Zlatan Ibrahimovic menyingkap sisi manusiawi bahwa dia bukanlah dewa, apalagi Tuhan, seperti pernah ia gembor-gemborkan. Ia bahkan bukan “GOAT”. Namun, sang “raksasa” dilepas AC Milan dengan hujan tangisan bak legenda.
Oleh
YULVIANUS HARJONO
·5 menit baca
MILAN, SENIN – Zlatan Ibrahimovic, bintang sepak bola AC Milan, gantung sepatu dalam usia 41 tahun. Penyerang berkarakter megalomania alias besar kepala yang berkali-kali menyatakan dirinya adalah “Tuhan” itu dilepas ke peristirahatan layaknya seorang raja dalam seremoni di Stadion San Siro, Milan, Senin (5/6/2023) dini hari waktu Indonesia.
Ibrahimovic adalah satu dari sangat sedikit pesepak bola top dunia yang mampu berkarier lama dan pensiun pada usia 41 tahun. Setidaknya hanya ada tiga nama besar, Romario (striker asal Brasil), Teddy Sheringham (striker, Inggris), dan Gianluigi Buffon (kiper, Italia), yang berkarier dan pensiun lebih lama darinya.
Pelatih AC Milan Stefano Pioli bahkan sempat menyangka pemain kebanggaannya itu bakal bermain selama-lamanya karena selalu mampu menjaga antusiasme besarnya.
Pensiun adalah hal yang sulit bagi seorang olahragawan, apalagi Ibrahimovic. Seperti yang pernah dikatakan Andre Agassi, mantan petenis nomor satu dunia, momen menyambut pensiun bak mempersiapkan kematian. Ya, mati, berpisah dari dunia yang membesarkan namanya. Tak heran, dalam seremoni pelepasan Ibrahimovic di San Siro, yaitu seusai laga Milan versus Hellas Verona, dini hari tadi, suasananya lebih mirip pemakaman.
Ribuan pendukung Milan, yang memenuhi San Siro, menitikkan air mata saat menyaksikan Ibrahimovic memasuki lapangan dengan setelan kemeja dan celana serba hitam. Para pemain Milan yang membentuk guard of honor untuk Ibra (sapaan Ibrahimovic), seperti Sandro Tonali, juga larut dalam suasana dan turut menangis.
Ibrahimovic, striker raksasa setinggi nyaris 2 meter yang pernah menyebut dirinya sebagai “manusia super”, bahkan luluh dalam emosi. Ia sampai melakukan hal langka, yaitu mengusap pipi dan air matanya berkali-kali. Di salah satu tribune stadion terpampang koreografi besar bertuliskan, “Godbye”, plesetan dari goodbye, yang menunjukkan kebesaran Ibra.
“Terlalu banyak emosi di diri saya saat ini. Pertama kali datang ke AC Milan (tahun 2011), kalian memberikan saya kebahagiaan. Kali kedua saya datang ke sini (2019), kalian memberikan saya cinta. Saya mengucapkan selamat tinggal untuk sepak bola, tetapi tidak untuk kalian,” ujar Ibra dalam sambutannya untuk fans Milan dengan memakai bahasa Italia yang fasih, dini hari tadi.
Publik Milan telah meluluhkan hati Ibrahimovic, sosok yang dikenal sangat arogan dan tidak mengenal kata loyal. Nyaris sepanjang kariernya, ia selalu gonta-ganti klub. Klub-klub besar, macam Ajax Amsterdam, Juventus, Inter Milan, Barcelona, Paris Saint-Germain, dan Manchester United, pernah disinggahinya. Baginya, dirinya lebih besar dari klub-klub itu.
Tidak heran, patung lilinnya dibuat di Perancis dan menjadi koleksi spesial Museum Grevin di Paris. Saat peresmian, ia berseloroh, patungnya itu semestinya bisa menggantikan Menara Eiffel yang tersohor. Tak hanya di Paris, sosok Ibra juga diabadikan dalam bentuk patung di Malmoe, kota asalnya di Swedia. Namun, patung itu dirusak oleh suporter klub Malmoe pada 2020 lalu. Mereka kecewa sang idola membeli saham Hammarby, klub rival Malmoe.
