Strategi PSM Makassar Menyambut Abad Kedua
Catatan sejarah dan ”darah” memayungi PSM Makassar untuk menembus usia ke-100. Menuju abad kedua, PSM berambisi menjadi klub yang lebih profesional demi terhindar jatuh di lubang yang sama.
Gelar juara Liga 1 2022-2023 membawa keuntungan finansial untuk PSM Makassar. Tim berjuluk ”Juku Eja” itu mencatat sejarah sebagai klub sepak bola yang paling banyak menjual jersei asli di toko daring, Tokopedia.
Sebanyak 1.613 jersei kandang PSM musim lalu terjual. Jersei berwarna marun dengan paduan warna emas untuk logo sponsor serta nama dan nomor punggung dibanderol Rp 699.000. PSM lalu memberikan diskon 50 persen untuk merayakan trofi kedua di era Liga Indonesia. Dengan demikian, memasuki akhir musim 2022-2023, jersei itu dapat dibeli dengan harga Rp 349.500.
Jika diakumulasikan dengan 475 penjualan jersei tandang, PSM juga menjadi satu-satunya klub Liga 1 yang bisa menjual lebih dari 2.000 jersei secara daring. Jumlah itu belum termasuk pembelian langsung di toko cendera mata PSM yang berada di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, serta gerai di Stadion Gelora BJ Habibie, Parepare, pada setiap laga kandang Juku Eja.
”Merchandise masih memberikan kontribusi kecil bagi pendapatan kami. Bisnis penjualan cendera mata klub menyumbang 15 hingga 20 persen dari total pendapatan pada musim lalu,” ujar Direktur Utama PSM Makassar Sadikin Aksa saat menyaksikan laga PSM melawan Persija Jakarta di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (5/7/2023).
Baca Juga: ”Trendsetter” Itu Bernama Persebaya
Sadikin menambahkan, pendapatan terbesar PSM musim lalu berasal dari tiket pertandingan. Ia pun terkejut dengan animo besar masyarakat Parepare dan sekitarnya untuk menyaksikan langsung laga PSM. Harga tiket pertandingan kandang PSM mulai dari Rp 60.000 hingga Rp 350.000.
”Pemasukan tiket pertandingan itu melebih proyeksi saya karena tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan musim terakhir kami bermain di Makassar (Liga 1 2019). Lebih dari 40 persen pendapatan kami berasal dari penjualan tiket,” ucap Sadikin, yang pernah menjabat sebagai Manajer PSM pada musim 2003-2004.
Kota Parepare juga mendapat pemasukan retribusi sekitar Rp 1,3 miliar dari menyelenggarakan laga PSM. Pendapatan daerah itu berpeluang meningkat menjadi Rp 2 miliar jika musim ini PSM memainkan seluruh laga kandang di Parepare.
Menurut laman Transfermarkt, PSM adalah tim yang paling banyak menjual habis tiket laga kandang di Liga 1 musim 2022-2023. Pada lima dari 13 duel di Gelora BJ Habibie, tribune terisi penuh.
Stadion milik Pemerintah Kota Parepare itu hanya berkapasitas 8.000 penonton. Namun, akibat belum adanya kursi tunggal di mayoritas tribune, jumlah penonton berpeluang melebihi data resmi itu.
Baca Juga: Kreativitas Persis Solo Menyelami Kultur Pop
Pada musim lalu, rerata laga kandang PSM dihadiri 10.666 pendukung, atau 133,3 persen dari kapasitas stadion. Sejatinya, jumlah itu hanya sekitar 40 persen dari rerata jumlah penonton PSM per musim di Stadion Mattoanging, Makassar, pada era Liga 1 2017 hingga 2019.
Swakelola stadion
Kini, PSM tengah menyiapkan swakelola Gelora BJ Habibie dari Pemerintah Kota Makassar. Manajemen PSM berencana membenahi tribune stadion dengan memasang kursi tunggal serta menambah kapasitas tribune. Sadikin menargetkan, Gelora BJ Habibie bisa menampung maksimal 20.000 penonton.
Mengambil alih tanggung jawab pengelolaan Gelora BJ Habibie menjadi jalan realistis bagi manajemen PSM. Pasalnya, terlalu berat jika berinvestasi membangun stadion sendiri.
Merchandise masih memberikan kontribusi kecil bagi pendapatan kami. Bisnis penjualan cendera mata klub menyumbang 15 hingga 20 persen dari total pendapatan pada musim lalu.
Hal serupa juga dialami oleh kontestan klub Liga 1 Indonesia lainnya. Alih-alih membangun sendiri, klub lebih memilih bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengambil alih hak pengelolaan stadion tersedia. Hal ini antara lain dilakukan Bali United, Persita Tangerang, dan Persib Bandung.
Berdasarkan arsip Tabloid Bola edisi 28 Juli 2000, rencana PSM membangun stadion sendiri muncul sejak di bawah kendali Halid Bersaudara, Nurdin dan Kadir. Keduanya menggagas pembangunan stadion PSM di daerah Sudiang, Sulawesi Selatan, seusai Juku Eja menjadi juara Liga Indonesia 1999-2000.
Selain cendera mata dan tiket pertandingan, pemasukan kas PSM juga besar dari kerja sama sponsor. Sadikin memastikan, pendapatan dari sponsor menjadi pos pemasukan tertinggi Juku Eja di musim 2023-2024.
