Sirkuit Kejuaraan Dunia Motokros seri Lombok dibangun berdasarkan inspirasi dari ”pump track” BMX sehingga ”track master” Greg Atkins menyebut dengan ”giant pump track”. Sirkuit ini akan menguji teknik para pebalap MXGP.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS —Desainer trek motokros kelas dunia Greg Atkins membangun sirkuit MXGP seri Lombok di Selaparang di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dengan inspirasi dari trek sepeda pump track BMX. Perancang trek asal Selandia Baru itu pun menyebut trek Selaparang dengan giant pump track yang menawarkan tantangan baru bagi para pebalap kelas dunia, seperti Romain Febvre, Jorge Prado, dan Jeremy Seewer. Karakter trek pun sesuai dengan pump track, di mana lintasan relatif sempit, jarak antar-rintangan sangat dekat sehingga para pebalap perlu menemukan ritme laju motor.
”Saya menyebut trek ini dengan giant pump track yang bisa untuk trek BMX, dan jika menguasai teknik bersepeda, Anda akan bisa melalui ini dengan baik. Dahulu, ada pebalap motokros Gautier Paulin yang pernah menjadi pebalap penuh di kejuaraan dunia BMX dan menjadi juara dunia. Dia menguasai teknik luar biasa yang tidak bisa dilakukan oleh pebalap lain, yang berasal dari dasar dia di sepeda BMX. Jadi, trek ini akan sangat cocok bagi dia karena dia bisa melakukan banyak hal yang biasa dia lakukan dengan sepeda BMX,” ungkap Atkins seusai memeriksa trek MXGP Lombok, Selasa (27/6/2023).
Karakter pump track BMX yang utama adalah lintasan bisa dilalui dengan memanfaatkan momentum laju sepeda untuk melewati rintangan yang jaraknya berdekatan. Kondisi rintangan yang rapat itu membuat para pebalap BMX jarang mengayuh dan cukup dengan memompa sepeda untuk mendapatkan momentum kecepatan. Ini berbeda dengan trek normal BMX di mana jarak rintangan berjauhan sehingga perlu kayuhan.
Konsep itu diterapkan di Sirkuit MXGP seri Lombok oleh Atkins untuk memaksimalkan kondisi lahan yang relatif sempit serta datar di bekas Bandar Udara Selaparang, Mataram. Para pebalap kelas MX2 dan MXGP akan jarang membuka gas hingga limit karena tidak ada lintasan yang panjang dan menuntut tenaga mesin yang besar seperti trek Samota di Sumbawa. Trek di Lombok ini lebih menuntut teknik berkendara tingkat tinggi untuk memanfaatkan tendangan torsi motor motokros untuk mendapatkan ritme momentum guna melewati rintangan yang berdekatan serta tikungan-tikungan yang teknikal. Balapan MXGP seri Lombok akan berlangsung pada 1-2 Juli 2023.
”Ini ada di lokasi yang datar sehingga perlu sedikit kreativitas untuk mengatur semua hal. Ini trek yang sepenuhnya berbeda dibandingkan dengan sirkuit pekan lalu di Sumbawa. Jadi, mungkin yang menang di sini pebalap berbeda dengan yang menang di Sumbawa. Ini tantangan yang berbeda, gaya berkendara yang berbeda, dan jenis tanah yang berbeda juga. Ya, membangun trek ini merupakan tantangan yang bagus, juga untuk mendapatkan pasokan material tepat waktu. Ya, itulah tantangannya, tetapi sekarang kita sudah siap untuk balapan,” ujar Atkins yang sudah lebih dari 25 tahun menjadi track master motokros.
Terkait dengan lebar lintasan, Atkins memaksimalkan lahan yang ada untuk mendapatkan lebar maksimal, dengan rata-rata 8-10 meter. ”Beberapa trek memang sempit, beberapa tidak. Rata-rata lebar trek delapan hingga 10 meter, tetapi itu bukan masalah. Sebab, dalam aturan lebar minimal 5 meter, dan saya sudah berusaha membangun lebih besar daripada yang seharusnya,” ujar Atkins diiringi tawa.
Untuk membangun trek di eks bandar udara, Atkins yang kaya pengalaman tidak menemui kendala yang berarti. Dia selalu fokus memanfaatkan material yang ada di sekitar lokasi untuk mendapatkan karakter trek kelas dunia yang sesuai dengan kelas pebalap MXGP.
”Tidak ada kendala yang berarti. Saya memulainya dari apa yang saya sebut dengan tata letak dasar karena ada beberapa tempat di mana Anda perlu memulai dari pit lane, paddock, area garis finis, dan yang lainnya akan terbentuk dengan sendirinya. Saya memulai ini dengan base layout, dengan perencanaan dasar seperti cara lama. Namun, begitu mulai membangun, muncul peluang-peluang lain dan Anda perlu melakukan perubahan,” jelas Atkins.
”Saya senang dengan material yang ada di sini dan saya juga perlu menggali tanah di bandara ini. Namun, ini bukan tanah aslinya, dan mungkin itu (pencampuran tanah) dilakukan dahulu saat membangun bandara ini. Kondisi tanahnya lepas-lepas dan ada seperti batu apung yang berasal dari gunung berapi. Namun, saya sangat puas dengan ini. Sebab, bisa menyiram banyak air dan tidak terjadi genangan serta tidak menjadi licin. Jadi, itu menjadi bonus,” pungkas Atkins yang ramah.