Penolakan Terhadap Israel Bayangi Penyelenggaraan World Beach Games 2023
Usai batal menyelenggarakan Piala Dunia U-20, World Beach Games 2023 di Bali, 5-12 Agustus mendatang juga berisiko dibatalkan. Penolakan terhadap kontingen Israel dapat kembali menjadi batu sandungan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyelenggaraan ANOC World Beach Games 2023 di Bali, 5-12 Agustus menjadi pertaruhan eksistensi olahraga Indonesia di level internasional. Jika batal menggelar ajang itu karena isu penolakan kehadiran kontingen Israel, seperti jelang Piala Dunia FIFA U-20 2023, Indonesia bisa terkena sanksi berat berupa pengucilan untuk ikut dan jadi tuan rumah ajang-ajang internasional. Sebaliknya, bila berhasil menggelarnya, Indonesia dapat merebut kembali kepercayaan dunia yang sempat luntur usai Indonesia dicoret sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
”Dengan 14 cabang olahraga yang dipertandingkan, World Beach Games bisa menjadi momentum besar untuk menunjukkan kedewasaan kita dalam menyelenggarakan ajang besar internasional. Sebaliknya, kalau salah langkah, kita akan menerima konsekuensi yang tidak mudah karena terlalu besar dampaknya. Semoga kita bisa memilih jalan yang tepat agar tidak mengubur mimpi-mimpi kita, terutama untuk menjadi tuan rumah Olimpiade,” ujar Raja Sapta Oktohari, Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) usai konferensi pers di Jakarta, Kamis (6/4/2023).
KOI menyelenggarakan konferensi pers secara mendadak untuk mengklarifikasi sejumlah isu jelang World Beach Games edisi kedua tersebut. Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Rabu (5/4), Gubernur Bali I Wayan Koster menolak kehadiran kontingen Israel yang akan berpartisipasi di World Beach Games.
Menurut Koster, penolakan itu berdasarkan amanat konstitusi negara dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Dalam Permenlu itu disebutkan, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Diterangkan pula, larangan pengibaran atau penggunaan bendera, lambang, atribut lainnya, dan pengumandangan lagu kebangsaan Israel di Indonesia.
Itu bukan kali pertama Koster menolak kehadiran Israel di Bali. Sebelumnya, menurut laporan Kompas.tv, Selasa (21/3), Koster bersurat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga per 14 Maret perihal menolak timnas Israel bertanding dalam perhelatan Piala Dunia U-20 2023 di Bali selaku salah satu kandidat lokasi tuan rumah. Selain tidak ada hubungan diplomatik, dia menilai kebijakan politik Israel terhadap Palestina tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia.
Kemudian, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut menolak Israel bermain di Solo, Jawa Tengah yang juga salah satu kandidat lokasi tuan rumah. Pernyataan dua gubernur itu memicu polemik di masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra. Namun, isu itu terlanjur mengemukan ke luar negeri dan dinilai sebagai salah satu alasan FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 per 29 Maret.
”Saya berbicara bukan atas nama pribadi ataupun KOI, melainkan 67 cabang olahraga anggota KOI yang berinteraksi dengan kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia. Kita semua ingin mimpi-mimpi olahraga Indonesia bisa tetap terjaga. Apalagi posisi kita sangat kuat usai sukses menyelenggarakan Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Namun, sekarang, kita berduka karena batal menggelar Piala Dunia U-20. Kita berharap kegagalan itu tidak terulang. Maka itu, kami berharap semua pihak menahan diri untuk menghentikan kegaduhan yang terjadi,” kata Okto dalam konferensi pers.
Jalin komunikasi
Okto mengatakan, begitu mendengar isu terbaru dari Bali, dirinya langsung berusaha menjalin komunikasi langsung dengan Koster. Sayangnya, hingga kini, upayanya menelepon belum tersambung. Akan tetapi, dia akan coba terus menjalin komunikasi. ”Yang jelas, saya sangat respek dengan I Wayan Koster karena dia senior saya dan dia orang baik. Kita akan terus cari solusi agar menemukan titik temu. Kami tidak mau ada yang dikorbankan karena semangat olahraga adalah semangat persatuan,” tuturnya.
Dengan 14 cabang olahraga yang dipertandingkan, World Beach Games bisa menjadi momentum besar untuk menunjukkan kedewasaan kita dalam menyelenggarakan ajang besar internasional.
Adapun keberadaan World Beach Games di Bali ataupun Indonesia sangat penting untuk dipertahankan. Sebab, ajang yang pertama kali dilaksanakan di Doha, Qatar pada 2019 itu adalah ajang terbesar ketiga dunia setelah Olimpiade musim panas dan Olimpiade musim dingin. World Beach Games diikuti sedikitnya oleh 1.600 atlet dari 130 negara sehabis proses kualifikasi.
Di sisi lain, usai gelaran itu, Bali akan menjadi lokasi Rapat Umum (General Assembly) ANOC atau Asosiasi Komite Olimpiade Nasional Dunia. Setidaknya, ada 205 negara anggota ANOC, ada perwakilan Komite Olimpiade Internasional (IOC), Dewan Olimpiade Asia (OCA), Badan Anti Doping Dunia (WADA), dan beberapa federasi olahraga internasional yang sudah mengonfirmasi bakal hadir dalam rapat tersebut.
