Kegagalan timnas basket Indonesia mempertahankan medali emas SEA Games di Kamboja bisa dimaklumi. Akan tetapi, kegagalan itu tetap harus dikritisi agar menjadi remedi di kemudian hari.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Hanya dalam setahun berselang, tim nasional bola basket putra Indonesia merasakan indah langit tertinggi dan senyap palung terdalam. Setelah meraih emas SEA Games pertama dalam sejarah di Vietnam, tahun lalu, mereka gagal pulang dengan medali apa pun dari Kamboja, tahun ini.
Kejatuhan prestasi itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, sudah bisa tercium sejak awal. Meskipun datang dengan pelatih sama, Milos Pejic, timnas tidak membawa skuad terbaik. Sebanyak enam pemain atau separuh skuad berbeda ketimbang saat tampil di Vietnam.
Empat pemain di antaranya berperan sangat besar. Guard Abraham Damar Grahita, forward Derrick Michael Xzavierro, dan center naturalisasi Marques Bolden, adalah bagian dari skuad inti pada tahun lalu. Sementara guard Agassi Goantara berperan sebagai opsi utama dari bangku cadangan.
Skuad itu sangat menyatu. Mayoritas pemain sudah berlatih bersama selama tiga tahun lebih. Adapun tim di Kamboja jauh dari standar itu, baik dari sisi kualitas hingga kekompakan. Indonesia memang memanggil dua pemain naturalisasi, Lester Prosper dan Anthony Beane Jr.
Namun, tim asuhan Pejic bagai kepingan “puzzle” dengan gambar berbeda yang terpaksa disatukan. Prosper kembali bergabung setelah posisinya sempat digantikan Bolden dalam 2 tahun terakhir, sementara Beane baru menjalani debut bersama tim di SEA Games.
Perbedaan sosok dan gaya main para naturalisasi membuat adaptasi sistem permainan di lapangan berjalan kurang mulus. Akibat tidak ada kohesi, timnas tidak pernah bermain konsisten dalam satu pertandingan penuh di Kamboja. Mereka nyaris kalah dari Vietnam dan Thailand di babak grup akibat lambat panas.
Inkonsistensi harus dibayar mahal di semifinal, versus Filipina. Mereka bermain solid selama 36 menit, sempat unggul 74-70 saat waktu tersisa empat menit. Namun, setelah itu, mereka kehilangan momentum dan kalah 76-84. Di Vietnam, Indonesia mampu mengalahkan Filipina karena bermain konsisten 40 menit.
Kejatuhan timnas basket Indonesia tidak bisa dihindari. Inkonsistensi mereka sudah nampak sejak babak grup. Laga semifinal hanyalah seperti puncak gunung emas. Seperti kata guard veteran Andakara Prastawa jauh sebelum berangkat, tugas terberat mereka bukan mengalahkan Filipina, tetapi menyatukan seisi tim.
Kejatuhan di Kamboja pun memperjelas kondisi bahwa basket Indonesia ternyata masih tertinggal jauh dari Filipina. Semestinya, hal itu dijadikan cermin oleh Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) untuk fokus dengan program jangka panjang.
Satu-satunya yang bisa dikritik dari Prastawa dan rekan-rekan mungkin hanya penampilan minim daya juang dalam perebutan perunggu versus Thailand. Mereka bagai sudah menyerah sebelum laga dimulai karena masih terbelenggu kekecewaan partai semifinal.
Cermin jomplang
Di sisi seberang, Filipina mengembalikan takhta "raja" Asia Tenggara. Padahal, peraih emas 14 kali dari 15 edisi terakhir itu juga memiliki masalah nyaris sama dengan Indonesia. Mereka tidak bisa mengirim skuad terbaik. Tidak ada satu pemain pun yang sama dibandingkan dengan di Vietnam.
Skuad Filipina tampak mewah saat seleksi skuad masih menyisakan 26 nama. Namun, banyak nama besar tidak bisa berangkat akibat cedera dan harus fokus ke Piala Dunia FIBA, antara lain June Mar Fajardo yang merupakan enam kali peraih gelar pemain terbaik Liga Filipina (MVP PBA).
Meskipun begitu, skuad mereka tetap solid. Pemain naturalisasi baru, Justin Brownlee, menjadi tulang punggung tim. Di bangku cadangan, ada pemain Universitas Adamson, yaitu Jerom Lastimosa (24) yang mendapat menit bermain cukup banyak.
Kehadiran Lastimosa dalam skuad berjuluk “Gilas” itu sangat menarik. Dia bisa tetap kompetitif bersaing di level Asia Tenggara, walaupun hanya berkompetisi di liga universitas. Hal itu sekaligus memperlihatkan luasnya "kolam" talenta pemain dan mumpuninya kualitas kompetisi yang dimiliki Filipina.
Menurut Pejic, itulah pembeda antara Indonesia dan Filipina. Indonesia hanya punya 15-20 nama yang sudah siap masuk timnas, sementara Filipina punya 50 nama lebih yang bisa dipanggil kapan saja. Indonesia pun harus berada dalam kondisi sempurna untuk berjaya di SEA Games.
Raihan emas timnas di Vietnam adalah kombinasi dari banyak hal. Mulai dari komposisi skuad terbaik, persiapan matang selama beberapa tahun terakhir, hingga banyak keberuntungan. Abraham saja berkata, mungkin timnnya saat itu telah menghabiskan keberuntungan 100 tahun untuk emas itu.
Kejatuhan di Kamboja pun memperjelas kondisi bahwa basket Indonesia ternyata masih tertinggal jauh dari Filipina. Semestinya, hal itu dijadikan cermin oleh Pengurus Pusat Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (PP Perbasi) untuk fokus dengan program jangka panjang pembinaan yang bisa berujung memperluas kolam pemain.
Selama ini, PP Perbasi lebih fokus membangun timnas. Berbagai cara dilakukan, dari naturalisasi, kamp ke luar negeri, hingga membentuk timnas muda Indonesia Patriots. Hal itu bagus untuk memperkuat timnas, tetapi skalanya sangat kecil dan bersifat instan. Tidak berdampak menyeluruh.
Adapun negara seperti Filipina lebih fokus ke pembinaan dan kompetisi berjenjang daripada memoles timnas. Tujuannya, mereka tinggal memetik hasil pembinaan itu untuk membentuk timnas. Pada saat bersamaan, industri mereka juga bisa berjalan lancar. Fondasi mereka sangat kokoh.
Pekerjaan rumah
Sementara program pembinaan di luar timnas, yang semestinya menjadi fondasi utama, belum banyak disentuh. Banyak pekerjaan rumah yang menanti, yaitu mulai dari menjalankan kompetisi kelompok umur berjenjang, menggelar liga usia muda di bawah level IBL, hingga perluasan kompetensi wasit dan pelatih.
Perbaikan wajib dilakukan karena tim-tim Asia Tenggara semakin maju. Jika tidak, bukan tidak mungkin emas di Vietnam adalah yang pertama dan terakhir untuk tim basket putra Indonesia.