Dianggap pengkhianat
Rumahnya di Stockholm, Swedia, bahkan tidak luput dari kemarahan fans Malmoe, klub profesional pertama Ibra. Pintu depan rumahnya dicoreti tulisan “Yudas” alias pengkhianat. Namun, Ibra bergeming dengan segala sikap dingin dan angkuhnya. “Panggil saja saya 'Tuhan',” ujarnya seraya tersenyum dalam wawancara dengan ESPN, suatu ketika.
Dia adalah seorang pemimpin. Dia menginginkan semua orang melampaui batasan dan tak membiarkan kesalahan. Dia orang yang baik. Saya bangga berbagi kamar ganti dengannya. (Ismael Bennacer)
Bukan tanpa alasan Ibra sombong bukan kepalang. Dia memang tidak pernah masuk dalam perdebatan GOAT (greatest off all time), seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Namun, dari setiap klub yang disinggahinya, ia selalu meninggalkan jejak prestasi. Total 34 trofi dikemasnya, mulai dari trofi Liga Belanda, Liga Perancis, Liga Italia, hingga Piala Dunia Antarklub. Di level Eropa, ia juga meraih gelar juara Liga Europa, yaitu bersama Manchester United.
Ibra sempat dianggap habis ketika meninggalkan MU pada 2018 silam dalam usia 36 tahun. Lazimnya pesepak bola top, dia lantas memilih berlabuh ke Liga Amerika Serikat. Pemain top pada umumnya, seperti Frank Lampard dan Steven Gerrard, akan menghabiskan sisa kariernya di sana seiring menurunnya produkivitas. Namun, tidak demikian halnya dengan Ibra.
Alih-alih bermalas-malasan dan menatap masa prapensiun, ia masih trengginas dalam usia senja di Liga AS. Ia mencetak 53 gol dari total 58 penampilan dalam dua musim, yaitu 2018-2019, bersama Los Angeles Galaxy. Tak pelak, ia menyabet penghargaan Pendatang Baru Terbaik MLS 2018. Pemain yang juga menekuni taekwondo untuk memperkuat gerakan tubuhnya itu berkali-kali mencetak gol indah lewat salto dan voli di usia senja.
Ditanya soal rahasia merawat penampilannya, Ibra kembali berseloroh dan mempertontonkan sikap narsisnya. “Saya seperti anggur. Makin tua makin lebih baik,” ucapnya suatu ketika.
Inspiratif
Meskipun dikenal arogan, egois, dan blak-blakan, Ibra adalah sosok yang empatik dan inspiratif di kamar ganti. Pidato-pidatonya di tim saat menghadapi tekanan menjadi “mantra” pasukan muda Milan untuk meraih scudetto (gelar juara Liga Italia) pertama mereka dalam 11 tahun pada 2022 lalu.
“Dia adalah seorang pemimpin. Dia menginginkan semua orang melampaui batasan dan tak membiarkan kesalahan. Inilah rahasia sukses kami. Dia sering memberikan nasihat. Dia orang yang baik. Saya bangga berbagi kamar ganti dengannya,” ujar Ismael Bennacer, pemain Milan, dalam wawancara dengan UEFA TV.
Maka, Ibra layak disebut legenda, pemain yang mengangkat kembali harkat Milan. Setelah tim yang dicintainya itu kembali ke trek sebenarnya, Ibra bisa pergi dengan kepala tegak.
“Suatu hari, saya bangun pagi, hujan gerimis. Nampaknya, Tuhan pun menangis. Saya harus menerimanya (pensiun). Apa yang telah saya jalani terlalu indah. Saatnya mencari tujuan lain dalam hidup,” ucap Ibra, penggemar nomor punggung 11, sentimentil.