihan luar biasa dari Gasperini yang memungkinkan Atalanta keluar dari bayang-bayang raksasa tetangga, AC Milan dan Inter Milan. Markas Atalanta, Stadion Gewiss di Bergamo, Italia, hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Stadion San Siro, Milan.
Lookman yang lahir di Inggris dan produk akademi Charlton Athletic menjadi contoh kejelian mata Gasperini melihat talenta seorang pemain. Selepas lulus dari akademi Charlton, Lookman pindah ke Everton, sebelum kemudian merumput ke Jerman bersama RB Leipzig.
Namun, dalam dua kesempatan bermain di klub-klub tersebut, pemain berusia 26 tahun itu tak mampu menunjukkan kemampuan tertingginya sehingga ia kemudian dipinjamkan kembali ke Inggris bersama Fulham dan Leicester. Lookman bisa pindah ke Atalanta karena pengaruh mantan Kepala Olahraga Atalanta, Lee Congerton, yang sebelumnya bekerja untuk Leicester.
Memenanginya bersama Atalanta adalah dongeng sepak bola yang jarang memberikan ruang bagi meritokrasi.
Sekarang, Lookman akan diingat oleh warga di utara Italia sebagai pahlawan dalam kemenangan paling indah sepanjang 116 tahun sejarah klub Atalanta. ”Tak ada yang membayangkan dia bisa mencapai kemajuan sebesar ini. Ia melakukan sesuatu yang bakal tercatat sepanjang sejarah. Dia menjadikan dirinya sebagai pemain luar biasa dan pemenang,” kata Gasperini.
Hattrick Lookman membuat catatan golnya bersama klub Italia itu mencapai 30 dalam dua musim. Ia juga membantu Nigeria melaju ke final Piala Afrika tahun ini dan percaya kariernya bakal makin sukses di usia 26 tahun. ”Saya selalu percaya dengan kemampuan saya. Dalam beberapa tahun, saya mampu mengembangkan permainan saya ke level lebih tinggi dengan konsisten,” kata Lookman.
Lookman bukanlah satu-satunya berlian yang berhasil dipoles Gasperini untuk mengubah Atalanta menjadi kekuatan utama di Serie A dan Eropa. Dia mencetak tiga penyerang yang menakutkan musim ini, dua lagi adalah Charles De Ketelaere dan Gianluca Scamacca yang juga mengalami masa sulit di klub sebelumnya, AC Milan dan West Ham.
”Percakapan pertama yang saya lakukan dengannya membuat saya memandang sepak bola secara berbeda. Dia membuatnya lebih sederhana dan membuat saya melihat permainan dari sudut yang berbeda,” ujar Lookman mengenai sosok Gasperini.
Gasperini menegaskan kembali perasaannya bahwa tidak diperlukan trofi untuk membuktikan keberhasilannya mengangkat Atalanta selama delapan tahun terakhir. ”Saya tidak percaya satu trofi akan mengubah perjalanan kami. Jalan yang kami tempuh lebih berharga daripada sekadar trofi,” kata pelatih berusia 66 tahun itu. ”Pertandingan yang kami mainkan malam ini adalah hasil dari perjalanan itu.”
Hanya saja, Gasperini mengakui bahwa trofi mayor pertama Atalanta dalam 61 tahun itu adalah kemenangan yang sangat jarang bagi underdog dalam olahraga yang biasanya dikuasai oleh klub-klub yang memiliki kantong terdalam. ”Memenanginya bersama Atalanta adalah dongeng sepak bola yang jarang memberikan ruang bagi meritokrasi,” kata Gasperini.
Gasperini bersama Atalanta membuktikan bahwa dalam sepak bola segalanya masih bisa terjadi. ”Semua tidak selalu berdasarkan angka-angka. Tim tanpa anggaran besar juga dapat mencapai hal-hal besar,” ujarnya. (AFP)