Teladan Kehidupan dari Nikola Jokic dan Kaki Pegunungan Rocky
Di Kota Denver, mimpi tidak pernah mati. Hanya terjaga untuk bersemi saat bertemu waktu dan sosok tepat. Seperti mimpi juara NBA yang terwujud seusai menanti dua generasi.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
DENVER, SELASA - Final NBA 2023 adalah bukti, tidak ada orang yang bisa menebak garis akhir dari sebuah mimpi. Denver Nuggets, tim dari area kaki Pegunungan Rocky, Amerika Serikat, tanpa sejarah juara, meraih trofi pertama juara Liga Basket Amerika setelah penantian 47 tahun, berkat pemain yang diprediksi gagal sejak masuk liga.
Pemain itu adalah Nikola Jokic (28). Jokic sempat dinilai tidak akan sanggup bersaing pada level NBA. Tubuh pria asal Serbia itu tidak atletis, terlalu gempal untuk rerata pemain center Amerika Serikat. Di malam draft 2014, dia pun dipilih pada peringkat ke-41 oleh Nuggets. Pemilihannya terlewat dari siaran langsung televisi karena sedang ada iklan taco.
Nuggets dan Jokic tampak bagai kombinasi kegagalan paling pas kala itu. Tim non-unggulan dengan pemain diremehkan. Namun, narasi itu berbalik sembilan tahun kemudian di markas sendiri, Ball Arena, pada Senin (12/6/2023) waktu AS atau Selasa (13/6/2023) WIB. Jokic mengantar Nuggets terbang ke puncak dunia.
Mimpi dua generasi publik Denver sejak Nuggets masuk liga pada 1976 akhirnya tercapai. Rasa sedih, senang, hingga tidak percaya bertabrakan di Ball Arena. Nuggets memastikan trofi pertama itu seusai menang atas Miami Heat dengan skor 94-89 pada gim kelima, yang sekaligus menutup seri final dengan keunggulan 4-1.
"Tidak bisa dipercaya. Para pendukung di kota ini sangat luar biasa. Sangat berarti kami bisa menyelesaikan (mimpi) kota ini setelah 47 tahun. Saya bahagia dengan semua yang terlibat dalam proses dan perjuangan tim ini," kata pemilik Nuggets, Stan Kroenke, dalam seremoni juara di Ball Arena.
Jokic, dengan rerata produksi 30,2 poin, 14 rebound, dan 7,2 assist di partai puncak, dinobatkan sebagai Most Valuable Player (MVP) Final. Dia adalah peraih MVP Final dengan urutan draft terendah sepanjang sejarah. Pendukung Nuggets berterima kasih dengan teriakan,” MVP... MVP…”
"Si Joker", julukan Jokic, sekaligus menasbihkan diri jadi pebasket terhebat di kolong langit, saat ini. Dia meraih cincin juara pertama setelah merebut dua kali MVP beruntun pada musim sebelumnya. "Perjalanan yang hebat. Urutan ke-41 bukan masalah. Ketika Anda di sini, Anda adalah pemain NBA," tutur Jokic.
Jalan derita
Dari kota dataran tinggi yang dijuluki "Mile High City" karena berada satu mil (1,6 kilometer) di atas permukaan laut itu, ada pelajaran berharga. Mimpi ternyata tidak pernah mati dan selalu siap untuk bersemi. Hanya butuh waktu dan sosok tepat, serta kegigihan dan kesabaran untuk membiarkannya tumbuh dan memetiknya.
Jokic adalah sosok manusia hebat. Di dalam lapangan, dia telah membuktikan diri sebagai pemain terbaik di NBA.
Kejayaan Nuggets berawal dari proses panjang sejak 2014. Setahun setelah mengambil Jokic, manajemen klub memilih guard Jamal Murray (26) pada draft 2015. Saat bersamaan, mereka memberikan kepercayaan kepada pelatih muda Michael Malone yang ketika itu masih berusia 44 tahun.
Jokic dan Murray menjadi fondasi Nuggets sejak saat itu. Meskipun begitu, proses mereka jauh dari mulus. Potensi Jokic sempat mentok pada tahun 2019. Dengan berat 142 kilogram, tubuhnya kurang ideal untuk bersaing di tengah evolusi permainan yang jadi lebih cepat. Para guard yang lebih lincah diuntungkan dengan permainan yang cepat itu.
Pemain setinggi 2,11 meter itu pun mengevaluasi diri. Dia menurunkan berat hingga 15 kilogram saat pandemi Covid-19. Namun, setelah bisa mendominasi dari sisi individu, Jokic justru dijuluki beberapa pengamat sebagai sekadar pemburu statistik. Dia meraih dua kali gelar MVP, tetapi timnya selalu gagal pada babak playoff.
Manajemen Nuggets tidak pernah menggubris pandangan dari luar. Mereka hanya percaya kepada Jokic. Hingga akhirnya, "Si Joker" yang justru mengevolusi lagi permainan NBA. Dia membuat posisi center kembali diperhitungkan. Jokic adalah center pertama yang menjadi MVP Final dalam satu dekade terakhir.
Jalan Murray lebih terjal. Pemain asal Kanada itu dibayangi pensiun dini seusai cedera lutut pada April 2021. Dia sempat harus absen dalam dua playoff terakhir karena pemulihan pasca-operasi. Manajemen Nuggets bisa saja menukarnya dengan pemain lain, tetapi tidak mereka lakukan. Mereka menunggu Murray pulih total agar bisa beraksi kembali.
Wajar jika Murray menangis kejer sambil jongkok seusai bel akhir laga berbunyi. Dia kemudian memeluk Kroenke, lalu berkata "Saya menghargai Anda karena mau sabar dengan saya. Anda semua bisa saja mengambil rute berbeda, tetapi justru bertahan bersama saya."
Duo dinamis Jokic–Murray pula yang menjadi misteri terbesar pertahanan lawan sepanjang playoff. Mereka menjadi pasangan pertama yang bisa memproduksi rerata minimal 25 poin, 5 rebound, dan 5 assist di dalam sejarah playoff. Semua adalah buah dari kesabaran dan kepercayaan.
Dalam perayaan juara, Jokic tampak meninggalkan trofi MVP Final miliknya. Dia lebih fokus merayakan juara dengan keluarganya. Itulah cermin asli "Si Joker". Dia representasi terbaik dari Kota Denver, yang rendah hati dan mengutamakan kebersamaan. Fokusnya hanya prestasi tim, bukan capaian individu.
Ketika memiliki megabintang dengan karakter seperti Jokic, sebuah tim dipastikan berada di tangan yang tepat. Terbukti, para pemain mengikuti teladan karakter Jokic. Nuggets menjadi tim dengan ego pribadi pemain yang minim. Tidak ada satu pun pemain yang menunjuk dirinya sendiri seusai meraih gelar juara.
"Jokic adalah sosok manusia hebat. Dia berhasil menjadi suami, ayah, anak, saudara yang hebat (di luar lapangan). Di dalam lapangan, dia telah membuktikan diri sebagai pemain terbaik di NBA. Dia adalah MVP kami. Kami mencintainya dan berterima kasih dia mengenakan seragam Nuggets," kata Malone.
Pada akhirnya, tidak hanya tercapai. Mimpi dari kaki Pegunungan Rocky itu kini berlipat ganda. Jokic, Murray, dan Malone sudah menatap gelar-gelar berikutnya, bahkan sebelum pesta juara berakhir. (AP/REUTERS)