Mengembalikan Trah Kesatria Lokal PSIM Yogyakarta
Sejarah kejayaan PSIM Yogyakarta selalu beririsan dengan sosok pemain lokal legendaris. "Laskar Mataram" butuh sosok serupa pada masa kini dan mendatang.
Bagi anak-anak yang bertumbuh di Kota Yogyakarta, mimpi terbesar mereka adalah bermain untuk PSIM. Dari bermain di jalanan aspal hingga lapangan rumput, mimpi yang tertanam sejak kecil itu selalu dijaga. Wajar saja saat terwujud, rasanya seperti terbang menembus langit.
Sabtu (1/7/2023) sore di Stadion Mandala Krida, PSIM menggelar latihan perdana jelang Liga 2 Indonesia. Kas Hartadi, pelatih baru PSIM yang tiba di Yogyakarta dua hari sebelumnya, langsung membuat kejutan. Dia membuka peluang uji coba bagi para pemain muda lokal untuk bergabung latihan tim senior.
Kesempatan itu sangat langka. Tidak terjadi di rezim pelatih terdahulu. Kas, yang ditugaskan membawa tim promosi, kebetulan masih mencari pemain muda berbakat. Musim ini, setiap tim Liga 2 wajib menggunakan minimal satu pemain di bawah usia 21 tahun selama 45 menit.
Baca juga : Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
Asosiasi Kota PSSI Yogyakarta memfasilitasi itu. Mereka mengajak lima pemain yang merupakan juara Pekan Olahraga Daerah 2022 bersama tim DIY. Bek tengah dengan tubuh “berisi”, Akhsin Madani (20), menjadi salah satu peserta. Dia sudah dinanti ribuan pendukung yang menanti aksi Hariono dan rekan-rekan.
Akhsin terlampau antusias, sampai menjadi gamang. Dia sempat tidak berani mengenakan jersei klub itu. Ketua Umum Askot PSSI Yogyakarta Susanto Dwi Antoro sampai harus sedikit memaksanya karena latihan sudah hampir dimulai. Dia akhirnya masuk lapangan dengan wajah tegang.
Pasti kami menuju ke arah sana (membangun akademi). Karena mau atau tidak pasti PSIM harus punya akademi, seperti syarat di Liga 1. Tujuan kami kan untuk promosi ke Liga 1. Tetapi, butuh waktu untuk fokus ke sana. (Liana Tasno)
Di akhir sesi latihan, Kas sempat mengadakan uji coba 11 melawan 11. Akhsin mendapat kesempatan bermain dengan pemain kawakan, seperti Hariono maupun Dias Angga. Dia tampak begitu sigap di lini pertahanan ketika bermain. Namun, saat keluar lapangan, dia mengaku kakinya sempat bergetar karena grogi.
“Itu tidak akan dilupakan seumur hidup. Bagi warga lokal, pasti mimpinya ingin main untuk PSIM. Meskipun tidak terpilih nanti (masuk PSIM), hal itu tetap akan diingat. Mereka pasti bangga karena ditonton teman-teman dan keluarga,” kata Antoro yang juga merupakan mantan pengurus Brajamusti, kelompok suporter terbesar PSIM.
Kesatria lokal
Kisah pahlawan lokal sudah mengiringi sejak masa-masa awal klub berdiri. Dalam periode 1934-1954, ada penyerang legendaris bernama Djawad yang besar dan mekar di “Kota Pendidikan” itu. Dia dijuluki “macan bola” saking hebatnya. Bersama ahli “menggoreng” bola itu, PSIM berada di era keemasan, yaitu dari menjadi runner-up kompetisi PSSI (1939, 1940, dan 1943) sampai juara Piala Jenderal Imamura (1943).
Kesatria terakhir yang masih menempel di ingatan warga Yogyakarta adalah Marjono, bek tengah yang dijuluki “kapten sepanjang masa PSIM”. Dia menciptakan kenangan terindah dalam sejarah PSIM di abad ke-21 dengan menjadi juara Divisi I pada 2005. Prestasi itu belum bisa diulangi lagi sampai saat ini.
Marjono menjadi saksi betapa besar pengaruh kompetisi internal rutin PSIM pada era 90-an di Stadion Kridosono, markas awal “Laskar Mataram”, julukan PSIM. Bersama Sekolah Sepak Bola Hizbul Wathon Yogyakarta, dia berkali-kali mencari peruntungan di kompetisi tersebut.
“Saat itu, banyak klub yang jadi anggota kompetisi PSIM. Kompetisi seperti bank pemain lokal. Muaranya nanti ke PSIM. Saya tiga kali ikut, baru terpilih dalam seleksi untuk tim PSIM di Piala HB. Dari situ, terbuka jalan ke tim senior. Banyak yang dari luar daerah, tetapi bukan masalah (bagi pemain lokal) selama ada kesempatan,” kata Marjono.
