Langkah Awal PSSI Gulirkan Kompetisi Sepak Bola Putri
PSSI berencana menggulirkan kembali kompetisi sepak bola putri pada tahun depan di tengah kendala yang menghampiri. Kompetisi profesional berkorelasi dengan prestasi timnas.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran kompetisi sepak bola putri yang profesional dan reguler terbukti mampu mendongrak prestasi tim nasional beberapa negara tetangga. Di Indonesia, setelah terkendala Covid-19 dan jumlah peserta, PSSI berencana menggulirkan kembali liga. Kemauan dan komitmen menjadi langkah awal agar kompetisi bisa bergulir secara konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya muncul untuk kemudian terbenam.
Vietnam, Filipina, dan Thailand dapat menjadi contoh keberhasilan pembinaan serta pengembangan sepak bola putri yang tak lepas dari kehadiran kompetisi profesional. Pada Piala Dunia Putri 2023, Juli-Agustus lalu, Vietnam dan Filipina menjadi wakil Asia Tenggara bersama Australia. Bagi Filipina dan Vietnam, ini merupakan debut mereka di pentas dunia.
Thailand berada lima langkah di depan Indonesia lantaran sudah memiliki kompetisi.
Adapun Thailand gagal lolos ke Piala Dunia Putri 2023 setelah pada dua edisi sebelumnya (2015 dan 2019) selalu menjadi peserta. Walakin, Thailand adalah ratu sepak bola Asia Tenggara dengan empat trofi Piala AFF Putri dan lima emas di ajang SEA Games. Pelatih tim nasional putri Indonesia 2021-2023, Rudy Eka Priyambada, pernah mengibaratkan Thailand sebagai anak yang sudah duduk di bangku sekolah. Sementara itu, Indonesia bak bayi yang baru lahir. Menurut Rudy, Thailand berada lima langkah di depan Indonesia lantaran sudah memiliki kompetisi.
Thailand memang memiliki Thai Women’s League yang rutin digelar sejak 2008. Kompetisi berformat liga semiprofesional ini bahkan terdiri atas dua tingkatan,Thai Women League1 dan Thai Women League 2. Adapun Filipina menggelar The PFF Women’s League sejak 2016 dan Vietnam menggulirkan VFF Women’s League atau Thai Son Bac Cup sejak 1998.
Wakil Presiden Federasi Sepak Bola Asia Tenggara (AFF) Maaike Ira Puspita mengatakan, keberhasilan tim-tim Asia Tenggara menembus Piala Dunia adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Dari 12 anggota AFF, setidaknya empat pernah mentas di panggung tersebut.
Menurut Ira, perkembangan sepak bola putri di Thailand, Vietnam, dan Filipina memang tak lepas dari sisi kompetisi di dalam negeri. Selain itu, keberhasilan itu juga berkat konsistensi mereka mengikuti kompetisi yang sudah digelar AFF secara berjenjang, mulai dari U-15 sampai level senior.
AFF, lanjut Ira, telah berkomitmen untuk mengembangkan sepak bola putri. Kehadiran kompetisi berjenjang merupakan salah satu wujud dari komitmen itu. Namun, negara-negara di Asia Tenggara juga perlu memiliki jiwa kompetitif dan keinginan untuk mendobrak, misalnya, dominasi peringkat empat teratas AFF, yakni Australia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Ia menambahkan, potensi sepak bola putri di Asia Tenggara sebenarnya besar. Apalagi, sudah ada dua negara baru perwakilan dari AFF yang bisa menembus Piala Dunia 2023. ”Tidak tertutup kemungkinan di edisi 2027 semakin banyak perwakilan dari AFF. Namun, tentu kita harus punya jiwa kompetitif yang sangat kuat,” ujar Ira saat ditemui Oktober lalu.
Angin-anginan
Indonesia sebenarnya telah menggelar kompetisi sepak bola putri jauh lebih lama daripada Thailand, Vietnam, ataupun Filipina. Pada 1982, PSSI pernah menggelar Invitasi Liga Sepak Bola Wanita (Galanita). Kendati hanya berlangsung 11 hari, Galanita mengawali kompetisi resmi untuk tim putri. Turnamen yang memperebutkan Piala Ibu Tien Soeharto itu menjadi wadah bertanding sembilan kesebelasan yang telah terbentuk sejak 1970-an (Kompas, 21/10/1982).
