Awal Kebintangan Son Heung-min dari Piala Dunia U-17
Megabintang Korea Selatan, Son Heung-min membuktikan bakat besar harus dibarengi kerja keras demi mencapai level dunia.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Siapa yang tidak kenal Son Heung-min? Kini, Son adalah ikon dan kapten bagi Tottenham Hotspur sekaligus tim nasional Korea Selatan. Jauh sebelum mencapai status pemain kelas dunia serta merasakan puncak ketenaran, Son memulai perjalanan kariernya melalui ajang Piala Dunia U-17 2009 di Nigeria.
Son bergabung dengan tim sepak bola U-17 Korsel di Nigeria setelah mampu menembus final Piala Asia U-16 2008. Di ajang kontinental, Son telah menunjukkan bakat besarnya dengan menyumbangkan empat gol untuk ”Pasukan Taeguk”, julukan Korsel. Sepasang gol diciptakan Son ke gawang tim U-16 Indonesia pada duel di babak penyisihan.
Di ajang Piala Dunia U-17 2009, Son membuka keran gol di laga pertama Korsel di Grup F. Ia mencetak salah satu gol ketika Korsel membenamkan Uruguay, 3-1.
Kemudian, Son mencetak satu gol lagi untuk ke gawang Aljazair pada laga pamungkas fase grup demi memastikan langkah Korsel ke babak 16 besar. Pada fase gugur, Korsel mengalahkan Meksiko di babak perdelapan final melalui drama adu penalti. Namun, langkah Pasukan Taegukterhenti di perempat final oleh Nigeria, tim tuan rumah.
Meski gugur di tangan Nigeria, Son membuka harapan Korsel dengan memaksa skor imbang, 1-1, sebelum turun minum. Sayangnya, Korsel gagal meredam Nigeria yang mencetak dua gol tambahan di babak kedua. Pada pertandingan yang dipimpin wasit legendaris Inggris, Howard Webb, Korsel tumbang, 1-3.
Son menutup turnamen Piala Dunia U-17 dengan koleksi tiga gol. Laga melawan Nigeria juga menjadi momen terakhirnya membela skuad U-17 Korsel. Ia mencetak tujuh gol dari 18 laga bersama tim remaja Korsel.
Performa di Nigeria 2009 menunjukkan bakat Son sebagai penyerang ulung. Ia memamerkan insting golnya melalui sepakan jarak jauh pada gol melawan Aljazair dan Nigeria. Lalu, kemampuannya menempatkan diri di kotak penalti lawan adalah awal bagi golnya ke gawang Uruguay.
Sifat tak pernah puas adalah modal Son menjadi salah satu pemain terbaik di generasinya. (Roger Schmindt)
Hanya berselang dua pekan setelah merampungkan turnamen di Nigeria, Son melanjutkan kariernya ke Jerman. Ia direkrut oleh tim akademi Hamburg SV. Delapan bulan berselang, tepatnya Juli 2010, Son menandatangani kontrak profesional pertama bersama Hamburg SV, tim Liga Jerman. Kala itu, usianya masih 18 tahun.
Son tak perlu waktu lama untuk menjadi idola baru Hamburg. Di laga debutnya bersama tim senior Hamburg, ia mencetak gol ke gawang FC Koeln pada duel Liga Jerman, 30 Oktober 2010. Tak ayal, ia mencatatkan diri sebagai pemain Hamburg termuda mencatatkan nama di papan skor di Liga Jerman.
Tiga musim membela Hamburg, Son hijrah ke tim Jerman lainnya, Bayer Leverkusen. Tampil konsisten untuk selalu mencetak dobel digit gol di Liga Jerman dalam tiga musim beruntun periode 2012-2015 menarik minat Spurs untuk membawanya ke Inggris. Sebanyak 41 gol dari 135 gim di Jerman menjadi bekal Son bersaing di liga terbaik dunia, Liga Inggris.
Pemain Asia tersubur
Son memulai perjalanannya di Liga Inggris dengan tidak mulus. Hanya menghasilkan empat gol dari 28 laga di musim perdana, 2015-2016, membuatnya berlatih keras untuk menunjukkan performa terbaiknya.
Pada tujuh musim setelah itu, Son selalu mencetak lebih dari 10 gol di Inggris. Ia pun menjadi pemain Asia pertama yang menjadi pencetak gol terbanyak Liga Inggris. Total 23 gol ia torehkan di musim 2021-2022. Son pun menjadi pemain Asia perdana yang mampu menghasilkan lebih dari 100 gol di Liga Inggris.
Konsistensi dan kerja keras membantu Son menjadi pemain Asia tertajam di Inggris dan Eropa. Memasuki musim kesembilan di London, Son melanjutkan estafet kapten Spurs dari Hugo Lloris dan Harry Kane. Capaian pribadi itu seakan menutup ketidakberuntungan Son yang belum mengangkat trofi di Eropa.
Tak hanya untuk klub, Son juga melanjutkan penampilan apiknya ketika membela tim Korsel. Son sudah membela timnas Korsel senior sejak 2010. Dalam 13 tahun mengenakan seragam Pasukan Taeguk, Son telah memainkan 114 laga dan menyumbangkan 38 gol.
Ia memperkuat Korsel pada tiga edisi Piala Dunia beruntun sejak 2014 hingga 2022. Lalu, tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, kemudian membantu Korsel membawa pulang emas pada Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang.
Son mengungkapkan, Piala Dunia U-17 2009 adalah panggung perdana yang menjadi kesempatannya memamerkan kemampuan di level dunia. Menurut dia, setiap pemain muda haram menyia-nyiakan peluang bermain di Piala Dunia U-17.
”Saya dan semua pemain yang tampil di level yunior hingga berada di jenjang senior menempuh perjalanan yang sulit. Saya belum berhenti untuk berusaha keras meningkatkan diri,” ujar Son tentang perkembangannya dari Piala Dunia U-17 hingga menjadi pemain kelas dunia.
Roger Schmindt, mantan pelatih tim utama Leverkusen, mengungkapkan, cucuran keringat dan waktu dikorbankan Son untuk mencapai potensi terbaiknya saat ini. Sifat tak pernah puas, kata Schmindt, adalah modal Son menjadi salah satu pemain terbaik di generasinya.
”Dia (Son) menghabiskan waktu berjam-jam sendiri di lapangan latihan. Dia terus membenahi tembakannya, menyempurnakan akurasi sepakannya dari kedua kaki, dan melakukan tembakan dari dalam dan luar kotak penalti,” ujar Schmindt kepada The Athletic.
Fokus besar Son hanya kepada sepak bola itu juga membuat Sir Alex Ferguson, manajer legendaris Manchester United, menyebutnya sebagai salah satu pemain yang ingin diasuhnya jika masih melatih saat ini.
Dari Son, sebanyak 504 pemain yang bakal tampil di Piala Dunia U-17 2023 bisa memetik pelajaran. Mereka wajib tampil maksimal di seluruh laga, kemudian tidak pernah merasa puas untuk berkembang menjadi bintang generasi baru pesepak bola dunia. (AFP)