Orangtua pesepak bola belia diharapkan bijak dalam memberikan ekspektasi kepada anak-anaknya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
Pesepak bola muda tidak jarang memikul ekspektasi tinggi dari orangtua mereka. Tanpa disadari, kecenderungan berekspektasi kepada anak yang tengah menekuni sepak bola bisa menjadi bumerang. Manajemen harapan perlu dilakukan orangtua agar anak bisa memaksimalkan potensinya dengan tepat.
Salah satu kisah yang melibatkan pesepak bola dan ekspektasi orangtua dialami mantan kapten timnas Inggris, David Beckham. Saat remaja, Beckham memanggul ekspektasi ayahnya, Ted Beckham, yang menginginkan dia berseragam Manchester United.
Obsesi Ted terhadap anaknya sangat besar. Dia melatih Beckham dengan sangat disiplin dan keras. Pada suatu titik, Beckham merasakan obsesi sang ayah kepada dirinya untuk menjadi bagian dari MU terlampau besar. Situasi itu, dirasakan Beckham, agak mengganggu perkembangannya.
Ted kemudian tidak lagi bertindak sebagai orangtua yang menekan anak. Dia lalu mengubah pendekatan dengan menjadikan dirinya sebagai bagian dari sistem pendukung dan tempat berlabuh manakala Beckham diterpa masalah.
Masalah ekspektasi tersebut menjadi topik yang dibahas pelatih dan orangtua pesepak bola Liga Kompas Kacang Garuda U-14 dengan Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) dalam rangkaian Meet the Football Expert yang didukung AIA, Minggu (28/1/2024) di Dewantara Sport Center, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Pada acara itu, Sekretaris Jenderal IPO Taru Guritna menerangkan pentingnya orangtua melakukan manajemen harapan.
Menurut Taru, orangtua harus bisa memastikan ekspektasinya bisa diterima anaknya. ”Hal yang utama adalah jangan memaksakan ekspektasi orangtua. Boleh saja orangtua berharap, tapi jangan sampai itu membebani anak,” ujar Taru.
Apabila hal itu sampai terjadi, Taru khawatir pesepak bola muda menjalani kegiatannya bermain sepak bola dengan bayang-bayang paksaan. Sebagaimana Beckham yang dilatih sangat keras lantaran ayahnya ingin ia bergabung dengan MU, pesepak bola remaja harus diberikan ruang ekspresi.
Dorongan hati
Mereka sebaiknya bermain dari dorongan hatinya sendiri. Jadi, bukan berdasarkan ekspektasi orangtua. ”Kalau tidak sepenuh hati, anak akan sulit mencapai prestasi tinggi karena dia tidak bergerak dengan motivasi dan sikap yang positif,” kata Taru.
Manajemen harapan orangtua ini begitu krusial bagi pesepak bola remaja. Alasannya, usia remaja adalah peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Saat masih berusia anak-anak, mereka masih bisa menuruti keinginan orangtua. Situasi akan berbeda ketika anak telah berusia 13 hingga 21 tahun.
Shannon, mantan pemain putri Tottenham Hotspur, menekankan pentingnya aspek di luar lapangan. Aspek itu tidak boleh luput dari perhatian orangtua.
Pada rentang usia tersebut, anak remaja mulai bisa membantah dan memiliki pendapat atau pemikirannya sendiri. Selain itu, emosi mereka juga cenderung meledak-ledak. Dalam kondisi ini, memaksakan kehendak orangtua yang tidak sejalan dengan nurani anak tentunya akan menjadi bumerang.
”Pastikan mereka bermain dengan sukacita dan keinginannya sendiri. Bukan dalam kondisi terpaksa,” ujar Taru.
Peran orangtua juga disampaikan Senior Global Development Football Coach for Tottenham Hotspur Football Club Shannon Moloney dalam acara yang sama, Sabtu. Pendekatan orangtua, yaitu selaku pihak terdekat dengan anak, memengaruhi kematangan pesepak bola remaja.
Salah satu hal yang paling penting adalah meletakkan fondasi yang kokoh, termasuk pengetahuan soal asupan makanan yang benar. Tak kalah penting adalah kedisiplinan dalam menjaga kondisi pada saat libur kompetisi.
Shannon, mantan pemain putri Tottenham Hotspur, menekankan pentingnya aspek di luar lapangan. Aspek itu tidak boleh luput dari perhatian orangtua. Dia menggarisbawahi aspek pemenuhan nutrisi dan waktu istirahat yang cukup.
Shannon mengatakan, bakat dan teknik yang baik dari seorang pesepak bola tidak akan berkembang secara maksimal jika tidak didukung asupan nutrisi dan waktu istirahat yang baik. Dukungan itu harus diberikan oleh orangtua.