Manchester City tanpa kesulitan melewati FC Kopenhagen. Sang ”juggernaut” bukan tim yang terlahir tanpa cela.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
MANCHESTER, KAMIS — Kemenangan telak 3-1 Manchester City atas FC Kopenhagen pada pertemuan kedua babak 16 besar Liga Champions Eropa memperlihatkan betapa tim besutan Manajer Pep Guardiola itu sangat sulit ditandingi. Mantan bek Manchester United, Rio Ferdinand, bahkan pernah menggambarkan City sebagai juggernaut atau mesin yang tidak bisa dihentikan. Walau tampak sempurna, City memiliki celah kecil yang bisa dimanfaatkan lawan-lawannya di sisa musim ini.
Keunggulan 3-1 bisa dibilang bukan sesuatu yang spesial bagi tim seperti City. Jika mau, mereka bisa mencetak kemenangan dengan jumlah gol yang lebih dari itu. Hal yang perlu ditekankan adalah kemenangan itu mereka peroleh bahkan tanpa tujuh pemain utama yang turut mempersembahkan kemenangan atas Manchester United, pekan lalu.
Kami akan kembali bermain hari Minggu (melawan Liverpool). Jadi, saya butuh tenaga segar. Pemain yang bugar.
Guardiola tampaknya ingin memberikan sedikit waktu istirahat bagi pemain-pemain andalannya, seperti Kevin De Bruyne, Phil Foden, dan Jeremy Doku, agar bisa fit menghadapi pemuncak klasemen Liga Inggris, Liverpool, akhir pekan nanti. Pertandingan melawan Liverpool jauh lebih penting karena itulah momentum ”The Citizens” mengudeta puncak klasemen. Selisih poin antara Liverpool dan City hanya terpaut satu poin.
”Kami akan kembali bermain hari Minggu (melawan Liverpool). Jadi, saya butuh tenaga segar. Pemain yang bugar. Kami beruntung, beruntung bisa mencetak dua gol lebih awal (ke gawang Kopenhagen),” kata Guardiola selepas pertandingan melawan Kopenhagen di Stadion Etihad, Kamis (7/3/2024) dini hari WIB, dikutip dari laman City.
Tampil tanpa kekuatan terbaiknya, City tetap mampu bermain dominan. Hanya saja, mereka menjadi tidak seagresif biasanya. Ini menyebabkan Kopenhagen sempat mampu memberikan perlawanan lewat gol Mohamed Elyounoussi. Skema gol Elyounoussi tercipta dari kombinasi umpan-umpan pendek, sebuah hal yang tidak biasanya diderita City.
Saat tampil dengan kekuatan penuh, City biasanya tidak membiarkan lawan bisa seleluasa itu dalam menyerang. Di laga ini, agresivitas tekanan (pressing) City menurun dibandingkan saat menaklukkan MU, pekan lalu. Angka passes per defensive action (PPDA) City saat menghadapi Kopenhagen sebesar 12,2, turun jauh dibandingkan 8,1 saat melawan MU.
Angka PPDA menunjukkan seberapa besar intensitas pressing yang dilancarkan sebuah tim. Semakin tinggi nilainya, maka tim tersebut tidak terlalu agresif dalam upaya merebut bola. Tanpa pressing intens, Elyounoussi bisa dengan leluasa merangsek masuk ke kotak penalti City dan mencetak gol dari jarak dekat.
Bandingkan saat Marcus Rashford membobol gawang City pekan lalu dari skema tembakan jarak jauh. City saat itu tampil sangat menekan sehingga memaksa MU bermain dengan bola-bola lambung yang langsung diarahkan ke area pertahanan lawan. Beberapa peluang MU datang dari cara bermain seperti itu. Gol Rashford juga berawal dari skema bola-bola panjang MU.
Mengantisipasi bola-bola panjang tergolong cara yang efektif bisa digunakan lawan, sekaligus kelemahan permainan menekan agresif City. Selain MU, Newcastle United juga sempat menggunakan cara yang sama untuk merepotkan barisan belakang City. Dua gol Newcastle lahir dari ketidaksigapan pemain belakang City dalam menghalau bola-bola panjang. Meski pada akhirnya takluk 2-3, Newcastle bisa menemukan celah untuk keluar dari tekanan City.
Tim kuat
City musim lalu sukses menorehkan sejarah dengan meraih tiga gelar dalam satu musim. Pencapaian ini membuat mereka diperhitungkan sebagai salah satu tim terkuat di kolong jagat.
Kemenangan atas Kopenhagen adalah yang kesembilan kalinya secara beruntun di seluruh kompetisi yang diikuti City. Mereka pun masih bisa mempertahankan pencapaian musim lalu. Kans City menjuarai Piala FA, Liga Champions, dan Liga Inggris musim ini terbuka lebar. Di tengah kegarangan itu, nyatanya City bukanlah tim yang tanpa cela.
Selain umpan panjang, celah lain yang bisa dieksploitasi lawan mereka adalah kelengahan kiper Ederson dalam menghalau tembakan tepat sasaran pertama. Gol Rashford, pekan lalu, memperlihatkan kelemahan itu secara terang benderang. Sepakan Rashford yang berujung gol itu merupakan upaya tembakan tepat sasaran MU.
Dalam 27 pertandingan di Liga Inggris, City telah kebobolan sembilan kali dari upaya tembakan tepat sasaran pertama lawan-lawan mereka. Jumlah tersebut meningkat menjadi 12 kali bila dihitung dari seluruh kompetisi.
Statistik menunjukkan, City tergolong jarang menerima tembakan, yaitu hanya delapan tembakan per 90 menit. Namun, kualitas tembakan yang diterima City memiliki nilai ekspektasi gol (expected goal/xG) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tim lain, yaitu sebesar 0,12 per tembakan. Nilai tersebut merupakan yang tertinggi dari tim mana pun di Liga Inggris. Arsenal, salah satu rival City, hanya memiliki nilai xG 0,08 per tembakan yang mereka terima. Angka-angka tersebut mengindikasikan ada permasalahan tersembunyi di pertahanan City.
”Kami menciptakan peluang yang bisa kami harapkan dan mencetak satu gol. Tapi, untuk itu, kami juga harus banyak berlari mengejarnya. Itulah yang akan terjadi saat Anda bermain melawan City,” kata Pelatih Kopenhagen Jacob Neestrup.
Kalimat Neestrup cukup menggambarkan City bukanlah tim yang mustahil dibobol. Asal mau bekerja keras, Kopenhagen yang dinilai belum selevel dengan City pun nyatanya bisa tampil mengejutkan sang juggernaut. (REUTERS)