Perangkap Pikiran Utopis Erik ten Hag di Manchester United
Sifat optimistis Erik ten Hag menjadi bumerang bagi skuad Manchester United. Selama dua musim, Ten Hag telah gagal mewujudkan perbaikan bagi permainan, apalagi prestasi MU.
Manchester United pada musim ini ibarat membentuk lingkaran nestapa bagi diri mereka sendiri. Taktik monoton hingga kegagalan Manajer Erik ten Hag menjaga harmoni ruang ganti, ditambah penampilan medioker pemain-pemain andalan, membuat ”Setan Merah” terbakar dengan ”api” yang mereka ciptakan sendiri.
Setelah menjalani November yang baik di Liga Inggris berkat koleksi tiga kemenangan beruntun, MU menelan hasil buruk dalam dua laga terakhir, yaitu kontra Galatasaray di Liga Champions Eropa dan Newcastle United di Liga Inggris. Di luar kegagalan mereka meraup poin penuh, kedua duel itu menunjukkan permainan MU yang tidak patut diharapkan untuk meraih trofi.
Setan Merah kehilangan identitas sebagai tim yang membuat lawan gentar sebelum sepak mula berlangsung. Sebaliknya, MU selalu berusaha bermain aman untuk tampil dengan gaya pragmatis yang membiarkan lawan mengontrol bola lebih banyak. Mereka mengandalkan transisi serangan balik cepat.
Baca juga: Jelas Sudah Alasan Arsenal Mendamba Declan Rice
Celakanya, gaya pragmatis itu tidak dibarengi pertahanan yang kokoh. Hal itu membuat MU mengemas hasil akhir yang inkonsisten. Mereka unggul dua gol atas Galatasaray, tetapi berujung hanya pulang dengan raihan satu poin. Hasil dari Turki mengancam MU keluar dari kompetisi antarklub Eropa sejak dini.
Ketika berharap efisiensi serangan, pemain tengah dan depan MU juga tampil di bawah performa terbaik di musim ini. Newcastle menunjukkan betapa mudahnya pemain lini serang MU kehabisan akal setelah mendapat pressing ketat nan konstan. Hanya menciptakan satu tembakan tepat sasaran di Stadion St James’ Park tentu bukan sebuah performa MU yang patut memberikan hikmah.
Namun, Ten Hag selalu berusaha menjadi satu-satunya sosok yang mencari sisi positif dari performa buruk anak asuhannya. Ia menyebut timnya tidak bermain baik pada laga melawan Newcastle.
Meski begitu, ia masih optimistis MU berada di jalur yang tepat. Indikasi itu, katanya, terwujud dari tampilan permainan yang sangat baik serta mencetak gol indah melawan Galatasaray dan Everton.
”Kami membangun sebuah tim, mengembangkannya, tim tengah berproses. Pemain-pemain muda datang dan Anda melihat potensi mereka untuk memberikan kontribusi bagi kesuksesan tim di masa depan,” ujar Ten Hag dalam konferensi pers jelang laga melawan Chelsea, Selasa (5/12/2023), dilansir BBC.
Juru taktik asal Belanda itu selalu menggunakan dalih MU tengah dalam proses untuk mengembalikan citra tim besar Inggris dan Eropa. Jika hal itu dikatakan pada musim lalu, pendukung MU masih memberinya dukungan karena ia baru menjalani tahun debut menduduki kursi manajer MU. Namun, keyakinan pendukung tentu sudah tak sebesar sebelumnya ketika pernyataan itu tetap dilontarkan di musim kedua.
Tidak ada peningkatan yang diberikan Ten Hag apabila merujuk performa MU di kancah domestik dari musim lalu. Efektivitas serangan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa dipecahkan MU.
Musim 2022-2023, mereka hanya menghasilkan 58 gol dari 68 expected goals (xG). Memasuki pertengahan musim ini, MU juga gagal memanfaatkan dengan baik peluang menjadi gol sehingga baru menciptakan 16 gol dari 20 xG.
Saya tidak ingin menyaksikan Manchester United lagi. Itu adalah indikasi paling sedih yang Anda miliki dari klub favorit Anda ketika merasa bosan dan lelah menyaksikan tim bermain. (Gary Neville)
Tingkat akurasi tembakan mereka juga tidak kunjung membaik, bahkan justru memburuk. MU, yang menghasilkan 35 persen tembakan tepat sasaran musim lalu, hanya mencatatkan 30 persen tembakan mengarah ke gawang pada kompetisi edisi 2023-2024.
Pertahanan mereka juga tetap saja buruk. Pada musim lalu bersama David de Gea, MU mencatatkan kebobolan 1,13 gol per laga. Musim ini, Setan Merah kemasukan 1,21 gol per laga dengan mengandalkan Andre Onana di bawah mistar gawang.
Permainan tim Bruno Fernandes dan kawan-kawan juga mengalami stagnasi. Mereka terperangkap dengan rerata 53 persen penguasaan bola dalam dua musim terakhir. Tingkat akurasi operan pemain MU selama dua musim diasuh Ten Hag adalah 81 persen.
