Memori Rival (2): Vietnam, ”Anak Bawang” yang Telah Meninggalkan Indonesia
Dalam waktu 30 tahun, Vietnam bertransformasi dari ”kurcaci” menjadi calon raksasa baru sepak bola Asia. Indonesia yang dulu amat mudah menaklukkan Vietnam kini dibayangi rekor buruk.
Vietnam adalah tolok ukur terbaik untuk menggambarkan situasi sepak bola Indonesia yang semakin tertinggal saat ini. Dibandingkan dengan Indonesia, sepak bola Vietnam lebih lambat dikembangkan karena baru serius dibina pada awal 1980-an setelah unifikasi Vietnam Utara dan Selatan pada 2 Juli 1976.
Adapun tim nasional Indonesia dan klub Indonesia sudah rutin menjalani pertandingan dan berpartisipasi di turnamen internasional sejak dekade 1950-an. Jika membandingkan capaian kini, Vietnam telah mengemas dua trofi Piala AFF dan tampil di perempat final Piala Asia, sedangkan Indonesia masih bermimpi menjadi kampiun di kawasan Asia Tenggara.
Jejak rivalitas Vietnam dengan Indonesia sudah bisa dilacak ketika kedua tim mengikuti Turnamen Sepak Bola NEFO (New Emerging Forces) yang berlangsung di Pyongyang, Korea Utara, Agustus 1965. Diikuti enam peserta, Vietnam yang masih bernama Vietnam Selatan menduduki peringkat akhir ketiga di bawah Korea Utara dan China.
Adapun Indonesia ada di posisi kelima atau hanya lebih baik dari Kamboja yang duduk di posisi buncit. Meski lebih buruk dalam peringkat, Indonesia mencatatkan kemenangan pada duel kedua tim dengan skor, 2-1.
Setelah tampil mengejutkan di Turnamen Sepak Bola NEFO, Vietnam Selatan merengkuh gelar juara Merdeka Games edisi 1966 di Malaysia. Tak tanggung-tanggung, mereka mengalahkan raksasa Asia ketika itu, Burma (kini Myanmar), dengan skor tipis, 1-0, 29 Agustus 1966.
Gol tunggal Vietnam dicetak oleh Nguyen Van Chleu. Satu-satunya gelar juara bergengsi milik Vietnam Selatan itu diraih berkat tangan dingin pelatih asal Jerman, Karl Heiz Heigang, yang ketika itu masih berusia 31 tahun.
Kelar Vietnam Selatan berjaya di Merdeka Games 1966, Indonesia sempat menjalani enam pertandingan di turnamen internasional menghadapi skuad yang mengenakan jersei berwarna kuning dan bercelana putih itu.
Baca juga: Memori Rival (1): Irak Membuka Tabir Suap di Timnas Indonesia
Sekitar tiga bulan setelah tampil apik di Kuala Lumpur, Malaysia, Indonesia merasakan sulitnya menaklukkan Vietnam Selatan. Skuad ”Garuda” harus puas bermain imbang tanpa gol pada laga penyisihan Asian Games Bangkok 1966, Desember 1966.
Indonesia tampil lebih mendominasi pada lima duel terakhir melawan Vietnam Selatan pada periode 1969 hingga 1975. Catatan pertemuan pada rentang waktu itu, Indonesia menang empat kali, sedangkan Vietnam Selatan mengemas satu kemenangan.
Dua kali Indonesia melibas Vietnam Selatan dengan koleksi gol banyak di dua edisi beruntun King’s Cup Thailand di Bangkok. Indonesia unggul, 3-1, pada edisi 1969, lalu melibas Vietnam Selatan, 5-3, pada 1970.
Setahun kemudian, tepatnya 3 Mei 1971, Indonesia mencatatkan kemenangan terbesar dalam sejarah rivalitas dengan Vietnam Selatan/Vietnam. Pada duel Piala Presiden Park Chung Hee di Seoul, Korea Selatan, Garuda menghancurkan Vietnam Selatan, 9-1. Gol-gol Indonesia hanya diciptakan oleh tiga pemain, yaitu Iswadi menyumbang empat gol, kemudian Jacob Sihasale dan Abdul Kadir masing-masing mencetak hattrick dan brace.
Indonesia menelan kekalahan pertama dari Vietnam Selatan pada laga perebutan tempat ketiga King’s Cup Thailand, 17 November 1971. Ketika itu, Indonesia harus mengakui keunggulan Vietnam, 2-3. Sempat tertinggal, 0-3, lewat koleksi trigol penyerang Voetnam, Tran Tionanh, Garuda sempat memperkecil kedudukan berkat gol dari Ronny Pattinasarany dan Waskito.
