Kreativitas Persis Solo Menyelami Kultur Pop
Peningkatan prestasi dan kualitas manajemen membuat Persis bisa bebas berekspresi dalam penjualan atribut klub, salah satunya jersei. Atribut itu bahkan kini menjelma fesyen dengan identitas khas Solo.
Elegan. Kata itu bisa mewakili hati ketika berselancar di tampilan Instagram Persis Store, akun ofisial barang dagangan Persis Solo. Foto para model profesional, lokal, hingga internasional, ditampilkan dalam konsep tata letak yang rapi dan “bersih”. Sekilas, seperti melihat katalog merek fesyen. Bukan klub sepak bola.
Beberapa kotak dari unggahan teranyar mereka terdapat foto estetik personil band metal asal Surakarta, Down For Life, di Stadion Manahan. Para personil, salah satunya basis bernama Ahmad “Jojo” yang begitu ikonik dengan jenggot tebal, memakai jersei warna merah tua. Warnanya lebih gelap dari merah khas Persis.
Di bagian punggung, ada tulisan “Sambernyawa” yang merupakan julukan Persis. Juga ada corak abstak yang sering muncul di sampul album band-band metal. Produk itu adalah hasil kolaborasi Persis dengan Down For Life. Mereka menggabungkan sepak bola dengan musik, seperti yang dilakukan klub Inggris West Ham United dengan band Iron Maiden.
Baca juga : Tekad Persis Solo Menuju Usia Seabad
Kolaborasi itu sangat unik, terobosan baru dan tidak biasa di Indonesia. Harga pemesanan awalnya mencapai Rp 399.000, hampir menyamai jersei replika Persis di akun resmi. Harga yang cukup tetinggi, mengingat jersei hanya untuk barang koleksi. Klub tidak akan memakainya di pertandingan Liga 1.
Apakah ada yang membelinya? Ternyata banyak. Sebanyak 500 jersei terjual habis hanya dalam 90 menit di kloter pertama pada awal Juni 2023. Melihat antusiasme tinggi, Persis membuka lagi pemesanan kloter dua. Hasilnya, 500 jersei kembali terjual habis.
“Itu bukan harga yang murah. Tetapi masih banyak yang cari sampai sekarang,” kata Media Officer Persis Bryan Barcelona.
Menurut Bryan, penjualan jersei adalah salah satu senjata andalan di lini bisnis Persis. Mereka pun menggarap bisnis itu dengan sangat serius. Bukan sekadar dipakai di pertandingan, jersei juga digunakan dalam fesyen sehari-hari. Harapannya jersei sepak bola “naik kelas” di Indonesia.
“Persis store beririsan dengan kultur pop, termasuk dengan apa yang lagi ngetren saat ini. Bukan ke sepak bola, malah lebih ke fesyen. Seperti produk kolaborasi dan koleksi. Kami ingin menciptakan ombak tren baru. Jadi, teman-teman membeli barang karena ada nilainya, sehingga ada keterikatan,” ujar Bryan.
Contoh terbaik pengaruh merek olahraga terhadap kultur pop adalah Air Jordan. Sekitar dua dekade setelah pebasket legendaris Michael Jordan pensiun, sepatu atas namanya justru semakin populer dari tahun ke tahun. Orang membeli bukan karena menggemari Jordan, tetapi sepatu itu membuat penampilan mereka tampak trendi.
Sebelum band metal, Persis sudah lebih dulu menciptakan jersei dengan percampuran kultur dalam edisi spesial Imlek. Mereka ingin menggaet pasar yang lebih luas. Terbukti, jersei tersebut ternyata lebih laris di daerah ibukota Jakarta dan sekitarnya. Bukan di Jateng yang merupakan basis terbesar penggemar mereka.
Event yang paling mudah menghadirkan ekspresi komunal adalah sepak bola. Itu memberikan tautan identitas bagi individu maupun kelompok dalam jumlah besar. Mereka menjadi sangat 'Solo’ saat berada bersama ribuan orang lainnya.
Pasar lebih luas membuat Persis lebih bisa bereksplorasi, baik dalam jenis hingga rentang harga. Seperti diketahui, mereka cukup terbatas jika hanya memaksimalkan segmen pasar di Jateng yang merupakan provinsi dengan upah minimum regional terendah se-Indonesia.
Gengsi Persis
Tiga tahun lalu, Persis belum mampu berbicara banyak di dunia jersei Tanah Air. Semua berubah berkat kepemilikan klub yang berpindah tangan di 2021. Klub dibeli oleh anak muda asli Surakarta, yaitu Kaesang Pangarep dan Kevin Nugroho. Mereka memaksa klub jadi lebih profesional.
