DBL, Kompetisi Basket Pelajar Rasa Profesional
Gelaran kompetisi basket pelajar sekolah menengah atas DBL di puluhan kota ini terasa profesional.
Menuju usia dua dekade, Developmental Basketball League atau DBL terus meningkatkan kualitasnya. Gelaran kompetisi basket pelajar sekolah menengah atas di puluhan kota ini pun terasa profesional. Mulai dari pengelolaan liga, pertandingan, hingga arena.
Iringan musik dan sorakan pembawa acara menyambut setiap pebasket tim putri SMAN 70 dan SMA Jubilee ke dalam Indonesia Arena di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (17/11/2023). Cahaya lampu (lighting) dan asap panggung mengarah ke setiap tim.
Dari jumbotron, layar LED raksasa empat sudut yang tergantung di langit-langit arena, foto setiap pemain ditampilkan. Ketika pemain pemanasan, layar raksasa berukuran 6 meter x 3,5 meter juga mengekspos sejumlah sudut di tribune tiga tingkat yang dipadati ribuan penonton.
Baca juga: Final DBL DKI Jakarta, Jalan Pebasket Muda Menuju Panggung Dunia
Jumbotron itu juga mempertontonkan pasangan suporter yang tertangkap kamera duduk berdampingan. ”Cieee,” begitu sorakan penonton. Pasangan itu tampak malu-malu. Ini adalah gimik dalam pertandingan basket di liga profesional luar negeri yang dikenal sebagai Kiss Cam.
Beginilah suasana final Honda Developmental Basketball League with Kopi Good Day 2023 DKI Jakarta Series. Meskipun hanya liga anak SMA, arenanya tidak main-main. Dua bulan sebelumnya, Arena Indonesia menjadi lokasi kompetisi basket Piala Dunia FIBA 2023.
DBL mencetak sejarah karena pertama kali menggunakan ”panggung dunia” itu. Liga bola basket profesional pria, IBL, saja belum pernah menjajal stadion berkapasitas 16.000 penonton itu. Boleh dibilang, finalis di DBL seperti pemain bintang dunia yang sempat bermain di sana.
Beberapa nama besar itu adalah Yago Santos dari Brasil; Anthony Edwards yang juga pemain NBA dari Amerika Serikat, hingga Dillon Brooks, bintang NBA asal Kanada. Serupa pemain tingkat dunia itu, para pelajar ini pun mendapat sorakan dari suporter yang didominasi siswa.
Mereka berseragam kemeja putih besar dengan tulisan ”Bulungan 70”. Ada juga yang mengibarkan bendera kuning biru ”Jubilee”. Para pelatihnya mengenakan kemeja plus dasi. Bahkan, ada yang memakai jas hitam. Di belakang kursi pemain, cheerleader menyemangati.
Laga yang disiarkan secara live streaming itu juga dilengkapi catatan statistik. Mulai dari data jumlah poin dan waktunya, berapa kali rebound, hingga persentase lemparan tiga angka. Setiap orang pun bisa melihat berbagai data yang dibangun oleh Genius Sports itu melalui laman DBL.
Final DBL DKI Jakarta pun menyajikan pertandingan seru. Laga ini menjadi ajang balas dendam karena keempat tim juga bertemu di final. Tim putri SMA Jubilee, misalnya, ingin merebut trofi SMAN 70, sedangkan tim putra SMA Bukit Sion bertekad mencuri juara SMA Jubilee.
Aksi saling serang, jatuh bangun pemain, terjadi. Namun, tim putri SMAN 70 mempertahankan gelar juara setelah menang 54-43 atas SMA Jubilee. ”Srikandi Seventy” ini pun mempertahankan trofi tiga tahun berturut-turut, sedangkan tim ”Phoenix” harus menerima kekalahan.
Drama yang menguras emosi penonton berlangsung pada final tim putra. Bagaimana tidak, dari awal hingga menjelang akhir pertandingan, SMA Bukit Sion selalu memimpin skor dari SMA Jubilee. Tim berjuluk ”Buksi” ini masih unggul 52-48 atas tim Phoenix di sisa waktu semenit.
Namun, aksi saling serang masih terjadi. Penonton, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo, bahkan dibuat berdiri karena deg-degan. Keadaan mulai berbalik saat tembakan tiga angka Stephen Sundinata mendarat mulus di ring. Tim Jubilee pun semakin percaya diri.
Mereka lalu menyasar ring lawan bertubi-tubi. Sempat gagal dalam dua kali tembakan, Kanara Haady Pasha sukses memanfaatkan bola rebound pada 13 detik terakhir. Tim Buksi sempat mencoba lemparan tiga angka di sisa waktu. Namun, gagal. Jubilee menang 53-52 atas Buksi.
