Dengan “Api Membara”, Coco Juarai Amerika Serikat Terbuka
Cori "Coco" Gauff menjadi juara baru Grand Slam saat menjuarai Amerika Serikat Terbuka. Petenis berusia 19 tahun itu meraihnya setelah membalikkan keadaan usai kehilangan set pertama di final.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU - Cori “Coco” Gauff mewujudkan harapan diri sendiri, keluarga, dan bangsa Amerika Serikat untuk menjadi juara Grand Slam. Gelar pertama dari turnamen mayor itu didapat di “rumahnya” sendiri dalam turnamen AS Terbuka.
Petenis berusia 19 tahun itu menjadi juara setelah kehilangan set pertama saat berhadapan dengan Aryna Sabalenka pada final di Stadion Arthur Ashe, Pusat Tenis Nasional Billie Jean King, New York, Sabtu (9/9/2023) sore waktu setempat atau Minggu dini hari waktu Indonesia. Coco menang dengan skor 2-6, 6-3, 6-2.
Dengan kemenangan tersebut, Coco menjadi remaja AS pertama yang menjuarai Grand Slam di negara sendiri setelah Serena Williams menjadi juara pada 1999. Saat itu, Serena juara saat berusia 18 tahun dengan mengalahkan Martina Hingis di final.
Tahun ini, publik AS menaruh harapan besar pada Coco karena tampil baik pada musim persaingan turnamen lapangan keras di wilayah Amerika, dalam dua bulan terakhir. Setelah tersingkir pada babak pertama Wimbledon, Juli, dia menjuarai WTA 500 Washington, mencapai perempat final WTA 1000 Montreal, dan menjadi juara di WTA 1000 Cincinnati.
Gelar di Cincinnati menjadi yang pertama baginya di turnamen WTA 1000. Dalam perjalanan untuk menjadi juara, dia mengalahkan Swiatek di semifinal.
Setelah mendapat poin terakhir melalui winner dari backhand passing shot, Coco dipeluk Sabalenka lalu menangis. Dia naik ke tribune untuk menghampiri tim pelatih dan keluarga.
Ayahnya, Corey Gauff, menghampirinya. Corey selalu duduk memisahkan diri dari tim karena sering meninggalkan tribune saat merasa tegang menonton putrinya. Ibunya, Candi, ikut menghampiri putrinya. Ketiganya berpelukan sambil menangis dan mengatakan, “Kita berhasil”.
“Ini sangat berarti bagi saya. Sejujurnya, saat ini, saya juga terkejut. Apalagi, setelah final Perancis Terbuka tahun lalu, perjalanan saya naik-turun,” ujar Coco saat acara penerimaan hadiah.
Final AS Terbuka ini memang bukan yang pertama bagi Coco. Pengalaman pertamanya didapat di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, pada Perancis Terbuka 2022. Namun, Coco kalah dari Swiatek.
Mereka yang mencoba ‘memadamkan api’ dalam diri saya, itu justru membuat api tersebut semakin membara.
Bagi Sabalenka, kekalahan ini tak jadi melengkapi prestasi besarnya yang akan diraih mulai awal pekan ini, yaitu menjadi petenis nomor satu dunia untuk menggantikan Swiatek. Posisi tersebut didapat Sabalenka, yang naik dari ranking kedua, setelah Swiatek gagal mempertahankan gelar juara karena tersingkir pada babak keempat.
Coco Bangkit
Dalam final yang disaksikan mantan-mantan petenis serta selebritas Hollywood itu, semula Coco kesulitan menghadapi kekuatan pukulan Sabalenka pada gim pertama. Apalagi, Sabalenka tampil solid tidak hanya saat melakukan servis, melainkan juga ketika menerima servis. Petenis Belarus itu memang memiliki gaya main seperti idolanya, Serena, yaitu tampil agresif dengan pukulan keras sepanjang pertandingan.
Situasi pada set pertama ini membuat keluarga dan tim pelatih Coco beraut wajah tegang. Pelatih Brad Gilbert, yang pernah melatih Andre Agassi, Andy Roddick, dan Andy Murray, lebih banyak diam. Padahal, pelatih berusia 62 tahun itu biasanya sering berteriak memberi arahan pada Coco saat jeda antarpermainan.
Baru pada set kedua, Coco tampil membaik seiring dengan servis pertamanya yang semakin akurat. Ini menjadi kunci karena memiliki servis kedua yang lemah hingga mudah dimanfaatkan lawan untuk menyerang.
Coco juga terbantu unforced error yang lebih banyak dilakukan Sabalenka dibandingkan set pertama. Dari 32 poin yang didapat Coco pada set kedua, 16 di antaranya berasal dari unforced error Sabalenka. Juara Australia Terbuka itu kesulitan mengontrol groundstroke yang keras hingga bola sering jatuh di luar lapangan.
Kemenangan Coco pada set kedua, yang membuat bising Stadion Arthur Ashe dengan 23.700 penonton yang memenuhi kursi, membuatnya semakin percaya diri untuk bersaing pada set ketiga. Atlet yang mulai bermain tenis pada usia enam tahun itu langsung unggul 4-0.
Ketangguhannya saat bertahan, termasuk dalam posisi sulit, membuat Sabalenka kesulitan mendapat poin. Coco akhirnya membalikkan keadaan untuk membawa pulang trofi pertamanya dari status juara Grand Slam.
Hasil itu menjadi final kesembilan tunggal putri turnamen pada era Terbuka (sejak 1968) ketika pemenang kehilangan set pertama lebih dulu. Petenis terakhir yang melakukannya adalah Naomi Osaka pada final 2020 saat melawan Victoria Azarenka. Osaka meraih gelar kedua AS Terbuka saat itu dengan skor 1-6, 6-3, 6-3.
“Terima kasih untuk orang-orang yang tidak mempercayai saya. Sebulan lalu, ketika saya menjuarai WTA Tour, ada yang mengatakan bahwa saya akan berhenti di situ. Saat saya juara di Cincinnati, ada yang berkomentar itu akan menjadi prestasi terbesar saya. Sekarang, saya berada di sini dengan trofi ini. Mereka yang mencoba ‘memadamkan api’ dalam diri saya, itu justru membuat api tersebut semakin membara,” tuturnya. (AP/AFP)