Perubahan yang dibawa ten Hag ke MU patut mendapatkan apresiasi. Potensi besarnya menarik untuk dinanti, tanpa keterbatasan pada musim ini.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, SENIN – Lolos ke dua final kompetisi domestik dan berada di empat besar Liga Inggris adalah skema terbaik untuk manajer Manchester United Erik ten Hag, pada musim debutnya. Prestasi itu belum ideal bagi tim sebesar MU, tetapi proyek percontohan ten Hag cukup untuk menjamin masa depan cerah “Setan Merah”.
MU menyusul Manchester City ke final Piala FA setelah menang adu penalti atas Brighton and Hove Albion 7-6 di Stadion Wembley, Minggu (23/4/2023). Dengan skuad pas-pasan akibat badai cedera, mereka menggapai final kedua setelah menjuarai Piala Liga Inggris lebih dulu.
Sepanjang sejarah klub, menurut Opta, MU baru dua kali mencapai final Piala Liga dan Piala FA pada musim yang sama (1982-1983 dan 1993-1994). Sebelumnya, prestasi itu didatangkan oleh manajer berkarakter juara seperti yang terakhir adalah Sir Alex Ferguson pada 1993-1994.
Ten Hag, menariknya, bisa menciptakan sejarah baru. Dia akan menjadi manajer MU pertama yang juara bersamaan di dua kompetisi itu, jika menang atas City di Stadion Wembley, 3 Juni mendatang. Pencapaiannya akan sempurna andai “Setan Merah” mampu mempertahankan posisi empat besar Liga Inggris pada akhir musim.
Alan Shearer, penyerang legendaris Liga Inggris, berkata, ten Hag sangat pantas diapresiasi karena mampu mengembalikan MU ke jalur tepat pada musim pertamanya di tanah Inggris. “Terlepas MU juara (Piala FA) atau tidak, itu tetap akan jadi musim fantastis untuk mereka. Mereka sudah mencapai semua tujuan,” ujarnya.
Sebagai konteks, MU masih bersaing dalam perburuan quadruple atau 4 gelar pada Februari. Namun, mereka terseok-seok karena dihinggapi badai cedera dan kelelahan pemain. Skuad mereka tidak terlalu dalam. Kondisi skuad jauh dari ideal karena ten Hag baru melewati dua jendela transfer.
Meskipun begitu, kendala berhasil diredam berkat tradisi baru pada era ten Hag, yaitu mentalitas pemenang. Mentalitas itu yang menyala terang saat mereka menang dalam semifinal Piala FA, kemarin. “Setan Merah” bisa melewati ketakutan terbesar mereka dalam adu penalti.
MU tidak pernah menang dalam drama adu tos-tosan sepanjang sejarah Piala FA sebelum bertemu Brighton (3 kalah). Adapun mereka hanya menang sekali adu penalti dalam 8 kesempatan sejak musim 2008-2009. Teranyar, mereka disingkirkan Middlesbrough pada babak keempat Piala FA musim lalu.
Saya sangat kagum dengannya (De Gea). Tadi, dia membuat penyelamatan brilian.
Peruntungan tersebut berbalik di Stadion Wembley. Tujuh atau semua penendang MU menaklukkan kiper Brighton yang merupakan pemain tim nasional Spanyol Robert Sanchez. Termasuk bek Victor Lindelof yang menjadi eksekutor penentu kemenangan. Semua pemain tampak tenang.
Di bawah asuhan ten Hag, skuad MU juga tidak gampang terpuruk seperti musim terdahulu. Mereka selalu bangkit setelah hasil buruk. Adapun semifinal Piala FA berlangsung hanya dua hari setelah David De Gea dan rekan-rekan ditaklukkan Sevilla 0-3 dalam perempat final Liga Europa.
De Gea adalah pendosa terbesar dalam tersingkirnya MU di Liga Europa. Hujan gol Sevilla datang akibat blunder sang kiper. Namun, dia langsung bangkit dengan menciptakan beberapa penyelamatan heroik dari ancaman para pemain Brighton. Berkatnya, laga bisa bertahan hingga 120 menit, sampai adu penalti.
“Saya sangat kagum dengannya (De Gea). Tadi, dia membuat penyelamatan brilian. Sangat menyakitkan ketika dia membuat kesalahan (versus Sevilla). Tidak hanya dia, semua pemain juga bermain lebih baik hari ini. Mereka berjuang dalam setiap duel dan lebih tenang,” kata ten Hag yang tiga kali juara Liga Belanda bersama Ajax Amsterdam.
Reaksi cepat skuad MU sudah terlihat sebelumnya. Mereka sempat terpukul akibat kekalahan terbesar dalam sejarah pertemuan dengan Liverpool 0-7, pada Maret lalu. Hanya empat hari setelah itu, mereka bangkit dengan kemenangan 4-1 atas Real Betis di 16 besar Liga Europa.
Ten Hag juga terlihat membawa prinsip dasar pada proyek percontohannya di MU. Tidak ada yang lebih penting dari kemenangan. Dia sempat mengakui belajar banyak kepada manajer berfilosofi permainan terbuka seperti Josep Guardiola. Namun, kemenangan menjadi prioritas ketimbang gaya main, seperti tradisi yang diciptakan Ferguson.
“Setan Merah” terbukti tidak memaksa untuk mendominasi penguasaan bola dan tampil dengan garis pertahanan tinggi versus Brighton. Ten Hag sadar, mereka tampil tanpa dua bek utama Raphael Varane dan Lisandro Martinez. Saat bersamaan, Brighton di bawah manajer Roberto De Zerbi selalu mengambil inisiatif penguasaan.
MU lebih banyak bertahan dengan blok medium, sambil menunggu kesempatan serangan balik. Adapun mereka hanya mencatat penguasaan bola 39,1 persen. Skema pragmatis serupa digunakan ten Hag saat menaklukkan Newcastle United di final Piala Liga.
Bagi tim dengan nama terbesar di Inggris, prestasi dalam kompetisi domestik seperti Piala FA dan Piala Liga memang belum cukup. Namun, yang terpenting, MU terlihat berjalan ke arah tepat di genggaman ten Hag. Tidak seperti masa penuh ketidakpastian setelah Ferguson pensiun, sejak 2013.
Adapun ten Hag berhasil menyudahi paceklik trofi MU selama 5 musim terakhir. “Kami berada dalam jalur tepat. Satu trofi, final lain, dan bertarung untuk empat besar. Itu tidak cukup, tetapi merupakan sebuah langkah besar jika dibandingkan musim lalu,” jelas De Gea. (AP/REUTERS)