Air Mata Xhaka dan Penanda Akhir Sebuah Era di Arsenal
Pelukan hangat Xhaka dan Elneny mengisahkan perpisahan sempurna dan akhir sebuah era. Era baru yang lebih cerah sudah menanti Arsenal.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Gelandang veteran Granit Xhaka bisa saja pergi seperti pecundang dari Arsenal, sekitar tiga setengah tahun lalu. Sebagai kapten kala itu, dia mencopot dan membuang jersei di hadapan pendukung lalu mengucapkan kata makian. Seisi Stadion Emirates sontak memusuhinya.
Namun, Xhaka bukan pecundang. Dia memilih jalan lain. Sekitar tiga tahun kemudian di stadion yang sama, pada laga terakhir Arsenal musim ini, Minggu (28/5/2023), dia disambut bak pahlawan. Seluruh penonton di tribune berdiri, memberikan tepuk tangan ketika sang gelandang ditarik di paruh kedua.
Pendukung ”Si Meriam” sudah mendengar gosip, Xhaka yang tinggal menyisakan kontrak setahun lagi akan hengkang ke klub Jerman, Bayer Leverkusen, pada musim depan. Di tribune terdapat tulisan, ”Jika ini yang terakhir, selamat berpisah Granit”. Laga itu kemungkinan menjadi titik persimpangannya dengan Arsenal.
Skenario perpisahan berakhir sempurna. Arsenal menang telak atas Wolverhampton Wanderers, 5-0, dengan dua gol pembuka dari Xhaka. Pemain yang bergabung sejak 2016 itu turut menunjukkan sikap akan hengkang. Dia meneteskan air mata saat diganti, lalu melambaikan tangan ke penonton.
”Dia telah melakukan apa yang diperlukan sepanjang musim ini. Dia sungguh luar biasa untuk kami. Saya ingin berterima kasih kepadanya. Dia adalah pemain dengan cerita spesial. (Soal transfer) Adalah bagian saya untuk menentukan yang terbaik untuk klub ini,” kata manajer Arsenal Mikel Arteta.
Sepasang gol Xhaka sekaligus menandakan musim terbaiknya selama berseragam ”Merah Putih” khas Arsenal. Dia berkontribusi terhadap 14 gol di Liga Inggris (7 gol, 7 asis), jauh melampaui total sumbangannya dalam tiga musim beruntun (3 gol, 6 asis).
Perubahan peran yang diciptakan Arteta untuknya, dari gelandang jangkar menjadi gelandang oportunis di kotak penalti, menjadi faktor terbesar peningkatan itu. Namun, pengujung manis tersebut bisa terjadi berkat pilihan Xhaka bertahan di Arsenal setelah dimusuhi pendukung sendiri.
Kasus ”buang jersei” Xhaka terjadi Oktober 2019 ketika Arsenal masih dipimpin Manajer Unai Emery. Seperti diketahui, dia sudah berniat hengkang pada jendela transfer Januari 2020. Namun, Arteta yang mengambil alih pada Desember 2019 membujuknya bertahan.
Xhaka dalam wawancara dengan Players Tribune, April 2022, berkata, koper dan paspor sudah siap untuk pindah ke klub lain. ”Saya berbicara dengan Mikel. Saya melihat rencana jelas dan percaya dengan itu. Setelah itu, saya membongkar koper, lalu berkata (ke keluarga), kalian boleh tetap bersama saya atau saya akan melalui tantangan baru ini sendirian,” tuturnya.
Sisanya adalah sejarah. Musim ini tidak hanya menjadi yang terbaik untuk Xhaka, tetapi juga Arsenal, setidaknya dua dekade terakhir. Si Meriam mencatat poin terbanyak (84) di liga sejak juara liga pada 2003-2004, juga memproduksi gol terbanyak (88) dalam keikutsertaan di Liga Primer, sejak 1992.
Era baru
Perpisahan dengan Xhaka bukan hal yang diinginkan. Namun, hal itu dibutuhkan Arsenal. Lihat saja musim ini. Pemain berusia 30 tahun tersebut sudah mencapai level terbaiknya, begitu juga dengan skuad muda Si Meriam. Sayangnya, mereka hanya finis di peringkat kedua. Gelar juara yang sudah di depan mata sirna direbut Manchester City.
Xhaka, yang tampil 36 kali sebagai pemain inti dari total 38 pertandingan liga, adalah poros utama Arsenal. Ketika dia bermain hebat, rekan-rekannya mengikuti. Begitu pun sebaliknya. Hanya saja, level pemain yang dibeli seharga 35 juta euro itu sudah mencapai batas tertingginya.
Sulit melihatnya berkembang lebih jauh pada usia saat ini dengan melihat grafik dalam lima tahun terakhir. Pada akhirnya, Si Meriam akan terjebak di level yang sama jika hanya mengandalkannya. Adapun tantangan lebih besar sudah menanti karena mereka akan tampil di Liga Champions.
Di Stadion King Power, markas Leicester City, aroma perpisahan juga tercium dari pendukung tandang West Ham United ke gelandang andalannya Declan Rice. Menurut jurnalis spesialis transfer Fabrizio Romano, Rice berpeluang besar pindah ke Arsenal pada musim panas nanti.
Dia telah melakukan apa yang diperlukan sepanjang musim ini. Dia sungguh luar biasa untuk kami. Saya ingin berterima kasih kepadanya.
Jika bisa mendatangkan gelandang tim nasional Inggris itu, Arsenal hampir pasti akan naik kelas. Rice adalah pemain lengkap yang bisa mengisi peran Xhaka. Menariknya, ruang perkembangannya masih sangat luas. Dia baru berusia 24 tahun dan terus menunjukkan progres signfikan setiap musim.
”Ini adalah grup dengan pemain, staf, dan pendukung yang hebat. Kami yakin bisa menggapai mimpi bersama. Kami mencapai rekor ketiga terbaik (poin terbanyak) dalam sejarah klub, tetapi masih belum cukup untuk juara. Kami tahu kualitas yang dihadapi dan kami harus mencari sesuatu untuk lebih baik,” kata Arteta.
Tanpa Xhaka, tidak ada lagi pemain utama Arsenal yang tersisa dari peninggalan manajer legendaris Arsene Wenger (1996-2018). Hanya gelandang Mohamed Elneny satu-satunya pemain yang tersisa. Itu pun berstatus pemain pelapis ketiga.
Xhaka berlari ke bangku cadangan setelah mencetak gol kedua. Dia mencari Elneny yang turut menonton di bangku cadangan. Lalu, mereka saling berpelukan. Pelukan itu merupakan penanda akhir sebuah era di Arsenal. Sekarang, era itu dipimpin oleh Arteta bersama para pasukan muda.
Manajer-manajer sukses di Inggris, seperti Josep Guardiola (City) dan Juergen Klopp (Liverpool), baru bisa berbicara banyak ketika menggunakan pemain yang diinginkan mereka. Jalan itulah yang menanti Arteta sepeninggal Xhaka.
Kata-kata bijak ”Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan” benar adanya. Beruntung, perpisahan itu bisa membawa Xhaka dan Arsenal ke arah lebih cerah. Xhaka dengan kisah penebusannya serta Arsenal bersama asa era baru dan mimpi besar pada masa depan. (AP/REUTERS)