Secara umum, tambah Sadikin, kondisi keuangan PSM telah membaik setelah sempat berdarah-darah di masa pandemi Covid-19, 2020-2021. Puncaknya, PSM sempat terancam hukuman FIFA akibat menunggak gaji pemain asing, Giancarlo Rodrigues.
PSM mendapat pinjaman untuk melunasi tunggakan pembayaran hak para pemain. Kini, Juku Eja sudah memiliki kondisi keuangan yang lebih baik, terutama bebas utang gaji anggota skuad.
Bisnis kreasi pemain
Terbebas dari masalah finansial membantu Sadikin untuk mewujudkan rencana strategi bisnis klub yang sempat buyar akibat pandemi. Selain meningkatkan pemasukan dari tiga sumber uang tersebut, PSM juga serius menjadikan akademi klub sebagai sumber pendapatan melalui penjualan pemain muda.
Dengan industri sepak bola nasional yang berada di trek yang benar, Sadikin yakin bursa transfer pemain Liga 1 di masa depan akan didominasi jual beli pemain. Bukan lagi pemain pergi karena kontraknya sudah habis sehingga tidak memberikan pemasukan kepada klub.
Baca Juga: Gerilya Bisnis PSIM Yogyakarta Menembus UMR Rendah
”Kami sudah punya rencana untuk menjalankan bisnis menciptakan pemain. Istilahnya, kami menciptakan seniman atau artis yang sudah menjadi model bisnis tersendiri oleh tim-tim di Eropa, misalnya Ajax Amsterdam dan Barcelona,” kata Sadikin.
Ia menegaskan, pemain yang dilego adalah mereka yang tidak masuk skema kebutuhan tim utama. Di musim ini, PSM pun mulai menjajaki kerja sama dengan tiga tim Liga 2 yang berbasis di Pulau Jawa untuk menjalin kerja sama sister club.
Melalui kemitraan itu, PSM bisa mendistribusikan pemain muda yang tidak masuk dalam rencana Pelatih Bernardo Tavares agar mendapat pengalaman bertanding. PSM meminjamkan sekaligus masih menanggung gaji pemain itu.
Di Makassar, keinginan menjaga sejarah masih sangat lemah. Hal itu berbeda kondisinya dengan tim-tim Jawa.
Alhasil, PSM memiliki tiga departemen penghasil pundi-pundi rupiah, yaitu Departemen Operasional yang mengurusi pertandingan, lalu Departemen Pemasaran yang mengelola sponsor dan cendera mata, serta Departemen Akademi yang bertugas mengkreasi pemain terbaik.
Kantor klub
Demi menunjang strategi bisnis klub, PSM juga merencanakan untuk membangun tiga kantor. Rencana itu mulai digagas pada tahun ini.
Salah satu kantor itu akan diperuntukkan untuk museum klub. Menyediakan bangunan fisik untuk museum itu menjadi prioritas manajemen Juku Eja sebelum menginventarisasi trofi klub, seperti Liga Indonesia 1999-2000 serta Piala Ho Chi Minh (Vietnam) 2001.
”Kami memegang dua trofi, Piala Indonesia (2018-2019) dan Liga 1, sedangkan trofi lainnya masih berada di kantor Wali Kota Makassar. Mengumpulkan trofi itu akan dilakukan setelah kantor klub sudah siap digunakan. Intinya, kami ingin melestarikan sejarah PSM sebagai salah satu klub besar,” ucap Sadikin.
M Dahlan Abubakar, penulis buku Satu Abad PSM Mengukir Sejarah (2020), mengatakan, kesadaran untuk merawat sejarah PSM masih amat lemah, baik oleh manajemen maupun pendukung. Hal itu menjadi penyebab PSM belum mampu mengelola aset bersejarah untuk menjadi sumber pemasukan klub.
”Di Makassar, keinginan menjaga sejarah masih sangat lemah. Hal itu berbeda kondisinya dengan tim-tim Jawa. Saya berharap manajemen PSM bisa menyadari besarnya potensi sejarah klub,” kata Dahlan.
Irfan Mus, salah satu pendiri komunitas Memori PSM, menuturkan, barang-barang bersejarah yang bisa dipamerkan di museum klub tidak hanya trofi juara, tetapi juga jersei dan perlengkapan bertanding legenda klub.
Baca Juga: Penambahan Pendapatan Klub Dorong Peningkatan Kualitas Liga 1
”Kami sudah bertemu dengan beberapa mantan pemain sejak era Ramang hingga Liga Indonesia yang bersedia menyumbangkan kenang-kenangannya, seperti jersei, untuk museum klub. Kami pun siap membantu manajemen PSM melakukan kurasi barang-barang bersejarah itu, tetapi yang utama perlu ada komitmen dari klub untuk melestarikan sejarah klub,” tutur Irfan.
Seandainya rencana bisnis PSM bisa terlaksana baik, permasalahan yang dialami tim Juku Eja pada satu abad pertama klub, terutama kendala finansial, tidak akan terjadi lagi. Dengan pengelolaan yang mandiri, Juku Eja menempuh jalan demi menjaga tradisi sebagai ”raksasa” Indonesia hingga disegani di Asia.