PSSI keliru merespons keputusan sejumlah klub untuk tak melepas pemain ke Piala AFF U-23. Ajang itu seharusnya menjadi panggung bagi pemain muda potensial yang selama ini minim menit bermain.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Kendati laga perdana tim sepak bola Indonesia di Piala AFF U-23 2023 baru dimulai pada Jumat (18/8/2023) menghadapi Malaysia, keriuhan terkait turnamen itu sudah dimulai sepekan sebelumnya. "Angin ribut" dimulai dari keengganan sejumlah klub Liga 1 Indonesia melepas pemain kuncinya untuk membela "Garuda Muda" pada ajang yang berlangsung pada 17-26 Agustus 2023 di Thailand itu. Keputusan klub itu kemudian justru disikapi dengan sangat tidak elegan oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Polemik keengganan klub melepas pemain membuat hubungan mereka dengan PSSI memburuk. Terbaru, Ketua Umum PSSI Erick Thohir secara tersirat mengultimatum klub yang menahan pemainnya untuk berpartisipasi di Piala AFF U-23. Klub-klub itu di antaranya Persija Jakarta dan PSM Makassar. Persija masih membutuhkan tenaga Rizky Ridho di Liga 1. Demikian pula PSM yang menolak melepas Dzaky Asraf.
Argumentasi klub untuk tidak melepas pemainnya ke Piala AFF U-23 lugas dan jelas bahwa turnamen ini bukan agenda resmi kalender FIFA. Dengan begitu, secara regulasi, klub-klub tidak punya kewajiban melepas pemainnya. Hak klub dalam memutuskan perlu atau tidaknya melepas pemain ke timnas dijamin dalam penafsiran regulasi ini. Klub tidak bisa disalahkan bila menahan pemain pergi ke turnamen yang bukan bagian dari kalender FIFA.
Hal yang membuat hubungan PSSI dan kedua klub ini memanas adalah kengototan Erick dalam pemanggilan Ridho dan Dzaky. Menjelang suasana peringatan kemerdekaan Indonesia, pria yang juga menjabat Menteri BUMN itu memberikan pernyataan yang bernada nasionalisme. Erick menilai pelatih asing tidak boleh meremehkan timnas Indonesia.
Selain itu, mereka seharusnya memahami kepentingan Indonesia di Piala AFF U-23. Musim ini, kedua klub tersebut memang menggunakan jasa pelatih asing, yaitu Thomas Doll (Persija) dan Bernardo Tavares (PSM).
“Nanti saya catat (klub yang tak melepas pemain). Ya, saya pikirkan dulu, kan, boleh kita pikir dulu. Mereka juga pikir-pikir bantu 'Merah Putih'. Jadi, boleh dong saya juga pikir bantu klub?” kata Erick di Lapangan A, Komplek Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Ucapan Erick itu kemudian ditafsirkan sebagai ancaman kepada klub dan ramai diperbincangkan di media sosial. Sebagian besar penggemar sepak bola Indonesia mengecam pernyataan Erick.
Vietnam memilih memberikan jam terbang internasional lebih banyak kepada pemain-pemain berusia 17 hingga 20 tahun di Piala AFF U-23.
Piala AFF U23, meski hanya selevel Asia Tenggara dan tidak masuk kalender FIFA, dirancang dengan tujuan yang mulia, yaitu sebagai ajang persiapan tim U-23 negara-negara ASEAN jelang Asian Games dan juga kualifikasi Piala Asia U-23. Dengan adanya Piala AFF U-23, tim-tim sepak bola negara ASEAN punya kesempatan untuk mematangkan skuadnya jelang pertempuran sesungguhnya di kualifikasi Piala Asia U-23 dan Asian Games.
Maka, Piala AFF U-23 penting bagi Indonesia yang akan menjalani kualifikasi Piala Asia U-23 pada 4-12 September 2023. Indonesia tergabung di Grup K bersama Taiwan dan Turkmenistan. Semua laga grup ini akan berlangsung di Indonesia. Hanya juara grup dan lima runner-up terbaik yang akan lolos ke babak utama Piala Asia U-23 2023 yang dihelat di Qatar.
Pemahaman keliru
Hanya saja, yang perlu diingat adalah Piala AFF U-23 berlangsung di saat Liga 1 sedang bergulir. Pada situasi ini, para pesepak bola, termasuk yang kerap dipanggil membela Indonesia, sedang dikondisikan untuk berada dalam puncak performa. Maka, keberatan klub dalam melepas pemain semestinya bisa dipahami.
Mengenai ini, Direktur Teknik PSSI Indra Sjafri punya pandangan lain. Ia menilai para pemain justru mendapat jam terbang berharga dengan mengikuti kejuaraan antarnegara ASEAN. “Pembinaan adalah fokus kita. Mana yang lebih bagus main antarklub di Indonesia dengan main antarnegara yang diperani oleh pemain kita? Pemain itu ketika kembali ke klub, naik,” ujar Indra.
Pernyataan Indra agak bertolak belakang dengan kenyataan. Sebab, kejuaraan antarnegara tidak selalu lebih baik dibandingkan kompetisi reguler liga, apalagi sejumlah negara ASEAN memutuskan tak mengirim pemain terbaiknya untuk mengikuti Piala AFF. Sebagai contoh, tuan rumah Thailand tidak tampil dengan kekuatan penuh lantaran tak diperkuat pemain-pemain kunci seperti Achitpol Keereerom, Airfan Doloh, dan Anan Yodsangwal.
Langkah serupa juga dilakukan Vietnam yang memilih memberikan jam terbang internasional lebih banyak kepada pemain-pemain berusia 17 hingga 20 tahun di Piala AFF U-23. Selebihnya, hanya tujuh pemain di skuad Vietnam yang berusia 20 hingga 21 tahun. Timor Leste, yang menjadi lawan Indonesia di fase grup, pun memilih tidak memanggil Paulo Gali Freitas agar sang pemain yang bersangkutan bisa fokus bersama klubnya, PSIS Semarang, di Liga 1.
Secara garis besar, setiap negara ASEAN ingin menjuarai Piala AFF U-23. Namun, mereka terbentur dengan ketentuan bahwa klub tidak wajib melepas pemain ke turnamen yang bukan agenda resmi kalender FIFA. Federasi sepak bola negara tetangga menyikapi situasi itu secara lebih bijak dengan tidak memaksakan pemanggilan pemain yang tenaganya masih dibutuhkan klub. Mereka pun memanggil pemain-pemain muda lain agar mendapatkan jam terbang internasional.
Dengan absennya pemain-pemain kunci negara-negara tetangga, tingkat persaingan di Piala AFF U-23 menjadi tidak begitu tinggi. Maka, keputusan klub untuk tidak melepas pemain menjadi tepat. Mereka justru bisa jauh lebih terasah dengan bermain di Liga 1 secara reguler dibandingkan bertarung selama dua pekan di Piala AFF U-23 yang diikuti tidak oleh kekuatan terbaik tim negara ASEAN.
Berkaca dari angin ribut persiapan Piala AFF U-23 ini, PSSI semestinya bisa lebih bijak dalam menyikapi keengganan klub melepas pemain mereka. Piala AFF U-23 tidak perlu dipaksakan bila memang kondisinya belum memungkinkan.