Artinya, World Beach Games punya peran besar dalam percaturan olahraga internasional. Untuk itu, KOI dan segenap pihak terkait berusaha agar ajang itu tetap dihelat sesuai rencana. ”Sejauh ini, belum ada komunikasi formal maupun pembatalan formal yang kami terima dari Pemerintah ataupun Gubernur Bali. Itu menandakan masih ada peluang membangun komunikasi dengan mereka. Kami akan berupaya mencari jalan keluar terbaik untuk Indonesia,” ucap Okto.
Sampai saat ini, lanjut Okto, semua pihak yang bertugas tetap melakukan pekerjaannya masing-masing untuk menyiapkan World Beach Games di Bali. Mereka terdiri dari pekerja administrasi, teknis, dan komunikasi. ”World Beach Games mempertandingkan 14 cabang olahraga sehingga ada kaitannya dengan 14 federasi internasional, 14 aturan, dan ditambah aturan ANOC serta IOC. Semua itu memiliki konsekusinya. Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi korban. Negara ini terlalu besar untuk dikucilkan, jangan kita dikerdilkan oleh situasi ini,” tegas Okto.
Kendati dihantam isu-isu tidak sedap, Okto mengatakan, Indonesia justru mendapatkan banyak simpati dari komunikasi olahraga internasional. Setelah batal menyelenggarakan Piala Dunia U-20, KOI mendapatkan respon dari negara-negara sahabat yang semuanya dalam bentuk dukungan tidak langsung maupun langsung.
Bahkan, ANOC ikut membantu Indonesia mencari solusi agar kepentingan Merah-Putih dan pihak-pihak lainnya tidak terganggu. ”Terlepas dari itu, kita pun harus menjaga harga diri kita. Jangan membuat Indonesia terlihat kekanak-kanakan dan cengeng. Tunjukkan kedewasan kita dengan menyelesaikan masalah ini dengan membangun komunikasi dan diplomasi secara internal maupun eksternal,” ujar Okto.
Di samping itu, tambah Okto, pihaknya bersyukur Menteri Pemuda dan Olahraga yang baru, Dito Ariotedjo menunjukkan semangat Olimpiade (Oympic Movement) yang kuat, yakni menjunjung olahraga sebagai alat perdamaian. Lagi pula, Indonesia telah menyepakati isi Piagam Olimpiade (Olympic Charter) yang isi utama kandungannya menjadikan olahraga sebagai bahasa persatuan tanpa diskriminasi.
”Indonesia tidak bisa berjalan sendiri karena kita bagian dari tatanan olahraga dunia. Kalau melanggar, kita akan terkena sanksi seperti yang kita terima dari WADA lalu. Belum lagi, World Beach Games punya preseden lebih buruk dibanding yang diberikan FIFA. World Beach Games melibatkan banyak cabang olahraga. Sedangkan, FIFA hanya satu institusi olahraga. Makanya, jadikan World Beach Games sebagai kesempatan untuk menyakinkan dunia bahwa Indonesia pantas menjadi tuan rumah ajang internasional, single maupun multi event,” terang Okto.
Usai Serah Terima Jabatan di Kantor Kemenpora, Jakarta, Selasa (4/4), Dito menuturkan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, dia tidak ingin politik dan olahraga dicampuradukkan. Semua pihak harus berkaca dari pengalaman Indonesia dicoret sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Untuk menghindari peristiwa itu berulang, dirinya bakal mengedepankan komunikasi dan kolaborasi antar semua pemangku kepentingan guna mencari titik temu. ”Demikian untuk memastikan World Beach Games bisa tetap diselenggarakan di Indonesia, saya akan merangkul semua pemangku kepentingan yang ada,” ungkapnya.
Bukan yang pertama
Sejatinya, bukan kali ini saja Indonesia menolak kehadiran Israel dalam hajatan olahraga internasional di Tanah Air. Berdasarkan buku Asian Games IV 1962, Motivasi, Capaian serta Revolusi Mental dan Keolahragaan di Indonesia karya Amin Rahayu, 2015, Indonesia pernah dikucilkan oleh komunitas olahraga internasional karena Indonesia dianggap tidak memberikan izin kepada para olahragawan Israel dan Taiwan berpartisipasi dalam Asian Games 1962 di Jakarta.
Menurut keputusan sidang dewan eksekutif IOC di Lausanne, Swiss, 7 Februari 1963, para olahragawan Indonesia tidak boleh ikut serta dalam segala macam kegiatan olahraga internasional untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Akan tetapi, Presiden Soekarno kala itu berani melawan dengan memerintahkan Indonesia keluar dari keanggotaan IOC dan menggelar Olimpiade tandingan, yaitu Games of The New Emerging Force (GANEFO) di Jakarta, 10-22 November 1963.
”Saya perintahkan supaya Indonesia keluar dari IOC dan menyelenggarakan GANEFO tahun ini juga,” tegas Soekarno, membalas penghinaan dari IOC dalam pidato pembukaan konferensi Front Nasional (FN) di Istora Senayan, Jakarta, 13 Februari 1963.