Pengalaman berbanding terbalik di dua edisi All England sebelumnya bisa menjadi bekal Fajar/Rian ke depan.
Oleh
KELVIN HIANUSA, YULIA SAPTHIANI
·3 menit baca
Bagi ganda putra kebanggaan Indonesia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, All England merupakan turnamen yang sangat spesial. Bukan tentang gelar juara dan betapa bergengsi kejuaraan tertua di dunia itu, tetapi karena All England selalu mampu menjadi cermin realitas kondisi dan posisi mereka sebenar-benarnya.
Dua edisi beruntun, Fajar/Rian sukses menjuarai All-England. Mereka mempertahankan gelar di turnamen level Super 1000 yang merupakan incaran para pemain top dunia itu. Menariknya, kondisi batin mereka berbanding terbalik dalam dalam dua edisi tersebut walaupun kejuaraan hanya berselang setahun.
Fajar merasakan sendiri perbedaan di 2023 dan 2024. ”Kami tahun ini tidak diunggulkan. Beda dengan tahun sebelumnya saat kami datang sebagai unggulan teratas,” katanya saat acara penyambutan yang dihadiri ratusan penggemar bulu tangkis di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Rabu (18/3/2024).
Juara bertahan, tetapi tidak diunggulkan. Kalimat itu agak kontradiktif, tetapi memang benar adanya. Fajar/Rian datang tanpa satu pun gelar juara selama setahun ke belakang. Mereka hanya sekali lolos final dari 20 kejuaraan sejak Maret 2023, termasuk di antaranya 16 turnamen dengan level Super 300, 500, 750, dan 1000.
Penurunan itu membuat mereka kehilangan peringkat pertama dunia yang sempat dibanggakan di Birmingham, Inggris, tahun lalu. Mereka berstatus peringkat ketujuh pada tahun ini. ”Kami sangat bangga bisa mempertahankan gelar. Semoga gelar ini bisa menambah rasa percaya diri kami ke depan,” ujar Fajar.
Gelar terbaru Fajar/Rian merupakan pengingat, mereka masih salah satu ganda terbaik di kolong langit. Sudah seharusnya mereka mampu bersaing memperebutkan juara di turnamen bergengsi. Di sisi lain, dari pengalaman tahun lalu, gelar itu juga menjadi alarm. Belum saatnya mereka berhenti, masih ada Olimpiade Paris 2024.
Ini adalah momen yang sangat baik. Tren sangat positif ini harus dipahami oleh para pemain dan para pelatih bagaimana menjaga puncak performanya sampai ke Olimpiade nanti.
Fajar/Rian juga harus mengingat kembali kisah pahit di All England 2022. Ketika itu, seusai tren buruk sejak pandemi Covid-19, mereka berada di titik nadir prestasi seusai kalah dari pasangan pelapis Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin pada babak pertama. Posisi mereka di pelatnas mulai terancam.
Menurut Rian, kejatuhan tersebut menjadi cermin untuk berbenah. Mereka membawa motivasi berlipat ganda ke turnamen-turnamen berikutnya demi membuktikan diri. Hasilnya, mereka meraih 6 gelar juara dari 10 final setelah itu, termasuk turnamen level tertinggi Malaysia Terbuka dan All England di awal 2023.
Pelatih ganda putra pelatnas kala itu, Herry Iman Pierngadi, sempat berkata, kebangkitan Fajar/Rian berawal dari tanggung jawab yang mulai muncul sebagai ujung tombak Indonesia. Adapun mentalitas, rasa lapar, dan tanggung jawab setelah kejatuhan itu yang perlu diulang saat ini untuk menatap Olimpiade, Juli nanti.
Kebangkitan menuju Olimpiade Paris
Fajar meyakini, perjalanan setelah menjuarai All England kali ini akan lebih baik dari sebelumnya. Hal itu didasari dengan kondisi tubuhnya yang sedang dalam kondisi terbaik. ”Saya bangga dengan diri sendiri karena bisa melawan cedera dan bisa pulih kembali,” ucapnya yang sempat bermasalah dengan cedera pinggang.
Fajar/Rian akan langsung fokus mempersiapkan diri untuk Kejuaraan Asia yang berlangsung di Ningbo, China, pada 9-14 April. Mereka akan melewatkan beberapa kejuaraan di Eropa pada akhir Maret. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) akan lebih selektif memilih turnamen demi menjaga kondisi mereka.
”Ini adalah momen yang sangat baik. Tren sangat positif ini harus dipahami oleh para pemain dan para pelatih bagaimana menjaga puncak performanya sampai ke Olimpiade nanti. Semoga prestasi ini bisa dipertahankan (di Paris) dan memotivasi sektor lainnya agar bisa lebih baik,” kata Ricky Soebagdja, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat PBSI.
Ricky, peraih gelar All England 1995 dan 1996 bersama Rexy Mainaky, menilai, hasil pembentukan kelompok kerja (pokja) untuk Olimpiade 2024 mulai terlihat. Adapun tim sementara itu baru dibentuk pada awal tahun untuk fokus terhadap rencana dan pelaksanaan program menuju Paris.
”Tim ad hoc dengan rutin dan teliti me-monitoring dan memetakan permasalahan yang ada. Lalu, bersama-sama dengan diskusi melakukan perbaikan. Kerja sama (antara pokja dan tim internal PBSI) membuat kinerja lebih mudah sehingga para atlet dapat fokus dalam berlatih dan bertanding,” ujar Ricky.
Setelah All England, momentum bulu tangkis Indonesia mulai berbalik ke arah positif. Namun, perjalanan masih panjang. Khususnya untuk Fajar/Rian. Pasangan yang sedang berada di fase usia emas itu masih harus membuktikan siap secara mental untuk kembali menjadi tulang punggung Indonesia.
Adapun mereka memainkan semifinal dan final All England setelah Jonatan Christie dan Anthony Ginting memastikan final sesama Indonesia di tunggal putra. Apalagi, mereka juga belum terbukti bisa berbicara banyak di ajang multicabang. Karena itu, jangan dulu menginjak rem, Fajar/Rian.