Gulat bukan ”smackdown” yang sengaja memamerkan aksi brutal. Gulat itu pertarungan fisik paling murni yang elegan, seperti diperlihatkan di SEA Games Kamboja.
Oleh
Kelvin Hianusa dari Phnom Penh, Kamboja
·4 menit baca
Ketika mendengar kata gulat, yang terngiang adalah smackdown, acara olahraga hiburan yang menggabungkan unsur brutal dan penuh akan gimik. Nyatanya, cabang olahraga gulat jauh dari gestur-gestur tidak manusiawi tersebut.
Gulat adalah olahraga tertua sekaligus paling eksis. Olahraga bela diri itu sudah menjadi primadona sejak zaman Yunani dan Romawi kuno hingga tidak pernah absen dalam perhelatan Olimpiade modern. Dulu kala, para pegulat bertarung tanpa dibatasi waktu. Bisa satu jam, satu hari, sampai salah satu tidak bisa melanjutkan pertandingan lagi.
Maka itu, para pegulat dianggap sebagai simbol manusia terkuat yang menurunkan kekuatan dewa. Gulat melambangkan arti paling hakiki dari olahraga. Dua orang berduel tanpa senjata, hanya mengandalkan adalah kekuatan fisik dan otak untuk saling membanting.
Gulat berkembang mengiringi peradaban manusia. Tidak ada lagi pertandingan lebih dari satu hari. Seperti di SEA Games Kamboja, duel hanya berlangsung enam menit yang terbagi dalam dua ronde. Pegulat dinyatakan menang jika unggul saat waktu berakhir atau menang mutlak jika bisa unggul dengan selisih 8-0.
Pegulat Indonesia, Mutiara Ayuningtias (25), mengatakan, awalnya dia tidak tertarik ketika dikenalkan dengan gulat pada saat masih duduk di bangku SMP. Dia lebih memilih cabang permainan seperti voli. Namun, setelah mulai berlatih, gulat ternyata elegan, jauh dari kesan menyeramkan.
”Kelihatannya memang menyeramkan, tetapi kami kan berlatih teknik cara jatuh. Jadi, tidak sakit. Kami dibekali teknik cara bertahan. Jadi, harus beradu fisik, tetapi juga berpikir strategi menyerang dan bertahan,” kata Mutiara setelah meraih emas SEA kelas 53 kilogram gaya bebas di Chroy Changvar International Convention and Exhibition Center, Phnom Penh, Senin (15/5/2023).
Pertarungan fisik dan strategi beradu di matras berdiameter 7 meter. Mereka melakukan berbagai intrik untuk menciptakan bantingan (4 poin), berada di posisi dominan (2 poin), atau mendorong lawan keluar garis (1 poin). Semua itu terlihat mudah, tetapi tidak kenyataannya.
Duel sangat kompleks karena dua pegulat memiliki berat dan postur yang nyaris sama. Mereka harus menciptakan momentum untuk bisa berada dalam posisi pas untuk melakukan bantingan atau kuncian. Sering kali, mereka hanya saling bersandar dengan kedua tangan saling mencengkeram karena terlalu seimbang.
Seperti singa
Pegulat bisa diibaratkan seperti seekor singa yang sedang berburu. Mereka mengincar punggung lawan untuk menjatuhkan lawan dari belakang. Namun, perlu kecerdikan dan kelincahan luar biasa untuk bisa berada di posisi itu. Stamina juga harus prima. Pegal-pegal di area tangan dan kaki akibat penumpukan asam laktat selalu mengintai.
Menurut pelatih tim gulat Indonesia, Suryadi Gunawan, daya tahan adalah kunci utama. ”VO2Max kalau bisa seperti pesepak bola. Meskipun ini hanya diameter 7 meter, tetapi capeknya luar biasa. Kalau capek konsentrasi pasti menurun, tidak bisa mikir lagi. Susah menang kalau begitu,” kata pegulat yang pernah tampil di Olimpiade Seoul 1988 itu.
Tidak hanya itu, gulat juga lebih menarik karena terdapat dua gaya, yaitu gaya Yunani Romawi (greco roman) dan gaya bebas. Gaya Yunani Romawi diadaptasi dari gulat kuno. Bagian yang boleh dipakai untuk membanting hanya tubuh bagian atas. Artinya, kekuatan panggul sampai lengan akan menentukan.
Gaya bebas lebih fleksibel. Gaya itu diciptakan untuk membuat gulat lebih menghibur. Kaki boleh digunakan untuk menjegal lawan. Dengan keterlibatan kaki, kelincahan pun menjadi faktor yang wajib dimiliki para pegulat masa modern. Tidak hanya soal kuat.
Jelas, gulat bukan hanya sekadar olahraga adu fisik. Cabang tertua ini sebenarnya sudah seperti catur. Bedanya, bidak-bidak catur itu diperankan oleh bagian tubuh. Pikiran tetap menjadi poros untuk memenangkan pertarungan, memanfaatkan perbedaan setipis mungkin dari kelas berat yang sama.
Elegan. Itulah mengapa pegulat veteran Indonesia, M Aliansyah (31), dilarang berpindah ke cabang bela diri campuran (mixed martial art) oleh sang istri. ”Sempat saya dapat tawaran. Tetapi kata istri, tidak usah pulang kalau pindah. Kalau main gulat, mau ke ujung dunia pun silakan. Mungkin dia takut saya fight, takut kenapa-kenapa,” tuturnya.