Profesionalisme Klub Sepak Bola Masih Jauh Panggang dari Api
Terulangnya kasus tunggakan gaji pesepak bola mencerminkan tata kelola klub di Indonesia tidak pernah naik kelas.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penunggakan gaji yang berujung pada pelaporan pemain Kalteng Putra oleh pihak klub ke Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah adalah simbol wajah buruk tata kelola klub dan kompetisi di Indonesia yang terus berulang. Slogan profesionalisme yang digaungkan PSSI pun dipertanyakan. Kondisi ini ironis di tengah pencapaian timnas Indonesia yang sukses mengukir sejarah untuk pertama kalinya lolos ke fase gugur Piala Asia.
Sepak bola Indonesia sejak dulu belum bisa terbebas dari kasus mafia pengaturan skor dan juga tunggakan gaji pemain. Apa yang dialami 29 pemain Kalteng Putra dalam menuntut haknya, tetapi berujung dipolisikan, kian menegaskan profesionalisme sepak bola di Indonesia yang berjalan di tempat, bahkan semakin buruk dari hari ke hari.
Kisruh antara pemain dan Kalteng Putra menyita perhatian Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) dan juga Federasi Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro). APPI dan FIFPro menyatakan dukungannya kepada 29 pemain Kalteng Putra yang terancam pidana. Mereka juga meminta PSSI turun tangan menghentikan langkah Kalteng Putra yang dinilai sangat tidak profesional dan tak terpuji.
Elegi ke-29 pemain Kalteng Putra kian kencang karena mereka juga terancam hukuman dari Komite Disiplin (Komdis) PSSI akibat melakukan aksi mogok bertanding pada babak playoff Liga 2 menghadapi PSCS Cilacap. Para pemain Kalteng Putra telah memenuhi panggilan sidang dari Komdis PSSI pada 31 Januari dan 1 Februari.
”Kami mogok bermain ada alasannya. Tidak serta-merta memutuskan mogok tanpa sebab. Pada prinsipnya, para pemain siap bertanding kapan pun diminta asalkan hak-hak kami dipenuhi terlebih dulu,” kata penjaga gawang sekaligus kapten tim Kalteng Putra, Shahar Ginanjar, dalam konferensi pers perkembangan kasus tersebut di Kantor APPI, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Tunggakan gaji pemain merupakan masalah klasik yang belum bisa hilang sepenuhnya dari perjalanan kompetisi sepak bola di Indonesia. Meski kepemimpinan di PSSI telah berganti berkali-kali, masalah tunggakan gaji yang menimpa pesepak bola di Indonesia masih tetap terdengar, bahkan kali ini semakin parah dengan adanya pelaporan ke polisi terhadap pemain yang hanya menuntut hak mereka.
Head of Legal APPI Jannes H Silitonga berharap Komdis PSSI bisa bersikap obyektif dan adil. Dia meminta PSSI dan badan-badan di bawah naungannya bisa melihat kasus secara lebih jernih, tidak hanya dari sisi pemogokan pemain, tetapi juga dari penyebab pemogokan terjadi.
Penanganan kasus Kalteng Putra ini akan jadi preseden bagi PSSI dalam menangani persoalan klasik penunggakan gaji pemain. Jannes ingin agar pesepak bola tidak lagi menjadi korban berikutnya dari rentetan malapetaka di sepak bola Indonesia.
Kami mogok bermain ada alasannya. Pada prinsipnya, para pemain siap bertanding kapan pun diminta asalkan hak-hak kami dipenuhi terlebih dulu.
Jauh sebelum kasus penunggakan gaji pemain Kalteng Putra, cerita pilu serupa pernah terjadi pada 2012 yang menimpa Diego Mendieta. Gaji pemain asal Paraguay itu tidak kunjung dibayarkan Persis Solo sehingga dirinya kesulitan mendapatkan biaya berobat hingga meninggal dunia.
Jannes melihat pengelolaan klub dan kompetisi sepak bola Indonesia tidak pernah naik kelas karena persoalan yang muncul nyaris selalu sama dan terus berulang. Sebelum kasus ini mencuat, Kalteng Putra juga menunggak gaji pemain pada musim lalu sebesar Rp 279 juta. Berkaca dari kasus ini, proses verifikasi klub menjadi sangat vital karena bisa mencegah hal serupa terulang.
”Dalam proses verifikasi (klub) mestinya jangan ada toleransi lagi. Masalah yang paling sering muncul ini soal gaji pemain. Tidak hanya Kalteng, tapi juga klub lain. Pemberian toleransi (kepada klub) itu yang pada akhirnya membuat kusut ke depannya,” kata Jannes.
Pernyataan Jannes terkonfirmasi dari informasi yang diterima APPI. Menurut CEO APPI Mohamad Hardika Aji, laporan soal penunggakan gaji pemain tidak hanya terjadi di Liga 2, tetapi juga Liga 1. Aji tidak mengungkap klub-klub Liga 1 yang menunggak gaji pemain. Namun, dia menyebut lama penunggakan gaji juga berkisar hingga tiga bulan.
”Ada (klub Liga 1 yang menunggak gaji), tapi sudah diselesaikan. Mungkin juga karena melihat isu ini ramai, mereka (klub) takut jadi besar dan (pembayaran gaji) segera diselesaikan,” kata Aji.
Menurut Shahar, tunggakan gaji tidak hanya dialami oleh pemain, tetapi juga semua elemen tim, termasuk jajaran staf kepelatihan Kalteng Putra. Lama penunggakan gaji bervariasi, tetapi Shahar mengungkapkan, gaji pemain ditunggak dalam rentang dua hingga tiga bulan. Sementara pelatih memasuki empat bulan.
Pelaporan berawal dari unggahan pemain terkait surat pernyataan atau perjanjian. Isi dari surat itu adalah komitmen Kalteng Putra untuk membayar tunggakan gaji. Akan tetapi, pihak Kalteng Putra menolak menandatangani surat tersebut.
Kalteng Putra merespons dengan melaporkan 23 pemain ke Polda Kalteng sesuai dengan jumlah pemain yang mengunggah surat tersebut ke media sosial. Mereka terancam dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan dugaan pencemaran nama baik.
”Ada informasi bahwa penunggakan gaji itu merupakan hukuman bagi pemain karena tidak tampil sesuai harapan,” kata Shahar. Kalteng Putra saat ini terbenam di dasar Grup D Liga 2 dengan mengemas satu kemenangan, dua hasil imbang, dan dua kali kalah sehingga berpotensi besar terdegradasi ke Liga 3.
Kuasa hukum manajemen Kalteng Putra, Jeffriko Seran, memaparkan, manajemen Kalteng Putra sudah membayarkan 30 persen nilai kontrak itu di awal musim. Nilai kontrak pemain itu akan dibayarkan semuanya setelah musim ini selesai.
Namun, Jeffriko mengakui, manajemen menahan pembayaran lantaran para pemain tidak serius bermain, terutama saat menghadapi Persipura Jayapura pada Senin (22/1/2024). Saat itu, Kalteng Putra kalah di kandang dengan skor 1-2.
”Manajemen sengaja menahan supaya mereka bermain baik, eh malah saat mau bertanding tandang, mereka tidak pergi,” kata Jeffriko (Kompas.id, 29/1/2024).
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali tidak merespons upaya konfirmasi Kompas mengenai isu penunggakan gaji pemain ini. Demikian pula Sekretaris Jenderal PSSI Yunus Nusi, yang tidak menjawab pertanyaan terkait dengan respons PSSI terhadap desakan dari FIFPro dan APPI.