Jalan Panjang Membangunkan Persema Malang
Sudah satu dekade Persema Malang keluar dari persaingan kompetisi profesional Indonesia. Dengah sejarah panjang, jalan ”Bledek Biru” untuk bangun dari tidur masih kelabu.
Sejarah perkembangan sepak bola modern di Malang, Jawa Timur, dibagi dalam dua bagian yang dipisahkan dengan era sebelum dan sesudah kehadiran Arema Malang pada Galatama musim 1987. Sebelum 1987, Malang identik dengan Persema Malang yang telah eksis mengikuti Kejuaraan Nasional PSSI edisi kedua pada 1952.
Kehadiran Arema membangkitkan gairah sepak bola Malang seiring gelar juara Galatama 1992-1993. Memasuki milenium baru, Arema mengukuhkan superioritas prestasi atas saudara tuanya, Persema, dengan gelar Liga Super Indonesia 2009-2010 serta Piala Indonesia 2005 dan 2006.
Capaian itu membuat Malang sangat identik dengan Arema. Jejak Persema, misalnya mural atau stiker logo klub, tidak terlihat di ruang publik kota bersuhu sejuk itu. Meski tak bisa menandingi popularitas dan trofi Arema, Persema sejatinya telah menancapkan identitas bahwa Malang tak kalah dari wilayah lain di Indonesia yang memiliki bakat sepak bola terbaik.
Baca juga: PSMS Medan, Kepak ”Ayam Kinantan” Mendekap Keberagaman
Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, Malang sudah memiliki stadion sepak bola yang kompatibel untuk melangsungkan pertandingan nasional dan internasional. Stadion yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 diberi nama Stadion Malang. Kini, nama stadion itu adalah Stadion Gajayana.
Koran lokal berbahasa Belanda, Soerabaijasch Handelsblad, edisi 15 Desember 1933, memberitakan rencana peningkatan fasilitas Stadion Malang, meliputi penambahan tribune dan pemasangan lampu untuk aktivitas malam hari.
Stadion Malang baru diberi kesempatan menyelenggarakan laga Kejurnas PSSI pada Desember 1954. Tiga tim dari sisi timur Indonesia, yaitu Persema, Persibaja Surabaya, dan PSM Makassar, menjadi tim yang merasakan turnamen resmi perdana di Malang.
Meski demikian, Persema telah diberi kehormatan untuk menjamu tim nasional Swedia dalam laga uji coba pada Agustus 1951 di Stadion Malang. Media Nieuwe Courant menyebut, Malang dipilih karena memiliki stadion yang menampung banyak penonton dan berudara sejuk.
Baca juga: PSIS Semarang Merintis Keajaiban Ketiga
Eksistensi yang tercatat sejak awal 1950-an membuktikan, catatan pendirian Persema pada 20 Juni 1953 tidak valid. Bahkan, sebelum Kejurnas PSSI 1952, Persema sudah mengikuti turnamen sepak bola antarkota regional Jawa Timur yang diselenggarakan Persatuan Olahraga RI (PORI). Ketika itu, Persema dihabisi Persibaja Surabaya, 3-0.
Adapun Persema mengangkat trofi melalui turnamen segitiga melawan Persibaja dan Persija di Malang pada Desember 1955. Kala itu, tim berjuluk ”Bledek Biru” ini bermain imbang, 1-1, lawan Persibaja, lalu menumbangkan Persija, 3-1.
Memasuki dekade 1970-an, Persema merasakan dua gelar juara turnamen ekshibisi lain. Pertama, menjadi kampiun turnamen perayaan ulang tahun Persema ke-27, April 1970. Kedua, pada Januari 1973, mereka menjadi juara bersama Persija pada turnamen menyambut hari ulang tahun Kota Samarinda, Kalimantan Timur, di Stadion Segiri.
Timo Scheunemann, mantan Pelatih Persema, menuturkan, Malang identik sebagai penghasil pemain berkualitas sebelum RI merdeka. Hal itu ditandai kehadiran kiper asal Malang, Tan Mo Heng, pada skuad Hindia Belanda di Piala Dunia Perancis 1938.
Baca juga: Persib Bandung, Penjaga Marwah ”Bumi Pasundan”
”Setelah Indonesia merdeka, Malang melalui Persema tidak pernah kehilangan pemain berbakat. Setiap dekade pasti ada pemain tim nasional hasil didikan Persema,” kata Timo yang ditemui di Malang, 24 Juli lalu.
”DNA” pembinaan
Kecintaan ”arek” Malang yang lebih tinggi kepada Arema memang tidak lepas dari prestasi Arema. Tetapi, hal itu juga tidak lepas dari identitas Persema yang lebih menjaga ”DNA” sebagai pusat pembinaan pesepak bola belia.