Namun, kompetisi yang berlangsung dalam waktu singkat itu pun angin-anginan. Nasib sepak bola perempuan di Tanah Air kian suram setelah Ketua Umum Galanita Dewi Wibowo membubarkan kepengurusannya pada 1993. Alasan pembubaran, kata Dewi, karena Galanita dibiarkan berusaha dan berdiri sendiri, baik dari segi keuangan maupun pembinaan (Kompas, 14/2/1993).
Pada 2019, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar Liga 1 Putri dengan Persib Putri keluar sebagai juara. Kompetisi itu tidak dilanjutkan dalam tiga tahun terakhir akibat pandemi. Bahkan, pada 2021, ketika tiga kasta kompetisi sepak bola putra dan kompetisi yunior telah dijalankan, Liga 1 Putri tetap tidak bergulir.
Ketua Komite Sepak Bola Wanita PSSI Vivin Cahyani menuturkan, negara-negara tetangga bisa lebih berkembang karena telah memiliki platform sepak bola putri yang sudah matang. Sementara itu, Indonesia yang baru menggulirkan Liga 1 pada 2019 langsung terkendala Covid-19.
Kini, kendala dalam menggulirkan kembali kompetisi sepak bola putri adalah kurangnya peserta. PSSI merencanakan kompetisi sepak bola putri untuk klub-klub Liga 1. Namun, tidak semua klub Liga 1 memiliki tim putri.
Padahal, memiliki tim putri berbadan hukum merupakan salah satu syarat klub Liga 1 memiliki lisensi AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia). Baru ada enam klub dengan lisensi tersebut, yakni Bali United, Borneo FC, Madura United, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan PSM Makassar.
”Rencananya kami mulai dulu dengan 10 tim. (Kami) sedang menyusun modelnya seperti apa, formatnya bagaimana. Kami sudah susun presentasinya, tinggal dipresentasikan ke Ketua Umum PSSI (Erick Thohir). Kalau (dia) oke, ya go!” kata Vivin saat final MilkLife Soccer Batch 2, September lalu, di Kudus, Jawa Tengah.
Vivin menambahkan, PSSI akan memberi klub-klub yang belum memiliki tim putri itu waktu hingga tahun depan. Dengan enam klub, Liga 1 sudah memiliki tim putri sekaligus memiliki lisensi AFC, maka PSSI tinggal membutuhkan empat klub lain untuk bisa menggulirkan liga.
”Kompetisinya harus dimulai. Kalau menunggu semua tim (memiliki tim putri), malah tidak mulai-mulai. Targetnya tetap untuk klub Liga 1 karena itu untuk lisensi AFC. Kalau mereka mau dapat, ya, harus punya tim putri,” ucap Vivin.
Komitmen
Vivin juga menegaskan, PSSI bertekad membangun lagi sepak bola putri. Hal itu, salah satunya, ditunjukkan upaya PSSI menggandeng FIFA Women’s Football Technical Expert Simon Antoine Toselli untuk menjadipartner mereka. Toselli akan membantu PSSI menyusun masterplan sepak bola putri Tanah Air.
”Selain itu, kompetisi (kelompok umur) seperti MilkLife ini kami sambungkan dengan program PSSI dan Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI). Mudah-mudahan, dalam lima tahun, kita bisa mengatasi ketertinggalan dari negara Asia Tenggara lainnya. Kita harus bisa masuk kualifikasi Piala Dunia,” tutur Vivin.
Sekretaris Jenderal ASBWI Souraiya Farina menyebutkan, menggulirkan kompetisi sepak bola putri profesional dan reguler memang bukan perkara mudah, tetapi juga bukan hal mustahil. Untuk memulainya, harus betul-betul dipikirkan mengenai area fundamentalnya, seperti regulasi dan format kompetisi.
”Namun, yang pertama, menurut kami adalah niatnya, ada kemauan dan komitmen untuk menggulirkan kembali kompetisi sepak bola putri,” ujar Souraiya.
Jika sudah ada kemauan itu, lanjutnya, kompetisi bisa berjalan. Apabila PSSI terkendala minimnya peserta, Souraiya menyarankan opsi keikutsertaan tim-tim di luar Liga 1, tetapi memiliki tim putri. Atau, membuka peluang klub homogen yang hanya memiliki tim sepak bola putri dengan struktur, akta, dan badan hukum yang jelas dan mendorong mereka menjadi klub profesional.