Tidak ada batasan pasti antara kegagalan dan kesuksesan wakil Asia di Piala Dunia U-17. Hasil akhirnya baru terlihat di masa depan, saat para pemain di level senior.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Hari terakhir pertandingan babak grup menghadirkan kenangan pahit untuk dua wakil Asia. Tuan rumah Indonesia dipastikan gagal merebut tiket ke babak 16 besar sebagai peringkat ketiga terbaik. Sementara tim Korea Selatan harus rela pulang dengan tangan hampa setelah ditaklukkan Burkina Faso.
Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menjadi saksi bisu kenangan pahit itu pada Sabtu (18/11/2023). Indonesia butuh hasil imbang tanpa gol antara Meksiko versus Selandia Baru. Kenyataannya, Meksiko berpesta gol dengan kemenangan telak 4-0. Alhasil, ”Garuda Muda” dipastikan tereliminasi.
Setelah itu, giliran Korsel yang kalah dari Burkina Faso 1-2 akibat kecolongan di menit ke-86. Tim ”Negeri Ginseng” itu pun pulang tanpa membawa satu poin pun. Mereka kalah dalam tiga kali laga babak grup. Tim asuhan Pelatih Byun Sung-hwan tersebut juga harus lela berstatus wakil Asia dengan rekor terburuk.
Meskipun demikian, Byun mengatakan, hasil itu bukan sesuatu yang memalukan untuk turnamen kelompok usia. ”Saya tidak pernah setuju hasil lebih penting dari perkembangan pemain di turnamen ini. Itu yang membuat kami selalu mencoba bermain dengan umpan-umpan pendek dan penguasaan bola,” ujarnya.
”Jika kami hanya berkonsentrasi pada hasil, kami tinggal bertahan total untuk mengincar poin. Anda bisa melihat datanya, ketika melawan Amerika Serikat ataupun Perancis, kami selalu berinisiatif untuk lebih baik dari tim lawan. Meskipun hasilnya tidak baik, itu bisa menjadi pelajaran berharga untuk para pemain,” lanjutnya.
Korsel selalu ingin mendominasi. Di laga lawan Burkina Faso, misalnya, mereka unggul penguasaan bola hingga 71 persen. Mereka juga lebih mendominasi saat bertemu tim raksasa Perancis dengan penguasaan 53 persen walaupun harus kalah 0-1. Terlihat jelas apa yang ingin mereka bangun untuk masa depan.
Seperti Korsel, Indonesia juga patut bangga. Mereka bisa menunjukkan kekuatan mental dalam penampilan pertama di Piala Dunia remaja.
Seperti Korsel, Indonesia juga patut bangga. Mereka bisa menunjukkan kekuatan mental dalam penampilan pertama di Piala Dunia remaja. Garuda Muda tidak pernah menyerah dalam situasi tersulit. Terlihat saat mengimbangi Ekuador dan Panama, bahkan saat kalah dari Maroko. Hal itu bisa menjadi bekal positif untuk para remaja.
Cerminan Asia
Kebanggaan sempurna dirasakan tiga wakil Asia, yaitu Iran, Jepang, dan Uzbekistan. Tidak hanya bisa menampilkan ide bermain sesuai rencana, mereka juga berhasil lolos ke 16 besar. Sorotan terbesar tertuju pada Iran yang bisa lolos di dalam jebakan ”grup neraka” bersama Inggris dan Brasil.
Iran bahkan mengalahkan juara bertahan Brasil dan merepotkan Inggris. Dua tim yang dikenal sebagai negara kiblat sepak bola dunia. Pelatih Hossein Abdi mengatakan, turnamen ini memang penting. Namun, hal terpenting adalah dasar permainan yang sudah dipelajari para pemainnya selama bertahun-tahun.
”Pelatih terbaik adalah yang menguasai teknik dasar di level tertinggi. Anda harus mengajarkan fondasi, lalu mengembangkan itu dengan profesional. Perlahan-lahan. Jika tidak, mereka akan bingung. Itu adalah cara mengembangkan yang terbaik. Baru setelah itu, kompetisi akan berguna untuk mereka,” ujar Abdi.
Iran, negara peringkat ke-21 dunia versi FIFA, membangun skuad remaja tidak dalam semalam. Abdi sudah memegang tim sejak empat tahun silam. Adapun dia berada di Inggris selama tujuh tahun untuk mendapatkan lisensi kepelatihan dan mempelajari sepak bola. Dengan pembinaan usia muda matang, wajar pemain Iran amat potensial.
Jepang tidak kalah bagus dalam pembinaan. Penyerang 16 tahun Rento Takaoka adalah salah satu buktinya. Pencetak gol terbanyak turnamen sejauh ini (4 gol) tersebut berasal dari sekolah Nisso Gakuen, bukan dari akademi sepak bola. Bayangkan, anak sekolah biasa bisa bersaing dengan pemain top dunia dari banyak klub.
Menurut Pelatih Yoshiro Moriyama, kompetisi sangat penting. Takaoka merupakan hasil dari kompetisi yang terstruktur dan berkesinambungan di tingkat sekolah. ”Sepak bola di sekolah adalah fokus (Pemerintah Jepang). Semua berkat liga dan akademi sudah mapan. Itu membuat kami punya banyak pemain dari sekolah,” ujarnya.
Butuh waktu lama sampai Jepang bisa menemukan keseimbangan antara didikan sekolah dan akademi klub. Menurut Moriyama, perubahan drastis dalam pembinaan pemain muda sudah terjadi bertahun-tahun sebelum debut Jepang di Piala Dunia U-17 saat menjadi tuan rumah di 1993. Lima tahun setelah itu, mereka lolos pertama kali ke Piala Dunia senior.
Adapun dengan program pembinaan muda yang matang, pertumbuhan pemain akan lebih tertata. Itu akan membantu mereka untuk mendapatkan jalan selanjutnya. Seperti pemain sayap Jepang asal sekolah Kamigaku, Yumeki Yoshinaga (17). Dia akan langsung bergabung dengan klub Belgia Genk setelah Piala Dunia.
Turnamen remaja, seperti Piala Dunia, memang bagus untuk batu loncatan. Namun, seberapa jauh para pemain akan meloncat setelah itu. Pertanyaan itu yang tertuju pada pemain-pemain Asia, terutama Garuda Muda. Apakah mereka punya modal cukup untuk melompat ke tujuan berikutnya yang lebih tinggi?