”Tadi gue tanpa mikir, dapat bola langsung angkat. Gue kaget sendiri, sih, sebenarnya. Tapi, kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” ucap Kanara yang menangis haru setelah menang. Dia senang karena persiapan selama setahun terakhir lewat latihan membuahkan hasil.
Remaja setinggi 173 sentimeter ini juga bangga bisa bermain di Indonesia Arena. Ia berharap kelak dapat menikmati lapangan basket terbaik itu. ”Kalau saya, latihan dulu aja. Mau jadi pro (profesional) atau enggak, belakangan,” ucap Kanara yang sibuk melayani permintaan swafoto.
”Hollywood ending”
Pendiri sekaligus CEO DBL Indonesia, Azrul Ananda, menyebut final kali ini sebagai ”Hollywood ending”, yakni serupa akhir dari film-film Hollywood yang penuh drama. ”Saya sudah melihat begitu banyak pertandingan dramatis. Belum pernah atmosfernya sebesar ini,” ucapnya.
Drama dalam laga final, katanya, juga bisa muncul di 30 kota tempat gelaran DBL. Tahun ini, terdapat delapan seri kejuaraan yang tersebar di Jakarta, Kalimantan Barat, Lampung, hingga Papua. Setiap tahun, sekitar 40.000 pemain dan 1,5 juta penonton ikut meramaikan kompetisi ini.
Dari ribuan pemain itu, penyelenggara akan memilih DBL Indonesia All-Star. Tim ini berisi masing-masing 12 siswa putra dan putri serta empat pelatih. Mereka selanjutnya bakal menjalani pelatihan di AS. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada yang meraih beasiswa di negara itu.
Beginilah cara DBL membuat kompetisi rasa atlet meski pesertanya pelajar. ”Memang, 99 persen pemain DBL tidak menjadi pemain profesional. Tapi, filsafat kita adalah 100 persen harus menjadi profesional. Makanya, DBL itu dikemas dengan pengelolaan profesional,” ujar Azrul.
Profesional yang ia maksud adalah kesungguhan pemain dalam belajar kedisiplinan, kekompakan, hingga mengejar mimpinya sebagai atlet atau hal lainnya. ”Mereka jadi apa pun, mereka akan menerapkan apa yang dipelajari,” ucapnya.
Kapten tim putri SMAN 70, Keira Ammabel, misalnya, belum punya bayangan menjadi pebasket profesional. Namun, tiga tahun terakhir mengikuti DBL, ia merasakan banyak perubahan dalam dirinya. Ia lebih andal bermain basket juga percaya diri memimpin rekannya.
Basket juga bisa menjadi jalan ke pendidikan tinggi. ”Ada beberapa universitas yang menawarkan beasiswa untuk kuliah,” ungkap Keira yang masuk ke SMAN 70 melalui jalur prestasi basket karena pernah memperkuat DKI Jakarta dalam pekan olahraga pelajar nasional.
Meskipun pemain DBL belum tentu jadi pebasket profesional, Sekretaris Umum Pengurus Besar Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia DKI Jakarta Arief Satria Kurniagung mengakui, DBL telah melahirkan atlet provinsi dan nasional. Bahkan, mereka turut menyumbangkan prestasi.
Pada SEA Games Kamboja 2023, timnas bola basket putri akhirnya merebut medali emas setelah 46 tahun penantian. Dari 12 pemain, delapan di antaranya merupakan alumnus DBL. Mereka, antara lain, Yuni Anggraeni, Nathania, Henny Sutjiono, Dewa Ayu M, dan Dyah Lestari.
Arief pun tidak ragu jika kelak peserta DBL bisa bermain di ajang internasional. Ia pun mendorong pihak DBL tetap konsisten menggelar kompetisi dan meningkatkan kualitasnya. “Kami berharap ini menjadi pengembangan atlet. Kami akan mendampingi,” ucapnya.
Direktur DBL Indonesia Masany Audri mengatakan, konsistensi DBL telah terbukti dari usia kompetisi yang hampir 20 tahun. Sejak digelar 2004, pihaknya terus berupaya menjaga reputasi sebagai pengelola liga. Mulai dari meyakinkan sekolah, para sponsor, hingga pemerintah.
Kehadiran sponsor hampir dua dekade serta partisipasi puluhan ribu pemain dan 1,5 juta penonton per tahun menunjukkan olahraga ini punya potensi sebagai industri. ”This is a sleeping giant (industri ini adalah raksasa yang tertidur). Kita yang bangunin sama-sama,” ucapnya.
Baca juga: DBL, Bukan Sekadar Kompetisi Basket Pelajar