Baca juga : ”Politik” Bendera Suporter Sepak Bola di Yogyakarta
Di stadion bersejarah itu, setelah dua dekade lebih berlalu, justru terekam sebuah ironi. Minggu pagi, sedang ada jadwal latihan SSB Gadjah Mada (Gama) Yogyakarta. Tampak puluhan anak dari berbagai kelompok umur berlatih di tengah langit mendung dan gerimis. Mereka mengejar mimpi yang sama seperti salah satu alumni, Bagas Adi, yang mencapai level tim nasional.
Susilo Harso, pelatih SSB Gama yang merupakan mantan pemain PSIM era 80-an hingga 90-an, mengamati dari pinggir lapangan. Badannya masih tegap di usia sudah lebih dari setengah abad. Masih terbayang betapa gagahnya dia di lapangan, terutama pada masa jaya saat mengantar PSIM promosi ke Divisi Utama pada 1992.
Susilo menatap anak asuhnya seusai latihan. Matanya bagai menyiratkan dilema. Sebagai legenda hidup PSIM, dia ingin berkontribusi terhadap mantan timnya dengan menyuplai bakat-bakat terbaik di Jogja. Namun, kenyataannya, produk terbaik SSB sudah terlalu sering dilewatkan PSIM.
Baca juga : Pijakan Mula Mencetak “Sambernyawa Muda”
“Dulu, sebelum tahun 2000, ke situ (tujuannya untuk PSIM). Setelah industri jalan, tidak bisa. PSIM sekarang yang punya orang-orang Jakarta. Produk lokal kami kurang dihargai, kurang mendapat tepat. Sehingga anak-anak lebih sering keluar (daerah lain) dulu. Kalau bagus baru diambil,” ucap Susilo.
Membangun akademi
Beberapa tahun terakhir, pemain-pemain muda Yogyakarta bermuara di klub tetangga. Menurut Antoro, mereka lebih banyak “dicuri” oleh Elite Pro Academy (EPA) milik PSS Sleman. Banyak faktor penyebab, mulai dari tidak ada lagi kompetisi internal rutin hingga akademi klub.
PSIM, di Liga 2, belum punya kewajiban untuk membangun akademi. Tidak seperti tim-tim Liga 1 yang wajib memiliki tim EPA U-16, U-18, dan U-20. Karena itu, fokus klub saat ini masih tersita untuk membawa klub promosi. Pembinaan pemain pun masih dikesampingkan.
“Pasti kami menuju ke arah sana (membangun akademi). Karena mau atau tidak pasti PSIM harus punya akademi, seperti syarat di Liga 1. Tujuan kami kan untuk promosi ke Liga 1. Tetapi, butuh waktu untuk fokus ke sana,” kata Presiden Direktur PSIM Liana Tasno.
Kas membawa asa baru ke tubuh Laskar Mataram. Pelatih segudang pengalaman itu berkomitmen mendukung akademi dan memanfaatkan talenta lokal. Kesempatan uji coba Akhsin dan rekan-rekan adalah bukti awalnya. “Kami harus belajar dari (akademi) Persija. Banyak bakat di Yogya, harus dimanfaatkan. Tetapi, saya fokus ke sini dulu (Liga 2) karena suporter kan pasti mau tahunya hasil,” kata Kas.
Baca juga : ”Trendsetter” Itu Bernama Persebaya
Di industri sepak bola modern, kedaerahan memang sudah tidak relevan. Tidak harus pemain asli atau berasal dari Yogyakarta yang membela PSIM. Meskipun begitu, pemain lokal selalu bisa membawa pengaruh positif yang lebih banyak untuk klub.
Seperti kata Marjono, pemain lokal seperti dirinya punya tanggung jawab lebih. Tidak hanya ke klub, tetapi juga ke warga sekitar yang merupakan teman, tetangga, atau keluarga mereka. “Pasti daya juangnya lebih karena ingin menjaga klub ini. Apalagi, sudah tertanam di hati kami, pemain Yogyakarta belum afdol jika belum ke PSIM. Sementara pemain luar daerah datang kan untuk uang,” pungkasnya.
PSIM akan lebih tenang jika punya sistem pembinaan pemain muda yang baik. Mereka tidak perlu repot merekrut pemain lokal dari berbagai daerah, tinggal memanen bakat terbaik di kota sendiri, seperti yang sukses dilakukan Persija. Hal itu akan menghemat biaya pengeluaran klub.
Getaran kaki Akhsin di Stadion Mandala Krida merupakan wujud dari rasa cinta begitu dalam kepada PSIM. Cinta itu belum terbalas akibat jembatan pembinaan usia muda klub yang terputus. Harapannya, rasa tersebut bisa berbalas pada masa depan, demi mengembalikan warisan kisah ksatria lokal sekaligus kejayaan Laskar Mataram.