Kolom Franz Beckenbauer di Harian ”Kompas”: Ada Apa dengan Jerman?
Selepas bermain dan melatih, Beckenbauer membagikan ilmunya lewat tulisan, di antaranya untuk kolom di harian ”Kompas”.
Dunia sepak bola kehilangan salah satu legendanya, Franz Beckenbauer (78), yang berpulang dalam tidurnya, Minggu (7/1/2024). Selepas bermain dan melatih, saat ia mempersembahkan gelar Piala Dunia untuk Jerman, Beckenbauer membagikan ilmunya ke seluruh dunia melalui tulisan-tulisan yang di antaranya untuk kolom sepak bola di harian Kompas.
Kolom terakhir Beckenbauer dimuat pada 11 Juli 2016. Berikut adalah salah satu kolom sang legenda yang dimuat di harian Kompas edisi Rabu, 23 Februari 2005, di halaman 44:
Ada Apa dengan Jerman?
Ke mana pun saya pergi, orang selalu bertanya, ”Ada apa dengan Jerman?” Pada awalnya saya sangat malu menghadapi kenyataan bahwa, jauh dari perbatasan Jerman, orang-orang tetap membicarakan kejadian di sepak bola Jerman.
Baca Juga: Franz Beckenbauer, Sosok Langka Pengubah Wajah Sepak Bola Itu Berpulang
Jauh sebelum masalah skandal wasit mencuat, saya sebenarnya sudah sangat direpotkan oleh jabatan saya sebagai Ketua Penyelenggara Piala Dunia 2006. Di Jerman, jabatan itu sungguh berat karena saya juga direpotkan oleh pertarungan kekuasaan di dalam Federasi Sepak Bola Jerman (DFB). Namun, masalah itu relatif tidak seberapa berat jika dibandingkan dengan skandal wasit.
Jauh sebelum skandal wasit merebak, semuanya sebenarnya berjalan mulus. Dalam kaitan dengan persiapan Piala Dunia 2006, kami berhasil menyelesaikan berbagai rencana sesuai dengan jadwal. Kami, bangsa Jerman, berhasil mempertahankan reputasi sebagai organisator yang sangat baik.
Dalam tiga bulan mendatang, Stadion Allianz Arena akan dibuka. Stadion di kota Muenchen itu direncanakan menjadi tempat upacara pembukaan Piala Dunia tanggal 9 Juni 2006.
Namun, sejak Jerman tersingkir secara dini di Piala Eropa 2006, kami sepertinya tertimpa musibah demi musibah secara beruntun. Pertama, kami dikejutkan oleh mundurnya Rudi Voeller sebagai pelatih tim nasional. Kemudian, kejutan datang lagi melalui penolakan Otto Rehhagel untuk melatih Jerman. Rehhagel adalah orang yang sukses membawa Yunani menjadi juara Euro 2004.
Ottmar Hitzfeld yang kemudian kami tawari menjadi pelatih juga menolak. Sebuah kejutan lain. Beruntung kami akhirnya menemukan Juergen Klinsmann, orang yang akhirnya bersedia menggantikan posisi Voeller.
Namun, kembali masalah menghantam kami ketika kongres DFB memutuskan untuk menunjuk duet Dr Gerhard Mayer-Vorfelder dan Dr Theo Zwanziger sebagai Presiden DFB. Presiden FIFA Sepp Blatter sangat tepat dengan menyatakan, duet tersebut tidak akan bekerja maksimal, bahkan kontra produktif. Blatter dengan pas menganalogikan, Jerman tidak akan mendapat manfaat apa pun jika ada dua kanselir dalam pemerintahan.
Memang, tak ada di dunia ini negara yang diperintah oleh dua kepala negara. Di atas kertas mungkin saja ada. Namun, secara praktis, sistem itu tidak akan pernah berhasil. Sejak enam bulan ini saya memang telah menjadi korban dari dualisme kepemimpinan di DFB. Maka, kami di sepak bola Jerman harus segera mengembalikan situasi ke posisi normal, secepat mungkin. Alasannya sederhana. DFB mempunyai anggota lebih dari enam juta orang. Dengan jumlah anggota sebesar itu, kami tak boleh terus-menerus berada dalam situasi yang aneh ini.
