Petenis China, Zheng Qin Wen, belum bisa menyamai prestasi seniornya, Li Na, sebagai petenis Asia yang menjuarai Grand Slam. Namun, dengan usia 20 tahun, Zheng telah mencapai perempat final Amerika Serikat Terbuka.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Dua belas tahun lalu, Li Na mencetak sejarah dengan menjadi petenis Asia pertama yang meraih gelar Grand Slam dengan menjuarai Perancis Terbuka. Gelar itu membuat perubahan besar bagi dunia tenis di China, termasuk untuk gadis kecil berusia sembilan tahun, Zheng Qin Wen.
Pada 2023, Zheng menambah catatan tenis putri China di level dunia meski belum setara Li Na. Dia mencapai perempat final Grand Slam Amerika Serikat Terbuka di Flushing Meadows, New York. Dia menjadi petenis China pertama yang tampil pada perempat AS Terbuka setelah Wang Qiang pada 2019.
Hasil yang didapat Zheng belum bisa menyamai Li Na. Pada perempat final di Stadion Arthur Ashe, Pusat Tenis Nasional Billie Jean King, Rabu (6/9/2023) siang waktu setempat atau Kamis dini hari waktu Indonesia, Zheng kalah dari juara Australia Terbuka yang akan menjadi petenis nomor satu dunia, Aryna Sabalenka, dengan skor 1-6, 4-6. Di semifinal, Sabalenka akan berhadapan dengan finalis AS Terbuka 2017, Madison Keys. Petenis tuan rumah itu menyingkirkan juara Wimbledon, Marketa Vondrousova, 6-1, 6-4.
Meski kalah, Zheng yang dikenal dengan julukan “Queen Wen” di antara penggemarnya bisa meninggalkan Flushing Meadows dengan kepala tegak. Dia mencapai prestasi ini dalam usia 20 tahun.
“Masih banyak celah yang bisa saya kembangkan. Pertandingan melawan Sabalenka tadi membuat saya sadar bahwa saya harus kembali ke latihan untuk bekerja keras,” tutur Zheng yang terhenti pada babak ketiga di AS Terbuka 2022.
Zheng bermain tenis karena terinspirasi Li Na yang aktif bersaing di arena tenis profesional pada 1999 hingga 2014. Momen ketika Li Na menjuarai Perancis Terbuka 2011, saat Zheng berusia sembilan tahun, adalah yang paling dalam tertanam dalam benak Zheng. Li Na menambah gelarnya dari Grand Slam di Australia Terbuka 2014.
“Saat Li Na menjuarai Perancis Terbuka dan menjadikannya sebagai petenis Asia pertama yang menjuarai Grand Slam, banyak anak di China yang terinspirasi, termasuk saya. Saya berpikir bahwa orang Asia ternyata bisa menjuarai Grand Slam,” kata Zheng.
Sebelum Li Na juara di Roland Garros, Paris, tenis bukanlah olahraga terkenal di China. Warga di sana lebih menyukai basket, tenis meja, sepak bola, dan bulu tangkis. Zheng, bahkan, bercerita bahwa orang tuanya tidak tahu tenis sebelum dia mulai bermain.
Saat Li Na menjuarai Perancis Terbuka dan menjadikannya sebagai petenis Asia pertama yang menjuarai Grand Slam, banyak anak di China yang terinspirasi, termasuk saya.
“Itu cerita nyata,” kata Zheng sambil tersenyum setelah memenangi babak keempat. “Setelah Li Na menjadi bintang dunia, tenis lebih populer di China. Apa yang dia lakukan bagai menanamkan benih di hati saya bahwa saya ingin menjadi seperti Li Na,” lanjutnya.
Untuk bisa berlatih tenis, Zheng meninggalkan kota kelahirannya, Shiyan, untuk pindah ke Wuhan. Tempat ini memiliki fasilitas untuk latihan tenis yang lebih banyak. Zheng, juga, pernah berlatih di Beijing dan diasuh mantan pelatih Li Na, Carlos Rodriguez.
Dia memiliki delapan gelar juara dari turnamen ITF yunior dalam rentang usia 14-16 tahun. Setelah lepas dari kategori yunior, Zheng tak terkalahkan dalam delapan final sirkuit ITF.
Debut pada ajang WTA dijalani pada turnamen WTA 250 Strasbourg, Perancis, pada Mei 2021 dengan hasil kalah pada babak pertama kualifikasi. Dengan posisi di kisaran 140-170 di daftar ranking dunia, Zheng belum bisa mengikuti semua turnamen WTA. Dia pun menambah poin peringkatnya dari turnamen ITF dan meraih tiga gelar.
Baru pada 2022, ketika telah menembus peringkat 120 besar, dia bisa mendapat tempat di WTA Tour dan menjalani debut Grand Slam di Australia Terbuka. Babak keempat Perancis Terbuka, babak ketiga Wimbledon dan AS Terbuka adalah beberapa hasil yang melesatkan posisinya pada peringkat dunia, dari 126 pada Januari menjadi 25 di bulan Oktober. Dia pun mendapat penghargaan dari WTA berupa petenis pendatang baru terbaik.
Posisi terbaik yang pernah ditempatinya adalah peringkat ke-19 pada 22-29 Mei 2023 berkat perempat final yang dicapai pada turnamen WTA 1000 Roma. Namun, setelah itu, posisinya turun ke urutan 20-an kembali.
Zheng bercerita, fokusnya terganggu oleh ambisinya untuk mencapai target dengan cepat. “Saya selalu berpikir tentang hasil. Terkadang, berpikir terlalu jauh ke depan seperti bagaimana jika menang, apa yang akan terjadi saat kalah. Pada akhirnya, saya tidak fokus pada permainan, pada apa yang sedang dijalankan karena saya tidak sabar,” tuturnya.
Kebiasaan itu berubah saat Zheng dilatih Wim Fisette sejak Juni tahun ini. Sosok yang pernah melatih Kim Clijsters, Victoria Azarenka, Simona Halep, dan Naomi Osaka itu mengajarkan Zheng untuk menyusun target selangkah demi selangkah. Cara itu menghasilkan gelar pertama dari WTA Tour yaitu dari WTA 250 Palermo, pada Juli.
“Mental saya menjadi lebih stabil saat bekerja sama dengan Wim. Performa saya tidak sering naik-turun seperti awal tahun ini. Secara personal, saya menjadi lebih sabar. Wim juga selalu mengingatkan bahwa saya harus percaya dengan kemampuan sendiri,” tutur Zheng dalam laman resmi WTA.
Dengan performa dan posisinya dalam peringkat dunia saat ini, Zheng menjadi tunggal putri nomor satu China. Dia memimpin lima rekan-rekannya yang berada dalam peringkat 100 besar dunia.
Fisette memuji penampilan Zheng selama bermain di New York. “Dia sangat impresif, kuat dan cepat di lapangan. Servis dan forehand-nya keras. Banyak yang bisa dikembangkan karena dia juga masih ‘mentah’,” tutur Fisette. (AP/AFP)