Berpulangnya Zagallo, Simbol Kejayaan Sepak Bola Brasil
Mario Zagallo, legenda sepak bola Brasil, berpulang. Meskipun namanya tidak setenar Pele, Zagallo telah menyumbangkan total empat trofi Piala Dunia untuk tim ”Samba”. Tak ada yang menandinginya.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·4 menit baca
Sepak bola Brasil berduka. Di tengah ketidakpastian soal nama pelatih tim nasional, mereka ditinggalkan legendanya, Mario Jorge Zagallo (92). Meskipun namanya tidak setenar Pele, Zagallo merupakan sosok yang berjasa membawa tim ”Samba” menjadi tim sepak bola tersukses di dunia.
Zagallo, yang berpulang pada Jumat (5/1/2024) waktu setempat akibat kegagalan fungsi sejumlah organ tubuh, turut andil dalam empat dari lima trofi Piala Dunia FIFA yang dikoleksi tim Samba. Dua trofi Piala Dunia diraihnya sebagai pemain, dua gelar lainnya disumbangkan sebagai pelatih.
Pria kelahiran Rio de Janeiro itu adalah orang pertama dalam sejarah yang menjuarai Piala Dunia sebagai pemain dan pelatih, sebelum diikuti Franz Beckenbauer (Jerman) dan Didier Deschamps (Perancis). Namun, jumlah penampilannya di final ajang olahraga paling populer sejagat itu tidak bisa ditandingi siapa pun, yaitu lima kali (1958, 1962, 1970, 1994, dan 1998).
Tak pelak, bagi warga Brasil, Zagallo menjadi simbol kejayaan, kengototan, bahkan patriotisme. ”Dia adalah idola besar, patriot yang mewarisi capaian hebat,” bunyi keterangan resmi dari keluarganya.
Sebelum berpulang, Zagallo adalah saksi hidup terakhir dari skuad emas ”jogo bonito” Brasil 1958. Saat itu, ia melakukan debutnya di Piala Dunia bersama Pele, rekannya yang tutup usia pada 29 Desember 2022 lalu.
Saat itu, Zagallo mulai mengenakan kostum kuning khas Brasil di usia yang tak lagi muda, yaitu 26 tahun. Nama pemain yang berposisi penyerang sayap itu pun tenggelam di tengah sinar terang Pele, ”bocah ajaib” berusia 17 tahun. Permainan Zagallo memang tidak sehebat Pele. Koleksi gol Zagallo untuk tim Samba pun hanya 5 gol dari 33 penampilan. Bandingkan dengan Pele yang total mengemas 77 gol.
Namun, Zagallo memiliki kelebihan, yaitu kemampuan membaca permainan dan jiwa yang besar untuk berkorban. Di tengah absennya Pele nyaris sepanjang turnamen Piala Dunia 1962 di Chile, yaitu akibat cedera, Brasil dipaksa melakukan pendekatan baru.
Tim Samba mengedepankan kolektivitas dan memperkuat pertahanan, alih-alih menonjolkan serangan teknik tinggi yang identik dengan Pele. Zagallo pun memainkan peran baru, yaitu false winger.
Dia (Zagallo) adalah pahlawan besar sepak bola kami.
Peran baru itu menuntutnya bermain lebih defensif, yaitu turut mundur untuk memperkuat pertahanan dan tak jarang juga beroperasi di tengah. Peran yang kini dikenal sebagai posisi wing-back itu tidaklah lazim digunakan saat itu.
Dipupuk ”Maracanazo”
Maka, di Piala Dunia Chile saat itu, jumlah golnya sangat minim, yaitu hanya satu gol di fase grup. Namun, jumlah intersep, tekel, dan umpan matangnya, jauh meningkat. Peran barunya itu krusial membantu Brasil meraih trofi Piala Dunia untuk kedua kalinya setelah susah payah mengalahkan Ceko, 3-1, di Chile.
Jiwa rela berkorban demi menghadirkan kejayaan itu dipupuk oleh ”Maracanazo” alias ”Tragedi Maracana”, yaitu saat Brasil dibekap musuh bebuyutannya, Uruguay, 1-2, pada final Piala Dunia Brasil 1950 di Stadion Maracana.
Kekalahan menyakitkan tim Samba di tengah dukungan sekitar 200.000 suporternya itu menjadi memori buruk kolektif warga Brasil, tidak terkecuali bagi Zagallo yang saat itu masih berusia remaja. ”Hari itu tak pernah saya lupakan,” ujar Zagallo suatu ketika.
Untuk memastikan masa itu tak lagi terulang, Zagallo turut berkecimpung di tim sebagai pelatih, seusai gantung sepatu pada 1965. Ia membentuk tim menakutkan yang beranggotakan sejumlah penyerang hebat pada masanya, seperti Pele, Jairzinho, Gerson dan Rivellino.
Hasilnya, Brasil kembali menjadi kampiun sejagat setelah melumat Italia, 4-1, pada final Piala Dunia Meksiko 1970. Menakjubkannya, Brasil memenangi seluruh dari enam laga yang mereka jalani sejak fase grup edisi itu. Total 19 gol mereka kemas ketika itu.
Kepiawaiannya dalam meracik taktik ofensif membuatnya dijuluki ”Sang Profesor” dan ”Singa Tua”. Julukan itu kian melekat kepadanya saat kembali membawa tim Samba meraih trofi Piala Dunia pada edisi 1994 di Amerika Serikat. Saat itu, ia menjabat asisten pelatih.
Zagallo bahkan nyaris meraih trofi Piala Dunia kelimanya saat memimpin Brasil pada edisi Perancis 1998. Namun, saat itu, Brasil dibekap tim tuan rumah, 0-3, di final. ”Dia adalah pahlawan besar sepak bola kami,” ujar Presiden Federasi Sepak Bola Brasil (CBF) Ednaldo Rodrigues. (BBC)