Hal pertama dan utama yang harus kami lakukan adalah membereskan skandal wasit yang telah mencoreng bangsa Jerman. Saya sebenarnya masih bisa gembira karena hanya sebagian kecil klub di Bundesliga yang terkena atau tersangkut dengan skandal ini. Meski demikian, dengan dugaan ada 63 pertandingan di kompetisi dan Piala Liga, Divisi I, serta Divisi II yang terkontaminasi skandal, jumlah ini sulit ditoleransi.
Sungguh sebuah arang di wajah sepak bola Jerman dengan apa yang telah diperbuat wasit asal Berlin, Robert Hoyzer. Ini adalah kejahatan terhadap sepak bola yang tak pernah bisa dimaafkan. Satu-satunya hal baik dari kasus ini, dia langsung mengakui perbuatannya.
Di negara-negara lain di Eropa, khususnya di Italia, skandal judi sepak bola telah lama merebak dan sebagian di antaranya telah dijatuhi sanksi. Namun, di DFB, perjudian adalah teritori yang sama sekali baru.
Di Jerman, tekanan kepada wasit untuk selalu tampil sempurna begitu tingginya. Tekanan bukannya menambah akurasi dan kesempurnaan, melainkan justru membuat kontraproduktif dan kesalahan-kesalahan semakin banyak terjadi.
Maka, hal yang perlu segera kami perbaiki adalah mengembalikan kepercayaan diri para pengadil. Kami sendiri punya pengadil yang benar-benar bermutu tinggi, contohnya Dr Markus Merk yang baru-baru ini terpilih sebagai wasit terbaik tahun 2004.
Ketika seorang pemain mencetak gol bunuh diri, hal itu adalah sesuatu yang sangat biasa dalam perjalanan karier saya sebagai pemain bola, dan hal itu selalu cepat dilupakan. Namun, jika wasit berbuat kesalahan fatal, kasusnya bisa dibicarakan hingga berbulan-bulan, dan orang terus saja mengingatnya.
Buat saya, sekali lagi, yang penting sekarang ini adalah fokus lagi pada persiapan Piala Dunia dan event besar yang paling dekat, Piala Konfederasi musim panas ini. Dua event inilah yang sekarang seharusnya menjadi pembicaraan orang dan bukannya skandal kriminal yang pada kebanyakan kasus pengaturan hasil pertandingan dikendalikan oleh mafia.
Saya juga ingin mengimbau kepada para pelatih agar mengendalikan pemain cadangan yang suka ikut ”panas” jika wasit mengambil keputusan.
Namun, saya juga mengimbau kepada pemain agar tidak memprovokasi penonton saat merayakan gol. Tindakan mengejek pendukung lawan bertentangan dengan jiwa sportivitas. Selain menghormati penonton, mereka juga harus menghormati wasit.
Maka, saya tidak sepakat dengan banyaknya suara yang menginginkan teknologi video masuk ke dalam keputusan pengadil di lapangan. Sepak bola adalah permainan yang mengalir dan, jika harus diinterupsi oleh video, bola akan berhenti bergulir. Permainan akan janggal.
Permainan sepak bola menjadi indah karena wasit menjadi dirigen dalam alur irama bola. Gerak pemain dan alur bola adalah satu kesatuan simfoni yang membuat sepak bola begitu populer.
Keindahan itulah yang membuat saya tak sabar menunggu babak 16 besar Liga Champions. Satu pertandingan yang sangat saya tunggu adalah duel antara Bayern Muenchen dan Arsenal di London.
Menarik menyaksikan Arsenal yang sekarang sering turun tanpa satu pun pemain lokal. Dan, terlebih, Arsene Wenger adalah pelatih yang sangat saya idolakan. Saya ingin dia melatih di Bayern Muenchen dan malah kalau bisa menjadi manajer tim nasional Jerman.
Dengan sejumlah pemain terbaik asal Perancis, ditambah Dennis Bergkamp yang masih menunjukkan kegeniusannya, Arsenal adalah tim yang sangat atraktif. Namun, saya yakin Muenchen bisa mengimbangi. Dengan Mehmet Scholl dan Michael Ballack serta kiper berpengalaman Oliver Kahn, Muenchen adalah tim yang selalu kuat.
Saya juga sangat menunggu penampilan Real Madrid dan Barcelona, dua tim Spanyol yang sejarahnya gilang gemilang. Mudah-mudahan penampilan mereka memalingkan sejenak masalah skandal wasit yang membuat saya kehilangan muka.