Kegagalan
Catatan statistik yang ditampilkan pemain MU itu menunjukkan kegagalan Ten Hag mendapat kepercayaan dari mayoritas pemain utamanya. Hal itu mengakibatkan Ten Hag tidak mampu mewujudkan permainan yang diidam-idamkannya ketika tiba dari Ajax Amsterdam, musim panas 2022.
Ten Hag membuat Ajax sebagai salah satu tim dengan permainan atraktif di Eropa. Rerata penguasaan bola 61 persen, kemudian gelar Liga Belanda dan semifinalis Liga Champions, menunjukkan keberhasilan Ten Hag mendapat kepercayaan dari skuadnya.
Baca juga: Kemalasan Berulang Marcus Rashford
Hal itu tidak terjadi di MU. Media-media ternama MU pun telah mengabarkan 50 persen skuad MU tidak lagi percaya dengan Ten Hag. Berita itu membuat MU mengumumkan daftar hitam wartawan yang dilarang menghadiri konferensi pers mereka.
Ten Hag menolak anggapan itu. ”Saya yakin mendapat dukungan semua pemain,” bela Ten Hag. Mudah saja melihat kepercayaan pemain kepada manajernya. Hal itu bisa dilihat dari laga Tottenham Hotspur dan Brighton & Hove Albion.
Manajer Spurs Ange Postecoglou merevolusi Spurs yang lebih dikenal dengan permainan pasif dan garis pertahanan low block. Spurs pada musim ini teguh pada pola garis pertahanan tinggi dan permainan menyerang sepanjang laga. Raihan satu poin dari kandang Manchester City menunjukkan perubahan itu berada di trek yang benar. Sementara Ten Hag selalu gagal membawa pulang dari Stadion Etihad.
Begitupun dengan Brighton yang dilatih Roberto De Zerbi. Brighton, yang sebelumnya dikenal tim semenjana, kini menjelma menjadi tim pesaing zona Eropa. Kenaikan derajat Brighton itu disebabkan keberanian De Zerbi menjadikan Brighton sebagai tim menyerang.
Baca juga: Ilusi Garis Tinggi Guardiola dan Postecoglou
Postecoglou dan De Zerbi tidak lepas dari kritik karena terkesan tampil ceroboh dan kerap mengemas hasil akhir inkonsisten. Namun, mereka menunjukkan perkembangan yang jelas. Spurs menerbitkan kembali asa untuk bersaing di posisi empat besar, sedangkan Brighton mengusik hegemoni tim-tim ”tujuh besar” Liga Inggris dan tampil apik pada musim debutnya di kompetisi Eropa.
Setidaknya, dua manajer itu menghibur pendukung mereka meskipun tim meraih hasil negatif. Hal itu jelas berbeda dengan MU yang gagal pula memberikan permainan yang menyenangkan bagi fans yang menyaksikan.
Gary Neville, legenda MU, menganggap siklus kegagalan MU selalu terulang akibat tidak memiliki pola permainan yang jelas. Sejak berakhirnya era Sir Alex Ferguson, Neville menilai hanya Louis van Gaal yang berhasil menunjukkan rencana permainan yang sesuai dengan karakteristik Setan Merah.
”Saya tidak ingin menyaksikan Manchester United lagi. Itu adalah indikasi paling sedih yang Anda miliki dari klub favorit Anda ketika merasa bosan dan lelah menyaksikan tim bermain,” ujar Neville kepada Sky Sports.
Baca juga: Gemercik ”Hujan November” di Old Trafford
Eks rekan Neville, Roy Keane, menilai kondisi MU disebabkan masalah yang lebih kompleks. Kendala itu tidak lepas dari kebijakan transfer yang hanya mendatangkan pemain level menengah, bukan pemain paling terbaik yang sesuai dengan kebutuhan tim.
Apabila gagal menjalankan rencana transfer yang baik, Keane menganggap manajer dan staf pelatih wajib bisa meyakinkan dan mengeluarkan kemampuan terbaik pemain. Alhasil, tim pelatih harus mengelola pemain dengan baik dan cermat di lapangan latihan.
”Saya selalu khawatir dengan apa yang terjadi pada sesi latihan tim, budaya tim, dan siapa yang mampu memberikan contoh untuk memainkan identitas Manchester United. Dua pemain senior, seperti Marcus Rashford dan Bruno Fernandes, terkadang tidak menunjukkan gestur tubuh yang layak untuk mengangkat tim,” ujar Keane.
Pada akhirnya, Ten Hag hanya salah satu partikel dari persoalan MU saat ini. Pergantian manajer tidak akan mengakhiri masalah Setan Merah apabila tidak dibarengi perubahan budaya kerja dan ambisi dari dewan pimpinan klub.
Kegagalan Ten Hag mengelola ruang ganti adalah alarm berbahaya bagi MU. Tanpa soliditas pemain, sulit bagi MU untuk mengimbangi sejumlah klub yang mulai menunjukkan perkembangan positif di musim ini. Mereka tentu sudah amat sulit mengejar trofi liga, bahkan berpeluang terlempar pula dari persaingan zona Eropa.