Selain prestasi, divisi yang paling digarap serius adalah soal konten kreatif dan media sosial. Mereka berubah dari klub usang menjadi sangat melek digital. Dorongan Kaesang, yang memiliki jutaan pengikut di Instagram dan Twitter, mengakselerasi pertumbuhan medsos Persis.
Ditambah dengan keberadaan sosok profesional di bagian konten, medsos “Laskar Sambernyawa” semakin berkelas. Tanpa disadari, klub menjadi terlihat lebih “mahal” dan bergengsi. Efek domino pun terasa hingga barang dagangan mereka yang seolah naik dalam kelas sosial.
Puncaknya adalah promosi ke Liga 1 yaitu pada 2021, musim pertama Persis setelah kedatangan pemilik baru. Mereka melepas wajah buruk sebagai tim yang minim prestasi. Adapun Persis terjerembab di Liga 2 selama 14 tahun. Prestasi itu membuat dukungan ke Persis bergairah lagi.
Baca juga : Gerilya Bisnis PSIM Yogyakarta Menembus UMR Rendah
Para penggemar bisa kembali bangga menggunakan jersei pertandingan Persis. Seperti yang terekam saat sesi latihan skuad Persis di Lapangan Sriwaru, pada Kamis (6/7/2023), tampak ratusan orang menonton dari celah pagar yang membatasi jalan dan lapangan.
Banyak di antara mereka yang mengenakan jersei terbaru Persis. Salah satunya Yuri (14) yang datang langsung dari Jakarta bersama sang ayah, Joko Witanto (46). Mereka datang jauh-jauh demi menyaksikan langsung para pemain Persis. Yuri mengidolakan Persis, meskipun teman-temannya mendukung Persija Jakarta.
“Dia (Yuri) sangat senang sama Persis. Mungkin, karena asli sini (Surakarta), ikut bapaknya. Ya, pastinya sudah jauh berbeda saat ini. Kami lebih bangga karena tim ini ada di Liga 1. Makanya, saya tadi belikan dia jersei asli Persis sebelum datang. Itu langsung dipakai,” kata Joko.
Penjualan meningkat
Bryan mengatakan, penjualan jersei pertandingan meningkat di Jakarta dan sekitarnya. Mungkin, hal itu disebabkan dari para perantau yang kembali peduli dengan Persis seiring kebangkitan prestasi, seperti yang dirasakan Joko dan Yuri. Mereka mengakali pasar yang semakin lebar dengan variasi harga.
Musim ini, misalnya, jersei termahal adalah jenis player issue seharga Rp 699.000. Disusul dengan jersei replika Rp 499.000 dan versi suporter Rp 249.000. Adapun sebelum promosi, jersei player issue mereka dijual tidak sampai Rp 400.000. “Jadi, penyesuaiannya seperti itu. Termasuk untuk tetap melayani pendukung dengan pendapatan UMR,” ungkap Bryan menjelaskan.
Persis tidak akan kesulitan menjalani bisnis tersebut jika serius. Sebab, fesyen dan sepak bola punya irisan sangat besar di Kota Surakarta. Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Akhmad Ramdhon, menilai, budaya sepak bola sudah menjadi bagian dalam sejarah panjang kota.
Dukungan besar dari Kasunanan Surakarta membuat sepak bola sangat maju sejak sebelum kemerdekaan. Surakarta pun menjadi lahan subur klub-klub sepak bola. Mulai dari Persis yang lahir di 1929, sampai banyak klub pendatang baru dari daerah lain, seperti Arseto Solo dan Pelita Solo.
Dengan kuatnya unsur komunal di masyarakat, sepak bola menjadi medium paling tepat untuk berekspresi. “Event yang paling mudah menghadirkan ekspresi komunal adalah sepak bola. Klimaksnya, itu memberikan tautan identitas bagi individu maupun kelompok dalam jumlah besar. Mereka menjadi sangat 'Solo’ saat berada bersama ribuan orang lainnya,” kata Ramdhon.
Baca juga : Pijakan Mula Mencetak ”Sambernyawa Muda”
Cara paling ampuh menunjukkan identitas itu adalah dengan jersei, spanduk, atau atribut klub lain. Artinya, bisnis Persis dalam menjual berbagai atribut sebenarnya akan selaras dengan pertumbuhan klub. Potensi terbaik mereka sudah menanti pada masa depan.
Meskipun begitu, bisnis itu diharapkan tidak merusak hubungan antara klub dan penggemar.
“Seperti sebelum musim mulai, klub sempat merilis jersei pramusim. Pembelinya bisa nonton latihan gratis. Hal itu sempat diprotes penggemar, akhirnya dibatalkan. Jangan sampai bisnis membuat jarak. Padahal, kami selalu ada saat klub susah. Pernah sampai membuat dapur umum karena pemain tidak digaji,” kata Presiden Pasoepati (kelompok suporter terbesar Persis) Agos Warsoep.