Indonesia menelan kekalahan pertama dari Vietnam Selatan pada laga perebutan tempat ketiga King’s Cup Thailand, 17 November 1971. Ketika itu, Indonesia harus mengakui keunggulan Vietnam, 2-3.
Pertemuan pamungkas Indonesia menghadapi Vietnam Selatan terjadi pada babak Kualifikasi Piala Asia 1976, 17 Maret 1975. Indonesia menumbangkan sang lawan, 2-1, berkat sumbangan dwi gol penyerang Wibisono, pada laga yang berlangsung di Bangkok.
Baca juga: Calon Bintang Piala Asia 2023 (1): Mesin Gol Qatar dan Kapten Abadi India
Sepak bola vakum
Setelah unifikasi Vietnam Utara dan Selatan menjadi bangsa sosialis Vietnam, sepak bola negara itu sempat mengalami kevakuman panjang. Olahraga, termasuk sepak bola yang diperkenalkan di era kolonialisme Perancis, tidak menjadi perhatian pemerintah militer dan masyarakat di awal kehadiran negara ”baru” itu.
Geliat sepak bola Vietnam baru mulai tercium pada awal 1982. Hal itu disebabkan kedatangan tim nasional Irak untuk menjalani pertandingan ekshibisi di negara Indochina itu. Setelah itu, Pemerintah Vietnam mulai mengundang negara-negara tetangga untuk melakukan pertandingan di lapangan hijau.
Akibat kondisi sosial dan politik yang masih dalam proses transisi, Vietnam tentu tidak memiliki kumpulan pemain di klub untuk disatukan di dalam tim nasional. Alhasil, kedatangan tim tamu disambut dengan menjalani pertandingan kontra Tim Angkatan Bersenjata Vietnam. Duel Tim Angkatan Bersenjata Vietnam dan Laos tercipta, Desember 1984, di Saigon (kini Ho Chi Minh City).
Namun, sebelum melakukan pembinaan sepak bola, Vietnam lebih dahulu menitikberatkan pembinaan kepada masyarakat mereka. Pemerintah militer Vietnam rutin memberikan imbauan melalui media massa setempat agar masyarakat yang menyaksikan laga sepak bola secara langsung tidak melakukan hal-hal tercela, terutama melakukan umpatan kata-kata kasar ke pemain Vietnam.
”Olahraga bertujuan untuk perdamaian, persahabatan, dan saling pengertian satu sama lain,” tulis imbauan di koran Nhan Dan, awal Desember, seperti diberitakan Kompas edisi 9 Desember 1989.
Baca juga: Calon Bintang (2): Anomali Mehdi Taremi dan Peluang Sinar Marselino Ferdinan
Pemerintah Vietnam pun menegaskan, mereka memandang sepak bola tidak seperti di negara kapitalis yang menjadikan olahraga populer itu untuk mencari uang.
Tim asal Indonesia, PS ABRI, pun sempat melakukan tur ke Vietnam pada 1989. Lawatan itu disambut kunjungan balasan Tim Angkatan Bersenjata Vietnam ke Indonesia sekitar akhir Oktober hingga awal November 1991. Tak ayal, itu adalah perjalanan perdana tim sepak bola Vietnam ke luar negeri setelah unifikasi.
Kala itu, Tim Angkatan Bersenjata Vietnam menjalani tiga pertandingan. Mereka bermain imbang, 1-1, kontra Mitra Surabaya di Stadion 10 November, Surabaya, Jawa Timur. Mereka sempat menaklukkan Bandung Raya, 2-1, di Stadion Siliwangi, Bandung Jawa Barat. Timnas Indonesia yang disiapkan untuk mengikuti SEA Games Manila 1991 menaklukkan tim Vietnam itu, 2-1, di Stadion Lebak Bulus, Jakarta.
Pada Januari 1992, Vietnam memastikan untuk ikut serta Kualifikasi Piala Dunia Amerika Serikat 1994. Vietnam berada satu grup dengan Indonesia, Korea Utara, Qatar, dan Singapura. Dalam turnamen resmi perdana mereka setelah unifikasi, Vietnam tidak mematok target apa pun.
”Perjuangan yang berat bagi sepak bola Vietnam yang mempersiapkan pemain terdiri dari para pekerja di (perusahaan) kereta api, tentara, dan polisi,” kata Pelatih Vietnam Tran Duy Long menegaskan.
Baca juga: Lolos 16 Besar Piala Asia, Target Indonesia Sudah Realistis?
Meskipun Vietnam masih ”anak bawang” saat itu dan belum memiliki kompetisi rutin, Indonesia nyatanya tidak berdaya ketika kedua tim berjumpa di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, 16 April 1993. Indonesia, yang diasuh pelatih asal Yugoslavia, Ivan Toplak, tumbang, 0-1.