Kepiawaian pembinaan Persema terbukti berkat raihan juara edisi perdana Piala Suratin 1966. Merujuk arsip Kompas, Persema Junior melibas Bogor Junior, 3-0, pada laga final di Stadion Menteng, Jakarta. Identitas itu dipertegas setelah Persema terdegradasi dari kasta tertinggi Perserikatan pada Januari 1986.
Setelah meraih tiket promosi ke Divisi Utama Perserikatan pada 1990, wajah Persema sebagai pusat pemain muda tetap dipertahankan. Ketika pemain binaan Persema siap menjadi pesepak bola profesional, dia akan membela panji Arema. Setidaknya itu terjadi mulai akhir dekade 1980-an hingga 2010-an.
Setelah Indonesia merdeka, Malang melalui Persema tidak pernah kehilangan pemain berbakat. Setiap dekade pasti ada pemain tim nasional hasil didikan Persema.
”Puncak kehebatan Persema terjadi pada 2010-an yang merupakan buah dari pembinaan yang berjalan baik dan berkesinambungan sejak 2000-an. Pemerintah (Kota Malang), Asosiasi Kota (Askot) PSSI, dan klub Persema bersama-sama menjalankan pembinaan melalui kompetisi berjenjang,” ujar Timo, yang membina salah satu akademi sepak bola di Malang pada awal 2000-an.
Ia menambahkan, ”Ketika pembinaan tidak berjalan, Persema kena imbasnya. Itu terlihat hingga saat ini.”
Ketua Umum Askot PSSI Malang Waris Susanto mengakui, pembinaan sepak bola di Malang mati suri delapan tahun terakhir. Waris, yang memimpin Askot PSSI Malang, awal 2023, bertekad untuk membangun ulang pembinaan sepak bola Malang serta menghidupkan Persema untuk tampil di Liga 3 Jawa Timur 2023.
”Kami ingin Persema menjadi wadah pemain muda Malang. Kami bertekad membangun kembali fondasi dan sistem pembinaan agar berjalan berkesinambungan,” ucapnya.
Setelah sempat membentuk perseroan, PT Singosari Sakti, sebagai pengelola Persema di era Liga Primer Indonesia pada 2010, Persema pun diserahkan kepada Askot PSSI Malang sejak Maret 2019. Alhasil, Askot PSSI Malang memiliki tugas untuk menjaga eksistensi Persema, terutama di Liga 3.
Baca juga: Strategi PSM Makassar Menyambut Abad Kedua
Selain itu, Waris menambahkan, pihaknya juga berencana mencari investor agar pengelolaan Persema bisa benar-benar profesional. ”Mimpi kami bisa membawa Persema berkiprah di Liga 2,” katanya.
Momentum
Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 mengubah pula sudut pandang sejumlah pencinta sepak bola di Malang. Sebagian masyarakat Malang ada yang menarik diri dari sepak bola akibat sikap nirempati manajemen Arema FC terhadap 135 jiwa yang meninggal dunia, tetapi tetap berpartisipasi di Liga 1.
Eko F Cahyono, pegiat sejarah sepak bola Malang, menuturkan, nihil prestasi menjadi penyebab Persema ditinggalkan ”arek” Malang. Dalam perkembangannya, mendukung Arema menjadi gaya hidup yang membuat pengelompokan di dalam pergaulan sosial di Malang.
Meski demikian, Eko menilai, Tragedi Kanjuruhan seharusnya bisa menjadi kesempatan reinkarnasi Persema untuk memanfaatkan citra negatif kepada Arema.
”Ada momentum Persema bangkit untuk membenahi citra buruk sepak bola Malang akibat (Tragedi) Kanjuruhan. Saya yakin laga Persema di Liga 3 akan menarik banyak dukungan masyarakat yang marah dan kecewa terhadap Arema yang tidak bersimpati dengan korban jiwa di Kanjuruhan,” ucap Eko.
Persema masih sempat berkiprah di Liga 3 Zona Jawa Timur pada 2021. Langkah Bledek Biru terhenti di babak 16 besar dari Persinga Ngawi. Tetapi, keikutsertaan itu sekadar memenuhi syarat agar keanggotaan klub di PSSI tidak terhapus. Kekuatan skuad Persema tidak layak untuk menembus Liga 3 Nasional.
Baca juga: Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
Agar Persema mampu melangkah ke Liga 3 Nasional dan kembali masuk jajaran kompetisi profesional Indonesia, Timo memberikan satu syarat. ”Saya berharap pengurus klub tidak pasif. Mereka harus aktif untuk sungguh-sungguh membangkitkan Persema,” kata Timo.