Indonesia bisa membalas kekalahan itu pada duel kedua di Stadion Nasional Singapura, 30 April 1993. Sumbangan gol dari Putut Wijanarko dan Sudirman memastikan keunggulan Garuda, 2-1. Dua bulan berselang, 9 Juni 1993, Indonesia kembali mengalahkan Vietnam, 1-0, di SEA Games yang berlangsung di Singapura.
Awal keseriusan
Setelah berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 1994 dan SEA Games 1993, Vietnam mulai menunjukkan keseriusan mereka meningkatkan kualitas sepak bola. Itu ditunjukkan dengan mengontrak pelatih asal Brasil, Edson Araujo Tavares, 1 Desember 1994.
Tavares datang ke Vietnam untuk membentuk dasar-dasar pembinaan. Ia direkomendasikan oleh Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan didatangkan berkat biaya dari perusahaan rokok Vietnam. Kontraknya hanya berdurasi singkat, yakni satu tahun (Kompas, 1 Desember 1994).
Pada perjalanan karier selanjutnya, Tavares juga pernah berkarier di Indonesia. Ia pernah menangani Persija Jakarta dan Borneo FC pada periode 2019-2020.
Setelah mendapatkan ilmu khas Brasil, Vietnam kembali diasuh juru taktik asal Jerman, Weigang, yang pernah menangani Vietnam Selatan. Bersama Weigang, Vietnam disebut tim ”Die Blietzkrieg” yang merujuk metode perang Jerman dengan serangan cepat yang melibatkan kekompakan semua pemain untuk menaklukkan pertahanan lawan.
Weigang kembali menunjukkan potensi besar sepak bola Vietnam dengan meraih medali perak SEA Games Chiang Mai 1995. Untuk tampil di partai perebutan medali emas, mereka mengalahkan Indonesia, 1-0. Meskipun kalah, 0-4, dari tuan rumah Thailand di final, capaian Vietnam itu telah membuat pengurus sepak bola Indonesia ramai-ramai menyampaikan permohonan maaf.
Pasalnya, Indonesia datang ke Chiang Mai dengan target membawa pulang medali emas. Tim yang dikirim juga hasil didikan program Primavera di Italia, seperti Kurnia Sandy, Bima Sakti, dan Kurniawan Dwi Yulianto. Mereka diperkuat juga dengan pemain-pemain berbakat, yakni Fachry Husaini, Ansyari Lubis, dan Widodo Cahyono Putro.
PSSI juga mengontrak pelatih dari Italia, Romano Matte, agar meraih hasil maksimal. Namun, hasilnya mereka gagal membawa pulang medali karena gugur di babak penyisihan.
”Inilah kegagalan terburuk sejak 1989 lalu. Perunggu berhasil diraih tahun 1989. Dua tahun kemudian menjadi juara. SEAG lalu di Singapura kalah di semifinal dan di sini (Chiang Mai) gagal di penyisihan. Tetapi, saya percaya ini merupakan kerikil kecil dari perjalanan panjang menuju pentas dunia 2002 nanti,” kata Manajer Indonesia di SEA Games 1995 Nirwan Dermawan Bakrie (Kompas, 14/12/1995).
Ya, pembaca tidak salah membaca. Ketua Umum PSSI periode 1991-1999 Azwar Anas memang menargetkan Indonesia tampil di Piala Dunia 2002. Namun, target itu hanya utopia belaka karena Indonesia justru sudah tidak bisa bersaing di level Asia Tenggara sejak dekade 1990-an, termasuk menghadapi Vietnam yang baru meniti langkah untuk membangun sepak bola saat itu.
Sejak tumbang di SEA Games 1995, Indonesia hanya mencatatkan lima kemenangan atas Vietnam dari 22 pertemuan. Keunggulan terakhir tercipta pada Piala AFF 2016 berkat kemenangan, 2-1, di babak penyisihan.
Pada empat duel terakhir kontra Vietnam di bawah kendali Shin Tae-yong, Indonesia menelan dua kekalahan dan dua hasil imbang. Garuda juga belum mampu mencetak gol ke gawang Vietnam selama diasuh juru taktik asal Korea Selatan itu. Sebaliknya, Vietnam telah mencetak enam gol ke gawang Indonesia.
Pertemuan duo rival Asia Tenggara itu di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, Qatar, 19 Januari 2024, pada laga Grup D Piala Asia 2023 bakal menjadi kesempatan emas Indonesia mengakhiri rekor buruk kontra Vietnam, sekaligus membalas kekalahan di Qatar pada kualifikasi Piala Dunia 1994, tiga dekade silam.